Judul : Kapten Bhukal,
The Battle of Alas Tua
Penulis : Arul Chandrana
Penerbit : Metamind, Creative Imprint of Tiga Serangkai
Cetakana : Pertama, Agustus 2016
Tebal : xviii + 382 hlm
ISBN :
978-602-9251-32-6
Membaca novel bergenre fantasi ini, kita akan diingatkan tentang pentingnya
menjaga kelestarian hutan dan binatang. Bahwa manusia itu tidak boleh egois,
menguasai semua alam dan melupakan keberdaan binatang. Bagaimana pun binatang
juga berhak hidup dan berhak mendapat
kebebasan dalam mencari pangan, layaknya manusia.
Menceritakan tentang Bukhal,
pendatang baru di Kampung Gunong Bengko, di hutan Bawean. Kehadirannya sempat
membuat kampung gempar. Karena dia memiliki bentuk yang berbeda dari para
monyet biasa. Bukhal bertubuh hitam pekat dan tidak memiliki ekor. Karena dia
memang bukan monyet, tapi simpanse. Dia juga sering berbicara dengan kosakata
aneh yang tidak pernah di dengar oleh para binatang (hal 20).
Meskipun Ketua Mengmang sudah resmi
menerima kehadiran Bukhal, tapi tidak
semua warga mau menerima Bhukal layaknya anggota masyarakat lainnya (hal 32).
Banyak yang menatap tidak suka padanya. Mereka menganggap Bukhal aneh,
mencurigakan dan terlihat berbahaya. Bukhal pun mencari cara agar dirinya bisa
diterima oleh semua warga. Dari Jarok
dan Bocol—warga setempat yang langsung mengagumi Bukhal, dia akhirnya tahu bagaimana
caranya agar bisa diterima dan dihormati di hutan itu.
“Jika ingin menjadi monyet yang
bermartabat di sini, dihargai dan dihormati, didengar kata-katanya,
dipertimbangkan usulnya, caranya hanya satu, menerobos ladang manusia,
mengambil tanamannya dan kembali dengang selamat ke perkampungan.” (hal 45).
Bukhal pun langsung beraksi. Dia
menyusun rencana agar bisa menerobos ladang manusia dan kembali dengan selamat.
Dengan kepandaiannya dalam membuat strategi,
Bukhal berhasil melakukan aksinya. Kehebatannya pun langsung tersebar ke
seluruh pelosok hutan. Para monyet yang
dulunya membenci dia, berbalik menghormatinya. Dan para binatang di hutan
percaya kalau kedatangan Bukhal akan membawa anugerah. Karena Bukhal berhasil
mengalahkan manusia yang kerap menindas para binatang, merusak hutan, sehingga
sering kali mereka kekurangan makanan dan kehilangan keluarga. Di sinilah
mereka bertanya-tanya, “Sebenarnya binatang dan manusia adalah dua jenis yang
saling membutuhkan atau untuk saling menguasai?” (hal 121).
Bukhal pun kemudian didaulat sebagai kapten yang
memimpin para binatang untuk menyerang manusia. Mereka sudah tidak tahan lagi
dengan sikap manusia. Mereka selalu bertindak semena-mena. Para manusia datang
dengan senjata menebangi pohon, membuat para binatang tidak memiliki tempat
tinggal. Tidak hanya itu manusia juga memburu para babi—membunuh, mengusir para
babi ke hutan kering dan mengambil tanah
subur mereka untuk diolah sebagai perkebunan dan ladang. Para manusia juga memburu para rusa untuk
diambil tanduknya.
Di sisi lain, para petani yang menjadi korban perusakan yang
dilakukan Bukhal bersama teman-temannya, sangat marah. Mereka tidak terima
dengan apa yang dilakukan para binatang tersebut. Mereka juga melakukan rapat
untuk menindaklanjuti kejadian itu. Mereka berencana untuk memburu dan membunuh
para binatang. Perang pun tidak bisa
dihindari. Namun lebih dari itu ternyata Bukhal sendiri menyimpan sebuah rahasia yang tidak pernh terduga dan membuat para binatang kaget dan tidak percaya.
Novel dengan gaya bahasa yang renyah ini, menghadirkan sisi lain tentang kehidupan
binatang yang kerap kali menjadi korban akan
keserahakahan manusia. Jadi tidak salah jika suatu saat para hewan akan
marah dan menuntut hak mereka untuk memperoleh kebebasan. Sebagaimana yang pernah
terjadi, ada konflik binatang dan manusia karena masalah pangan di Riau. Bahwa
apa yang dilakukan para binatang adalah sebagai akibat dari apa yang dilakukan
manusia (hal 241).
Jadi perlu kita ingat bahwa
seyogyanya sebagai manusia, kita harus menjaga kelestarian hutan dan binatang. Tidak boleh bertindak semena-mena demi
memuaskan keegoisan diri.
Srobyong, 26 Februari 2017
No comments:
Post a Comment