Wednesday 19 November 2014

[Buku] Manajemen Hati Madrasah Jiwa Part 3 "Metode Madrasah Jiwa"





BAB 3
METODE MADRASAH JIWA

            Dalam metode madrasah jiwa, adalah akan di jelaskan bagaiman cara dalam memanejemen hati atupun jiwa agar jiwa dan hati itu selalu bersih bersinar dan selalu dekat dengan cahaya Rabbi. Karena jiwa yang jauh dari cahaya Ilahi akan redup dan terpuruk dari rahmat Allah, tertinggal dan berkarat. Semoga Allah selalu member petnjuk untuk kita semua.
A.    Ikhlas
Ikhlas diwajibkan dalam agama. Dengan keikhlasan, iman menjadi sempurna. Ikhlas adalah inti amal dan penentu diterima atau tidaknya suatu amal disisi Allah swt. Amal tanpa ikhlas bagaikan kelapa tanpa isi, raga tanpa nyawa, pohon tanpa buah, awan tanpa hujan, dan benih yang tidak tumbuh.[24]
Allah berfirman:
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.(az-zumar;11)

Ikhlas adalah sebuah energi dari Ilahi yang mempunyai peran besar dalam kehidupan manusia di muka bumi ini. Ikhlas merupakan sumber dari seluruh energy yang ada di alam semesta ini denga intinya adalah manusia itu sendiri. Menurut pemahaman tasawuf, ikhlas adalah merupakan ilmu yang tertinggi di alam semesta ini.
Untuk memahami makna ikhlas diperlukan sebuah latihan yang tetunya diperlukan sebuah latihan yang tentunya disadari oleh sebuah pemahaman serta keimanan dan keyakinan yang utuh kepada Allah swt. Ditambah  dengan mental serta daya juang yang kuat untuk mencapainya. Ketika kita dihadapkan oleh sebuah realita yang buruk dalam hidup ini, maka disinilah peran ikhlas difungsikan. Bahkan disaat senang kita dituntun untuk selalu ikhlas. Memang letak sulitnya dalam kehidupan ini adalah ketika manusia dituntut untuk selalu ikhlas dalam keadaan suka maupun duka.
Ada lima aspek ikhlas;[25]
1.      Ikhlas dalam arti pemurnian agama dari agama-agama lain.
2.      Ikhlas dalam arti pemurnian ajaran agama dari hawa nafsu dan ibadah.
3.      Ikhlas  dalam arti pemurnian amal dari bermacam-macam penyakit dan noda yang tersembunyi.
4.      Ikhlas dalam arti pemurnian ucapan dari kata-kata tidak berguna, kata-kata batil, dan kata-kata bualan, dan
5.      Ikhlas dalam arti pemurnian akhlak dengan mengikuti apa yang diridoi Allah swt.
Begitu luasnya makna ikhlas, sehingga para ahli sufi member berbagai interpretasi dari hasil penceburan dirinya dalam lautan ikhlas, yakni bahwa dengan berjuang dalam eksistensi ikhlas dalam kehidupan di dunia fana ini adalah merupakan salah satu dari makna jihad untuk bertemu dengan Allah swt. Dengan begitu secara tersurat dan tersirat mengatakan inilah sebuah ilmu tertinggi yang diberikan oleh manusia, sebuah pemahaman yang hakiki di alam semesta ini.
Nabi saw bersabda:
“sesungguhnya Allah tidak akan melihat kepada postur kalian dan tidak pula kepada bentuk rupa kalian. Akan tetapi, Dia akan melihat kepada hati kalian.” (HR. Muslim )[26]
Hati ini dimaksudkan  adalah sebuah hati yang ikhlas ketika beribadah kepada Allah, hati hanya mengharap akan keridoan Allah semata. 
Ketahuilah, sesungguhnya seorang muslim wajib menjaga keikhlasan dalam segala bentuk interaksinya. Seharusnyalah seorang muslim menunjukkan semua interaksinya dengan Rabbnya dalam syair-syair ibadah semata-mata untuk mengharap ridha Allah. Termasuk juga interakasinya dengan dirinya sendiri, dalam mengurus dirinya, menjaga kehalalan makanan, minuman, pakaian, dan lain sebagianya. Juga interaksi dengan keluarga, dan saudara.
Ikhlas dalam ajakan dan jihadnya melawan musuh-musuh Allah dan musuh-musuhnya, dalam infaknya untuk mendapat ridho Allah, dan dalam segala bentuk kebaikan yang disyari’atkan dan dianjurkan oleh islam.[27]  Ialah :
1.      Ikhlas dalam Nasihat
Maksudnya adalah menghendaki kebaikan pada orang yang dinasihati. Dalam menasihati seseorang dia hanya mengharap akan ridho Allah.
2.      Ikhlas dalam Mencari Ilmu
Menuntut ilmu  dan mengajarkannya pada manusia pahalanya sanagt besar disisi Allah. Dan kedudukannya sangat besar disisi Allah dengan syarat ikhlas hanya karena Allah.
Rasulullah bersabda:
“ Barang siapa mempelajari suatu ilmu yang semestinya digunakan untuk meraih ridho Allah, tetapi dia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih harta dari dunia, maka ia tidak akan mencium bau surge pada hari kiamat”
( HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
3.      Ikhlas dalam Berdoa
“ Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika minta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah” (HR. Tirmidzi)
Ikhlas disini adalah dalam keadaan apapun minta tolonglah kepada Allah, bukan pada yang lainnya.
4.      Ikhlas dalam Mengais Harta dan Menginfakkannya
5.      Ikhlas dalam jihad
6.      Ikhlas dalam Ghiroh.
Manfaat dari jiwa yang ikhlas adalah[28]:
1.      Harapannya ditujukan hanya kepada Allah
2.      Memiliki semangat tinggi
3.      Ditolong dari tipu daya iblis
4.      Orang yang ikhlas akan selalu ditambahkan petunjuk oleh Allah
5.      Orang yang ikhlas senantiasa akan mendapatkan naungan dari Allah di Hari Kiamat
6.      Bagi orang-orang yang ikhlas, maka derajatnya akan dinaikkan dan dihapus satu kesalahan, bagi yang sujud dengn ikhlas.
B.     Sabar 
 Firman Allah :
 
