Dimuat di Harian Singgalang, MInggu 23 Oktober 2016 |
Judul : Love in Blue City
Penulis : Irene Dyah
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Mei 2016
Halaman : 212 hlm
ISBN :
978-602-03-2865-2
Peresensi : Ratnani Latifah
Membaca novel ini kita akan
dikenalkan dengan kota kecil bernama Chefchaouen
atau juga dikenal dengan sebutan Blue City. Sebuah kota yang terletak di
sebelah timur laut Maroko. Memiliki keunikan, di mana hampir di semua tempat, kota ini didominsi
warna biru. Itulah kenapa Chefchaouen dijuluki sebagai mutiara biru. Di sini pembaaca akan diajak jalan-jalan
menimati kota biru ini.
Selain mengenalkan setting
kota yang indah, novel ini juga menyajikan kisah yang memikat. Nada Aleema
Shahir sangat ingin mengunjungi Chefchaouen, Maroko. Dan keinginannya terwujud
berkat kakaknya—Tristan yang berencana berbulan madu ke Maroko. Namun siapa
sangka, Tristan harus membatalkan perjalanan itu karena istrinya, Miyu
hamil. Akhirnya hanya Nada yang tetap
pergi dengan ditemani Rania sahabatnya (hal. 8).
Alasan kenapa Nada
sangat ingin mengunjungi kota ini karena dia sangat tergila-gila dengan warna
biru. Dan dia menjadikan kota ini
sebagai tempat yang wajib dikunjungi. Namun di balik alasan itu sejatinya Nada juga
punya misi. Dia ingin bertemu kembali dengan Haykal, sahabat Tristan yang
diam-diam disukai Nada. Tapi betapa
kecewanya Nada ketika akhirnya bertemu dengan Haykal, pria itu malah muncul
dengan seorang gadis cantik bernama Noemie.
Sedih dan kecewa
itulah yang Nada rasakan, tapi, dia tidak ingin berlarut dalam kesedihan.
Bagaiamana pun dia tengah liburan di kota impiannya. Jadi dia harus
menikmatinya. Begitulah keinginan Nada dalam hati.
Tapi betapa Nada
berusaha untuk bersikap wajar, dia tetap kesulitan. Dia sedih juga marah.
Masalahnya, meski Haykal nampak dekat dengan Noemie, pria itu tetap perhatian
dan suka usil pada Nada. Belum lagi Nada
terjebak menjalin persahabatan dengan Neomie yang ingin belajar tentang Islam
pada Nada.
“Aku hanya berharap
kamu tidak keberatan berkawan denganku. Aku ingin punya lebih banyak teman
muslimah.” (hal.
83-86).
Di lain sisi Haykal
mengkhawatirkan sikap Nada yang terlihat agak berubah. Jika sebelumnya gadis
itu selalu cerewet dan suka marah-marah, maka kali ini Nada terlihat lebih
pendiam. Padahal dia sudah berjanji pada Tristan untuk selalu menjaga Nada
selama berada di Blue City. Bahkan di saat Nada selalu menjaga jarak, Haykal
terus berusaha menjaga gadis itu.
Akan tetapi meski
Haykal selalu bersikap baik, sikap Nada tidak berubah. Gadis itu masih suka
marah tidak jelas dan kadang sangat pendiam.
Dan sikap Nada semakin aneh ketika mendengar percakapan yang tidak
sengaja dia dengar. Percakapan yang merubah segalanya. Membuat Nada sedih,
Haykal bingung dan Noemie marah dan tidak habis pikir. Entah bagaimana para tokoh di novel ini
menyikapi tumbuhnya cinta di kota biru itu.
Novel ini mengambil
mengambil tema sederhana namun dieksekusi dengan sangat baik. Gaya bahasanya
renyah, percakapan antara tokoh membangun kisah ini semakin asyik untuk diikuti
dan terasa hidup.
Dan yang paling
menarik tentu saja setting dari kisah ini sendiri. Penulis menjabarkan dengan baik kota yang memiliki sebutan mutiara biru. Di sana Nada menikmati perjalanan melewati
lorong biru Medina, lalu melakukan perjalanan ke Spanish Mosque.
Hanya saja, saya
merasa kurag sreg dengan sikap Nada. Sebagai seorang muslimah yang berhijab
saya merasa karakternya belum terlalu kuat.
Atau mungkin tokoh Nada sengaja dipaparkan seperti ini, karena bercermin
dari para muslimah saat ini. Tapi lepas dari kekurangannya, novel ini tetap
asyik untuk dinikmati.
Membaca novel ini
mengajarkan bagaimana cara menjemput cinta yang baik. “Bidadari istimewa, hanya bisa dipesan
setelah membayar mahal. Dan rasa sayang itu harus diperjuangkan.” (hal.
131-135)
Serta mengajari
untuk selalu menyukuri apa yang dimiliki dan menerima semuanya dengan ikhlas
apa yang telah digariskan Tuhan. “Hidup
selalu indah jika kita pandai bersyukur. Kalau kita ikhlas menerima skenario
Tuhan, apa pun bentuknya. Kadang yang menurut kita baik, belum tentu baik
menurut Dia.” (hal. 192)
Srobyong, 16
Oktober 2016
No comments:
Post a Comment