Dimuat di Padang Ekspres, Minggu 24 September 2017
Judul : Habibie Ya Nour El Ain
Penulis : Maya Lestari GF
Penerbit : Dar Mizan
Cetakan : Pertama, Desember 2016
Tebal : 240 hlm
ISBN : 978-602-420-298-9
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara.
“Hidup adalah refleksi diri kita.
Apa yang kamu keluarkan untuk dunia, itulah yang akan dipantulkan balik
kepadamu. Kamulah yang memilih, akankah memberi kebaikan atau keburukan.” (hal 16).
Membaca novel ini kita akan diajak
mengenal lebih dalam dengan romantika kehidupan dunia pesantren. Bagaimana cara
pergaulan yang baik antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana menyikapi
perasaan suka jika tengah jatuh cinta. Balasan apa yang kita dapat dari
perbuatan kita. Metode pendidikan yang digunakan. Tentang peraturan pondok
pesantren. Dan masih banyak lagi.
Maya Lestari—penulis produktif yang berasal
dari Padang—Sumatra Barat ini sangat lihai dalam mengolah konflik, membuat
pembaca seolah ikut masuk dalam cerita. Sebagaimana yang dipaparkan M Irfan
Hidayatullah—penulis dan Dosen Fakultas Sastra
Universitas Padjajaran, “Tidak mudah menulis novel yang seimbang
antara bentuk dan bobotnya. Bentuk ringan dan populer, tetapi bobot filosofis
dan pesannya dalam. Novel semacam ini hanya bisa ditulis oleh seorang penulis
dengan jam terbang tinggi seperti Maya Lesatri GF.”
Novel ini sendiri berkisah tentang
Barra Sadewa yang mengaku tidak percaya dengan Tuhan dan mendapat label anak
nakal di sekolah, yang kemudian membuat dirinya terjebak pada romantika kehidupan
di pesantren. Dia dipaksa kepala sekolahnya untuk mondok selama dua minggu di
Pesantren Nurul Ilmi, untuk merenungkan segak perbuatan yang selama ini telah
dilakukan. Di mana dalam bayangan Barra, pesantren adalah penjara (hal
44). Karena di pesantren dia tidak bisa
bebas melakukan apa saja. Ketika dia datang, dia diharuskan memotong rambut,
lalu harus tidur sesuai jadwal—tidak
boleh bergadang, harus bangun pagi untuk shalat berjamaaah.
Lalu tanpa sengaja Barra bertemu
dengan Nilam, putri pemilik pesantren—Buya yang sejak kecil dididik dengan
etika pergaulan yang ketat-khususnya dalam berhubungan antara laki-laki dan
perempuan—di gerbang pesantren di bawah pohon mahoni. Siapa sangka pertemuan singkat itu menyisakan
sejumput rasa yang mendalam di hati Barra.
Tidak terkecuali bagi Nilam sendiri. Cinta kedunya tumbuh tidak bisa
dicegah.
“Kita mungkin bisa memilih dengan
siapa kita akan menikah, tapi kita tidak bisa memilih dengan siapa jatuh cinta.
keduanya ada di wilayah yang berbeda. Cinta itu tidak rasional, sementara
pernikahan serasional perhitungan.”
(hal 183).
Tapi Nilam sadar dia tidak boleh
terbujuk perasaan itu. Di sini keteguhan hati Nilam dipertaruhkan. Sedang bagi
Barra, keberadaan Nilam kemudian sedikit banyak membuatnya mencoba bertahan. Selain karena Nilam, keberadaan ayah
Nilam—Buya, semakin membuat Barra merasa betah dan merasa dihargai sebagai
manusia. Tidak seperti kebanyakan orang yang suka memarahi, memaksa atau bahkan
menghinanya karena statusnya, Buya
selalu mempelakukan Barra dengan baik. “Ayahmu serupa Al Hikam, Nilam.
Lembut di perkataan, menyentuh di perbuatan.” (hal 111). Juga para guru dan santri yang selalu memperlakukannya
layaknya keluarga.
Di sinilah titik balik kehidupan
Barra. Dia mulai menata kehidupannya agar lebih baik. Hanya saja untuk masalah
hati ... entah kenapa masih terpaut dengan Nilam. Dan ketika dia hendak merengkuh hati Nilam,
ternyata gadis itu telah melakukan ta’aruf dengan seseorang yang telah
dipilihkan keluarga. (hal 188).
Novel ini dipaparkan dengan gaya
bahasa yang renyah dan memikat. Sejak awal penulis sudah membuat penasaran
dengan akhir kisah cerita ini. Pemelihan
alur dan sudut pandangnya menambah keunggulan novel ini. Mengambil latar Padang semakin
membuat novel ini terasa lokalitasnya.
Di sisi lain, yang membuat novel ini semakin lengkap adalah
banyaknya petuah bijak yang bisa dipetik pembelajaran. Tokoh Buya sungguh
sangat inspiratif. Mengajarkan bahwa dalam berdakwah diperlukan metode lemah
lembut penuh kasih sayang. Karena memang kita tidak bisa memaksa seseorang
hidup sebagaimana cara kita hidup.
“Kadang orang tak memerlukan banyak
nasihat. Mereka Cuma butuh melihat, bahwa mereka diterima dan disayangi. Kasih
sayang adalah nasihat yang paling baik.”
(hal 155).
Di sini kita juga diajak untuk
menjaga hati sesuai dengan syariat, menjauhi prasangka buruk dan melakukan
kebaikan-kebaikan yang insyah Allah bisa dipetik di kemudian hari. Hanya saja
masih ditemukan beberapa kesalahan tulis dan bagian yang masih kurang terasa
logis. Tapi lepas dari kekuarangnnya novel ini sangat direkomendasikan untuk
dibaca. Memikat dan bermanfaat.
Srobyong, 25 Februari 2017
pengen beli buku ini makasi reviewnya mba 👌👍
ReplyDeleteMonggo Mbak, langsung dibeli. Sama-sama, bukunya sangat inspiratif dan menarik :)
Delete