Judul : Love In Adelaide
Penulis : Arumi E
Editor : Donna Widjajanto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, 2015
Halaman : vi + 230 hal
ISBN : 978-602-03-2545-3
Peresensi :
Ratnani Latifah, Penikmat buku dan penyuka literasi. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.
Setiap negara sudah pasti memiliki
budaya tersendiri. Sebagaimana kata
pepatah, di mana bumi di pijak di situlah langit dijunjung. Jadi di mana pun berada, kita harus
menyesuaikan diri dan menghargai budaya yang ada.
Novel ini bercerita tentang Aleska
yang harus pindah dan menjalani hidup baru di Adelaide, Australia. Semua bermula dari pernikahan ibunya dengan seorang
yang berkebangsaan Australia. Meski sempat tidak rela harus pindah, namun
Alesaka akhirnya mengalah. Bagaimana pun
dia memang sangat sayang dengan ibunya. Kepindahannya itu membuat Aleska
mengenal Zach Mayers—anak Pak Abe—yang berarti saudara tirinya yang dalam
pandangan Aleska cukup menyebalkan karena terlalu protektif. (hal. 13)
Juga Sarah yang lebih membuatnya tidak nyaman karena tidak pernah
bersikap manis pada dirinya.
Selama di Adelaide, Aleska
memutuskan untuk bekerja sambilan di restoran yang bernama Asian Taste. Di tempat kerjanya inilah Aleska merasakan
sesuatu yang menyenangkan. Apalagi dari sana pula dia mengenal sosok Neil yang
memiliki kepribadian hangat yang membuat mereka cepat akrab. Dari perkenalan itu juga membuat Aleska
belajar untuk saling menghargai perbedaan suku dan budaya.
Kenyataan Neil yang merupakan
seorang separuh Aborigin yang kerap membuat dia dipanggail manusia kelas dua. Karena konon dulu suku Aborigin selalu
diperlakukan diskriminatif oleh para penduduk berkulit putih—yang notabene para
pendatang. Walau meski sekarang setiap
bulan Juli ada perayaan Naidoc Week—usaha pemerintah untuk menghargai sejarah,
budaya dan prestasi kaum Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres. (hal.
60)
Namun tetap saja masih banyak orang
kulit putih yang memandang sebelah mata pada Neil dan kaumnya, karena
ada segelintir kaum Aborigin yang tidak berpendidikan tinggi, miskin dan
melakukan tindak krimininal. Padalah semua manusia itu setara. Apa pun rasnya, dari belahan bumi mana pun. Semua manusia
sama. Tergantung pribadi masing-masing. (hal. 62) Begitulah pendapat Aleska ketika Neil meminta
pendapatnya tentang orang-orang yang masih memiliki mental rasis. Aleska juga
menambahi, “Dalam ajaran agamaku, semua manusia sama dan setara di mata
Tuhan. Tuhan hanya menilai manusia dari kebaikannya. Siapa yang lebih baik,
itulah yang lebih mulia.”
Dari perkenalannya dengan Neil juga
menuntun Aleska dalam mengenal lebih jauh dengan budaya kental negara baru yang
ditempatinya. Salah satunya tentang alat musik Konga—alat musik perkusi yang
dipukul dengan tangan untuk menimbulkan punya. Jika di Indonesia mungin seperti
gendang. Dan alat musik didgeridoo—alat musik asli Aborigin dan
disinyalir sebagai alat musik tertua di dunia. (hal. 83)
Lambat laun kedekatan yang awalnya
hanya sebagai teman kerja, perlahan memunculkan perasaan lain di hati Aleska
pun dengan Neil. Sayangnya kedekatan antara Aleska dan Neil tidak disukai Zach.
Entah apa sebabnya. “Kamu itu muslimah, tentunya tahu batas-batas pergaulan
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Apalagi kamu berhijab. Kamu
harus menjaga nama baik muslimah.”(hal. 90)
Sebuah kenyataan yang membuat Aleska
menyadari ada banyak lubang dan benteng besar yang tidak mungkin bisa ditembus.
Mereka memiliki perbedaan keyakinan. Entah bagaimana kisah mereka akan
berlanjut.
Diceritakan dengan gaya bahasa yang
renyah dan memikat membuat novel ini sangat asyik dibaca. Ditambah lagi banyak
kejutan yang membuat semakin pensaran dengan jalannya cerita ini. Beberapa kekurangannya tidak mengurangi
kenikmatan dalam membaca.
Sebuah novel yang sarat makna.
Selain mengandung budaya yang cukup kental, novel ini juga sarat religi
sehingga banyak hal yang bisa diambil pelajaran. Semisal tentang anjuran untuk menjaga
pergaulan antara laki-laki dan perempuan atau tentang anjuran untuk mendidik
anak dengan cara lemah lembut bukan dengan kekerasan.
Banyak juga quote inspiratif yang bisa dijadikan
renungan. Salah satunya, “Hanya Allah
yang berhak menentukan kamu berdosa atau tidak, kamu diampuni atau tidak.
Selama kamu masih diberi hidup, itu artinya kamu diberi kesempatan menembus
kesalahanmu dan berubah perlahan menjadi lebih baik.” (hal. 193)
Srobyong, 15 Agustus 2016
Dimuat di Koran Pantura, Rabu 28 September 2016 |
wahhh bagus resensinya ini....
ReplyDeleteemang saling manusia itu harus saling menghargai satu sama lain...
http://www.hijabmoderncantik.com/
Terima kasih, Iya karena setiap manusi itu unik
ReplyDelete