Tuesday, 5 September 2017

[Resensi] Luka, Masa Lalu dan Kisah yang Mencekam

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 3 September 2017 


Judul               : Metafora Padma
Penulis             : Bernard Batubara
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Agustus 2016
Tebal               : 168 halaman
ISBN               : 978-602-03-3297-0
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

“Bukankah manusia yang baik adalah manusia yang belajar dari sejarah, terutama yang  paling penuh luka?” (hal 16).  

Setiap orang sudah pasti memiliki masa lalu. Baik masa lalu yang menyenangkan bahkan yang penuh dengan luka.  Di sinilah adanya tantangan dalam usaha menghadapi masa lalu. Antara menerima atau terjebak di dalam kubangan masa lalu itu. Kumpulan cerpen karya Bernard Batubara ini pun tidak jauh-jauh dengan kubangan masa lalu dan luka.  Yang mana dari keduanya itu ternyata telah menciptakan sebuah kisah-kisah mencekam dan tidak terduga.

Terdiri dari 14 kisah, kumpulan cerpen ini sangat mengibur dan memikat. Penulis dengan piawai bermain kata dan mengeksekusi cerita. Tidak ketinggalan adalah bagaimana penulis membuat akhir cerita yang selalu mengejutkan dan tidak terduga.  

Seperti kisah yang berjudul “Perkenalan”.  Cerpen ini tentang seorang  perempuan yang sejak kecil telah mengalami pelecehan seksual dari ayahnya sendiri.  Ketika akhirnya di memiliki kekasih, ternyata nasib buruk tidak juga lepas dari kehidupannya. Sang kekasih meninggal dalam keadaaan yang mengenaskan—di mana kepala dan tubuhnya terpisah sejauh lima meter (hal 9). Hal inilah yang kemudian membuat  perempuan itu memutuskan bunuh diri.  Tapi yang sungguh membuat terkejut adalah pemaparan di akhir kisah, yang memperkenalkan siapa sebenarnya dia—perempuan yang tengah bercerita.

Ada juga kisah “Rumah”. Mengisahkan tentang  si tokoh laki-laki yang tidak memahami alasan kenapa ayahnya bersikeras  ingin membeli rumah  yang telah lama ditinggalkan—sudah 18 tahun berlalu. Padahal rumah yang memiliki masa lalu yang mencekam dan menakutkan. Kepala-kepala terpenggal, genanagan darah senyum beringas dan suara-suara tembakan.   Tapi ayahnya tetap mengatakan memiliki alasan sendiri. meski anaknya berusaha menolak, karena tidak ingin membuat ayahnya tinggal sendiri.

“Betapa pun banyak peristiwa tidak menyenangkan terjadi di rumah, ia tetap tempat kita tinggal  dan pulang. Kamu tidak meninggalkan rumahmu hanya karena ia pernah menyimpan kenangan buruk. Kamu akan tetap bersamanya, berdamai dengan kenangan-kenangan buruk itu, dan memperbaikinya sampai jadi tempat yang lebih nyaman ditinggali.” (hal 57). 

Tidak kalah menarik adalah, kisah yang dijadikan judul cover buku, “Metafora Padma”. Berkisah tentang tokoh laki-laki yang sedang berada di sebuah pesta atas undangan temannya yang seorang penulis. Di sana dia bertemu seorang gadis yang entah kenapa mengingatkannya pada  pohon-pohon tinggi di hutan tenpat ayah dan ibunya tinggal. Mereka bercengkrama, membicarakan buka mawar, lotus hingga tentang mimpi.  Bukan mimpi biasa tapi mimpi yang kelam dan mencekam.

Setelah sudah lama mengobrol akhirnya membuat laki-laki itu ingin mengenal gadis itu—yang ternyata bernama Padma—nama lain Lotus. Maka dia pun menanyakan namanya. Tapi keesokan harinya ketika dia bertanya kepada temannya, tentang siapa Padma. Ternyata tidak ada nama Padma dalam daftar tamu. 

Selain tiga kisah ini tentu saja masih banyak kisah-kisah lain yang tidak kalah menarik dan memikat. Seperti Percakapan Kala Hujan, Suatu Sore, Kanibal dan masih banyak lagi.  pemaparan gaya bahasa yang dipakai penulis sangat menarik. Ada keunikan sendiri dalam setiap pov pencerita yang dipilih. Berbeda dan unik. 

Begitu pula dalam pemilihan judul dan alenia pembuka. Penulis memberi hidangan yang membuat pembaca langsung terkesima dan penasaran untuk menyelesaikan kisah hingga tuntas.   Beberapa kekurangan yang termaktub di dalamnya, tidak mempengaruhi kenikmatan dalam membaca kisah-kisah masa lalu yang kelam dan mencekam.

Selain itu membaca  kumpulan cerpen ini, kita juga dihadapkan pada pembelajaran hidup yang sering terjadi di masyarakat, baik secara tersirat atau tersurat. Khusunya tentang bagimana menghadapi luka dan masa lalu.

Dan dari sebagian pesan moral yang tersimpan dalam buku ini, saya paling suka quote ini. “Meski hidup di dunia yang keras dan penuh kekerasan, harusnya manusia tetap tumbuh dalam kesucian. Murni. Menjadi dewasa dalam cinta kasih. Putih seperti kelopka Lotus. Tidak membawa lumpur dalam hatinya. Tidak memandang dunia yang penuh kekerasan dengan kekerasan pula.” (hal 109).

Srobyong, 10 April 2017 

No comments:

Post a Comment