Saturday, 1 October 2016

[Resensi] Belajar Saling Menghargai Perbedaan Suku dan Budaya Melalui Novel

Judul               : Love In Adelaide
Penulis             : Arumi E
Editor              : Donna Widjajanto
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, 2015
Halaman          : vi + 230 hal
ISBN               : 978-602-03-2545-3
Peresensi         : Ratnani Latifah, Penikmat buku dan penyuka literasi. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Setiap negara sudah pasti memiliki budaya  tersendiri. Sebagaimana kata pepatah, di mana bumi di pijak di situlah langit dijunjung.  Jadi di mana pun berada, kita harus menyesuaikan diri dan menghargai budaya yang ada.

Novel ini bercerita tentang Aleska yang harus pindah dan menjalani hidup baru di Adelaide,  Australia. Semua  bermula dari pernikahan ibunya dengan seorang yang berkebangsaan Australia. Meski sempat tidak rela harus pindah, namun Alesaka akhirnya mengalah.  Bagaimana pun dia memang sangat sayang dengan ibunya. Kepindahannya itu membuat Aleska mengenal Zach Mayers—anak Pak Abe—yang berarti saudara tirinya yang dalam pandangan Aleska cukup menyebalkan karena terlalu protektif.  (hal. 13)  Juga Sarah yang lebih membuatnya tidak nyaman karena tidak pernah bersikap manis pada dirinya.

Selama di Adelaide, Aleska memutuskan untuk bekerja sambilan di restoran yang bernama Asian Taste.  Di tempat kerjanya inilah Aleska merasakan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi dari sana pula dia mengenal sosok Neil yang memiliki kepribadian hangat yang membuat mereka cepat akrab.   Dari perkenalan itu juga membuat Aleska belajar untuk saling menghargai perbedaan suku dan budaya.

Kenyataan Neil yang merupakan seorang separuh Aborigin yang kerap membuat dia dipanggail  manusia kelas dua.  Karena konon dulu suku Aborigin selalu diperlakukan diskriminatif oleh para penduduk berkulit putih—yang notabene para pendatang.  Walau meski sekarang setiap bulan Juli ada perayaan Naidoc Week—usaha pemerintah untuk menghargai sejarah, budaya dan prestasi kaum Aborigin dan penduduk Kepulauan Selat Torres. (hal. 60) 

Namun tetap saja masih banyak orang kulit putih yang memandang sebelah mata pada Neil dan kaumnya,  karena  ada segelintir kaum Aborigin yang tidak berpendidikan tinggi, miskin dan melakukan tindak krimininal. Padalah semua manusia itu setara.  Apa pun rasnya,  dari belahan bumi mana pun. Semua manusia sama. Tergantung pribadi masing-masing. (hal. 62)  Begitulah pendapat Aleska ketika Neil meminta pendapatnya tentang orang-orang yang masih memiliki mental rasis. Aleska juga menambahi, “Dalam ajaran agamaku, semua manusia sama dan setara di mata Tuhan. Tuhan hanya menilai manusia dari kebaikannya. Siapa yang lebih baik, itulah yang lebih mulia.”

Dari perkenalannya dengan Neil juga menuntun Aleska dalam mengenal lebih jauh dengan budaya kental negara baru yang ditempatinya. Salah satunya tentang alat musik Konga—alat musik perkusi yang dipukul dengan tangan untuk menimbulkan punya. Jika di Indonesia mungin seperti gendang. Dan alat musik didgeridoo—alat musik asli Aborigin dan disinyalir sebagai alat musik tertua di dunia. (hal. 83)

Lambat laun kedekatan yang awalnya hanya sebagai teman kerja, perlahan memunculkan perasaan lain di hati Aleska pun dengan Neil. Sayangnya kedekatan antara Aleska dan Neil tidak disukai Zach. Entah apa sebabnya. “Kamu itu muslimah, tentunya tahu batas-batas pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Apalagi kamu berhijab. Kamu harus menjaga nama baik muslimah.”(hal. 90)

Sebuah kenyataan yang membuat Aleska menyadari ada banyak lubang dan benteng besar yang tidak mungkin bisa ditembus. Mereka memiliki perbedaan keyakinan. Entah bagaimana kisah mereka akan berlanjut.

Diceritakan dengan gaya bahasa yang renyah dan memikat membuat novel ini sangat asyik dibaca. Ditambah lagi banyak kejutan yang membuat semakin pensaran dengan jalannya cerita ini.  Beberapa kekurangannya tidak mengurangi kenikmatan dalam membaca.

Sebuah novel yang sarat makna. Selain mengandung budaya yang cukup kental, novel ini juga sarat religi sehingga banyak hal yang bisa diambil pelajaran.  Semisal tentang anjuran untuk menjaga pergaulan antara laki-laki dan perempuan atau tentang anjuran untuk mendidik anak dengan cara lemah lembut bukan dengan kekerasan.

Banyak juga  quote inspiratif yang bisa dijadikan renungan. Salah satunya,  “Hanya Allah yang berhak menentukan kamu berdosa atau tidak, kamu diampuni atau tidak. Selama kamu masih diberi hidup, itu artinya kamu diberi kesempatan menembus kesalahanmu dan berubah perlahan menjadi lebih baik.”  (hal. 193)

Srobyong, 15 Agustus 2016 

Dimuat di Koran Pantura, Rabu 28 September 2016 


2 comments:

  1. wahhh bagus resensinya ini....
    emang saling manusia itu harus saling menghargai satu sama lain...

    http://www.hijabmoderncantik.com/

    ReplyDelete
  2. Terima kasih, Iya karena setiap manusi itu unik

    ReplyDelete