Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 3 September 2017
Judul : 33 Senja di Halmahera
Penulis : Andaru Intan
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Juni 2017
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-03-4264-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Universitas
Islam Nahdlatu Ulama, Jepara
Mengambil latar Halmahera, novel ini
dikemas dengan cukup menarik dan memikat. Andaru Intan mencoba mengenalkan adat, budaya,
juga pesona Halmahera lewat kisah yang
dia paparkan. Selain itu dia juga mengangkat jejak-jejak konflik Maluku, sebagai pengingat bahwa kita harus saling
menghormati antar agama. Tidak boleh saling menghakimi dan menyakiti.
Memang novel ini tetap tidak jauh-jauh dari kisah cinta.
Namun dengan apik, penulis tetap menghadirkan nilai-nilai luhur yang bisa diambil
pembelajaran dan perenungan. Khususnya bagamaimana menyikapi perbedaan agama di
mana pun kita berada. Bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang untuk memeluk
agama yang kita yakini.
“Satu-satunya jalan agar kita bisa
bersama adalah aku ikut denganmu atau kau ikut denganku. Kau tahu, aku tidak
bisa meninggalkan jalanku. Dan aku juga tidak akan pernah memaksamu
meninggalkan jalanmu. Tak ada gunanya
kita membangun sesuatu dengan sekuat tenaga, sementara kita tahu hal itu
akan hancur esok harinya.” (hal 162–163).
Mengisahkan tentang Nathan—seorang
tentara yang mendapat tugas ke daerah
pelosok Halmahera Selatan, tepatnya berada di Sofifi, Maluku Utara. Sebuah tempat yang jauh tertinggal dari
peradaban. (hal 10). Nathan bersama teman-temannya ditugaskan untuk menjaga
Halmahera pasca terjadinya konflik
Maluku—yaitu perang saudara antara umat Islam dan Kristen. Ada sebagian tentara yang menjaga proses
pembangunan kembali masjid dan ada yag menjaga proses pembangunan kembali
gereja.
Di masa tugasnya itulah, Nathan mengenal
seorang gadis asli Sofifi bernama Puan, yang merupakan seorang guru. Sejak awal
Nathan langsung menunjukkan rasa tertarik pada Puan. Puan gadis yang berbeda.
Puan meski tinggal di pesisir pantai, tapi takut laut. Puan adalah gadis yang sangat menjaga kerhomatannya. Puan juga sangat
pandai dalam berburu sabeta—ulat
sagu, yang nantinya akan dimasak sebagai sate lezat—makanan khas Halmahera.
Maka Nathan pun mencoba mendekati Puan dengan berbagai cara. Memang tidak mudah, tapi akhirnya Nathan
berhasil membuat Puan yang jarang berbicara, mau berbicara bahkan tersenyum
padanya.
Tidak menunggu lama, kisah cinta
mereka pun akhirnya dimulai. Kegigihan Nathan berhasil membuat Puan
bersimpati. Tapi kebahagiaan yang
dirasakan Puan hanya sekejap. Puan akhirnya tahu kalau Nathan tidak memiliki
kepercayaan yang sama dengan dirinya.
“Barangkali kita bisa bicara lagi lain waktu, ini saatnya pulang. Aku
harus ke gereja.” (hal 97). Puan sungguh binggung. Di satu sisi dia tahu
hubungan mereka tidak akan mungkin berjalan lancar, jika mereka memiliki
kepercayaan yang berbeda. Tapi di sisi lain, Puan tidak bisa menghilangkan
bayang-bayang Nathan dari pikirannya.
Apalagi sejak dia melakukan Tarian
Lalayon di pernikahan Aish—sahabat Puan. Sebuah tarian yang dilakukan secara
berpasangan dengan gerakan indah. Kemudian Puan juga menikmati kebersamaan yang
menyenangkan dengan Nathan, saat laki-laki itu mengajaknya pergi ke Kepulauan Widi—sebuah pulau yang terkenal
dengan keindahana pesona lautnya, juga terkenal sebagai tempat mistis. “Di kepulauan Widi nanti jangan membunuh
hewan, jangan merusak tanaman, jangan pergi sendirian, dan jangan bicara
kotor.” (hal 125).
Hanya saja sekembalinya dari liburan
itu, Puan harus menghadapi kemarahan papanya. Puan ditegur dan diingatkan
papanya agar tidak melanjutkan hubungan dengan Nathan, yang jelas-jelas tidak
memiliki masa depan. “Kau sudah
dewasa. Sudah tahu mana yang boleh dan yang tidak. Papa tidak suka kau
main-main. Apalagi dengan orang yang tidak seiman.” (hal 150).
Tidak hanya menawarkan cinta, tapi
disatupadukan dengan isu polemik agama, adat, budaya juga pesona Halmahera,
membuat novel ini lebih berwarna. Hanya
saja untuk eksplore adat dan budaya Halmahera masih terasa kurang. Memang penulis meleburkan bahasa-bahasa
setempat pada cerita, tapi rasa tempat itu belum terasa kental. Jika setting lebih diekplore lebih
dalam, pasti akan menambah keunikan novel ini. Namun lepas dari kekurangannya
novel ini mengajarkan banyak nilai-nilai kebaikan.
Srobyong, 4 Juli 2017
No comments:
Post a Comment