Tuesday, 26 September 2017

[Resensi] Jalan Bermusik Irish

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 24 September 2017 


Judul               : Irish
Penulis             : Kamal Agusta
Penerbit           : de Teens
Cetakan           : Pertama, Mei 2017
Tebal               : 220 halaman
ISBN               : 978-602-391-405-0
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Naskah ini merupakan naskah asli, sebelum ada pemotongan dari redaksi. :) 

Mengambil tema dunia remaja, novel ini berkisah tentang sekelompok anak yang ditantang untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana mereka berjuang mempertahankan klub musik yang mereka cintai, juga bagaimana mereka harus berdamai dengan masalah pribadi. Karena disadari atau tidak, masa remaja  adalah masa transisi. Di mana pada masa ini,  anak-anak sedang berusaha mencari jati diri.  Mereka tidak ingin dikekang atau diatur. Mereka hanya ingin diakui, bukan digurui.

Ada Irish yang  tengah sedih, ketika tahu klub musik  sekolah terancam dibubarkan, kalau dia dan teman-temannya—Fairus, Agung, Bayu, Nurdin dan Mia—tidak bisa menunjukkan prestasi.  Langkah pertama yang dilakukan Irish untuk mencegah pembubaran klub adalah meminta pendapat Bu Dewi, sebagai guru pembimbing.  Namun betapa kagetnya Irish, ketika Bu Dewi meminta dia untuk mengajak Alvaro untuk bergabung, agar bisa membantu untuk menyelamatkan klub itu.

Di sinilah tantangn Irish, apakah dia mau dan mampu melakukannya? Karena seluruh sekolah tahu, Alvaro adalah ada baru yang terkenal sombong dan  troublemaker. Namun di sisi lain, Irish juga tahu jika dia tidak mengajak Alvaro, masalah klub tidak akan selesai, bahkan bisa berakhir menyedihkan. Dan Irish tidak mau itu terjadi, dia harus menunjukkan pada sekolah bahwa dia dan teman-temannya mampu berprestasi lewat musik.

Beda lagi dengan Alvaro, sejak kepergian ibunya, dia memilih menutup diri. Dia melupakan semua mimpi yang pernah dia angankan, dan memilih terpuruk.  Tidak hanya itu, Alvaro juga menyalahkan ayahnya atas kematian sang ibu. Hingga akhirnya dia memilih tidak mau bersosialisasi. Hal itu yang pada akhirnya membuat Alvaro tidak mengindahkan ajakan Irish.  Padahal dulu musik adalah hidupnya. Tapi kegigihan Irish, akhirnya meruntuhkan tembok tinggi yang dia bangun.

 “Kehilangan memang selalu menyakitkan. Sangat menyakitkan lagi jika itu orang yang paling terdekat dan kita sayangi. Tapi, kita nggak boleh larut dalam kesedihan. Kehidupan masih terus berlanjut. Kita harus menerima kehilangan itu.” (hal 160-161).

Namun masalah tidak selesai sampai di sana. Karena setelah Alvaro bergabung, masalah lain juga timbul. Agung dan Bayu ternyata tidak menyukai Alvaro. Mereka menganggap Alvaro terlalu mengatur dan tidak memiliki empati. “Aku nggak sanggup main sama orang seperti dia. Mending aku keluar.” (hal 124 -125). Padahal Agung dan Bayu adalah gitaris handal dalam grup mereka.  Dan klub mereka tidak mungkin bisa berjalan lancar tanpa adanya Agung dan Bayu.

Lalu ada juga cinta segi tiga yang runyam. Di mana Irish harus memilih antara Alvaro atau sahabatnya—Naufal yang tiba-tiba mengungkapkan cinta. Selain itu, yang lebih menegangkan adalah kompetisi band yang mereka ikuti, terancam gagal.  Berbagai masalah dunia remaja tumpah ruah di sana. Dan mereka—para tokoh, berjuang untuk  mengatasi dan menghadapi dengan cara mereka.

Sebuah buku yang menarik. Meski masih ada beberapa kekurangan yang saya rasakan ketiaka membaca. Namun kekurangan tersebut tidak mengurangi kenikmatan dalam membacaa. Di sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa hidup memang selalu akan ada masalah. Tinggal bagaimana kita menyikapi. Selain itu kita juga dapat pelajaran, bahwa tidak ada yang tidak mungkin, jika kita mau berusaha dan berdoa.

Srobyong, 15 Juli 2017 

No comments:

Post a Comment