Dimuat di Radar Sampit, Minggu 3 September 2017
Judul : Metafora Padma
Penulis : Bernard Batubara
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : 168 halaman
ISBN :
978-602-03-3297-0
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara.
“Bukankah manusia yang baik adalah
manusia yang belajar dari sejarah, terutama yang paling penuh luka?” (hal 16).
Setiap orang sudah pasti memiliki
masa lalu. Baik masa lalu yang menyenangkan bahkan yang penuh dengan luka. Di sinilah adanya tantangan dalam usaha
menghadapi masa lalu. Antara menerima atau terjebak di dalam kubangan masa lalu
itu. Kumpulan cerpen karya Bernard Batubara ini pun tidak jauh-jauh dengan
kubangan masa lalu dan luka. Yang mana
dari keduanya itu ternyata telah menciptakan sebuah kisah-kisah mencekam dan
tidak terduga.
Terdiri dari 14 kisah, kumpulan
cerpen ini sangat mengibur dan memikat. Penulis dengan piawai bermain kata dan
mengeksekusi cerita. Tidak ketinggalan adalah bagaimana penulis membuat akhir
cerita yang selalu mengejutkan dan tidak terduga.
Seperti kisah yang berjudul
“Perkenalan”. Cerpen ini tentang seorang perempuan yang sejak kecil telah mengalami
pelecehan seksual dari ayahnya sendiri.
Ketika akhirnya di memiliki kekasih, ternyata nasib buruk tidak juga
lepas dari kehidupannya. Sang kekasih meninggal dalam keadaaan yang
mengenaskan—di mana kepala dan tubuhnya terpisah sejauh lima meter (hal 9). Hal
inilah yang kemudian membuat perempuan
itu memutuskan bunuh diri. Tapi yang
sungguh membuat terkejut adalah pemaparan di akhir kisah, yang memperkenalkan
siapa sebenarnya dia—perempuan yang tengah bercerita.
Ada juga kisah “Rumah”. Mengisahkan
tentang si tokoh laki-laki yang tidak
memahami alasan kenapa ayahnya bersikeras
ingin membeli rumah yang telah
lama ditinggalkan—sudah 18 tahun berlalu. Padahal rumah yang memiliki masa lalu
yang mencekam dan menakutkan. Kepala-kepala terpenggal, genanagan darah senyum
beringas dan suara-suara tembakan. Tapi
ayahnya tetap mengatakan memiliki alasan sendiri. meski anaknya berusaha
menolak, karena tidak ingin membuat ayahnya tinggal sendiri.
“Betapa pun banyak peristiwa tidak
menyenangkan terjadi di rumah, ia tetap tempat kita tinggal dan pulang. Kamu tidak meninggalkan rumahmu
hanya karena ia pernah menyimpan kenangan buruk. Kamu akan tetap bersamanya,
berdamai dengan kenangan-kenangan buruk itu, dan memperbaikinya sampai jadi
tempat yang lebih nyaman ditinggali.”
(hal 57).
Tidak kalah menarik adalah, kisah
yang dijadikan judul cover buku, “Metafora Padma”. Berkisah tentang tokoh
laki-laki yang sedang berada di sebuah pesta atas undangan temannya yang
seorang penulis. Di sana dia bertemu seorang gadis yang entah kenapa
mengingatkannya pada pohon-pohon tinggi
di hutan tenpat ayah dan ibunya tinggal. Mereka bercengkrama, membicarakan buka
mawar, lotus hingga tentang mimpi. Bukan
mimpi biasa tapi mimpi yang kelam dan mencekam.
Setelah sudah lama mengobrol akhirnya
membuat laki-laki itu ingin mengenal gadis itu—yang ternyata bernama Padma—nama
lain Lotus. Maka dia pun menanyakan namanya. Tapi keesokan harinya ketika dia
bertanya kepada temannya, tentang siapa Padma. Ternyata tidak ada nama Padma
dalam daftar tamu.
Selain tiga kisah ini tentu saja
masih banyak kisah-kisah lain yang tidak kalah menarik dan memikat. Seperti
Percakapan Kala Hujan, Suatu Sore, Kanibal dan masih banyak lagi. pemaparan gaya bahasa yang dipakai penulis
sangat menarik. Ada keunikan sendiri dalam setiap pov pencerita yang dipilih.
Berbeda dan unik.
Begitu pula dalam pemilihan judul
dan alenia pembuka. Penulis memberi hidangan yang membuat pembaca langsung
terkesima dan penasaran untuk menyelesaikan kisah hingga tuntas. Beberapa kekurangan yang termaktub di
dalamnya, tidak mempengaruhi kenikmatan dalam membaca kisah-kisah masa lalu
yang kelam dan mencekam.
Selain itu membaca kumpulan cerpen ini, kita juga dihadapkan
pada pembelajaran hidup yang sering terjadi di masyarakat, baik secara tersirat
atau tersurat. Khusunya tentang bagimana menghadapi luka dan masa lalu.
Dan dari sebagian pesan moral yang
tersimpan dalam buku ini, saya paling suka quote ini. “Meski hidup di dunia
yang keras dan penuh kekerasan, harusnya manusia tetap tumbuh dalam kesucian.
Murni. Menjadi dewasa dalam cinta kasih. Putih seperti kelopka Lotus. Tidak
membawa lumpur dalam hatinya. Tidak memandang dunia yang penuh kekerasan dengan
kekerasan pula.” (hal 109).
Srobyong, 10 April 2017
No comments:
Post a Comment