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)

Sabar adalah menahan diri atau membatasi jiwa dari keingiannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur) atau menahan dalam kesempitan. Sabar juga berarti menerima dengan penuh kerelaan ketetapan-ketetapan Tuhan yang tidak terelaakan lagi. Imam al-Ghazali mendefinisikan sabar dengan memilih untuk melakukan perintah agama, ketika dating desakan nafsu. Artinya kalau nafsu menuntut kita untuk berbuat sesuatu, tetapi kita memilih kepada yang dikehendaki oleh Allah, maka di situ ada kesabaran.[29]
Sabar tidak identik dengan sikap lemah, menerima apa adanya atau menyerah, tetapi merupakan usaha tanpa lelah atau gigih yang mengambarkan kekuatan jiwa pelakunya sehingga mampu mengalahkan atau mengendalikan hawa nafsunya. Dari sini, maka tidak salah kalau puasa dinamakan sabar, karena esensi puasa adalah pengendalian diri yang berakhir dengan kemenangan. Sabar juga  bukan berarti mengedepankan seluruh keinginan sampai terlupakan di bawah sadar sehingga dapat menimbulkan kompleks-kompleks kejiwaan, tetapi lebih kepada pengendalian keinginan yang dapat menjadi hambatan bagi pencapaian sesuatu yang luhur (baik) dan atau mendorong jiwa sehingga melakukannya mencapai cita-cita yang didambakan.[30]
Keampuhan sabar dalam menunjang kesuksesan orang sudah dibuktikan oleh analisis psikologi modern. Dalam buku Emotional Intelligence karya Daniel Goldman disebutkan bahwa yang menentukan sukses tidaknya seseorang bukanlah kecerdasan intelektual, tapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini dapat diukur dari kemampuan manusia dalam mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam islam, disebut dengan sabar.
Dalam Alquran ditemukan beberapa konteks dalam bersabar:[31]
1.      Dalam menaati ketetapan Allah
2.      Menanti datangnya janji atau hari kemenangan
3.      Mengahadapi ejekan(gangguan) orang-orang yang tidak percaya
4.      Menghadapi kehendak nafsu untuk melakukan pembalasan yang tidak setimpal.
5.      Dalam melaksanakan ibadah
6.      Dalam menghadapi malapetaka
7.      Dalam usaha memperoleh apa-apa yang dibutuhkan
8.      Dalam al-Quran disebut dengan al-ba’sa’

Dari beberapa konteks tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga jenis sabar yaitu:
Ø  Sabar dalam menghadapi musibah
Ø  Sabar dalam melakukan ibadah
Ø  Sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat
Pada sisi lain, al-Quran menekankan sabar dalam tiga hal yaitu:
Ø  Dalam usaha mencapai apa yang dibutuhkan
Ø  Dalam menghadapi malapetaka
Ø  Dalam peperangan dan perjuangan
Masing-masing dari tiga kesabaran itu dapat diringkas lagi menjadi dua yaitu:[32]
Ø  Sabar jasmani, yakni kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh seperti ibadah haji, peperangan, penyakit-penyakit jasmani.
Ø  Sabar ruhani, yaitu kemampuan menahan hawa nafsu.
Sahabat Ali berkata: “Allah  menyayangi seseorang yang mempergunakan kesabarannya sebagai kendaraannya dan takwa bekal kematiannya.”
C.     Tawakal
Firman Allah

Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. )QS.At-Thalaq:3)


kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. (QS.Ali-imran:159)

kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal. (QS.Ali-Imran :122)
Doa Nabi Ibrahim as yang terakhir kali saat beliau dicampakkan ke dalam kobaran api adalah: 

Hasbiyalloh-hu wa ni’mal wakiil”  (cukuplah Allah sebagai penolongku dan Dialah sebaik-baik pelindung)[33]
Beberapa arti tawakal yang diungkapkan oleh beberapa ulama. Diantarnya menurut :[34]
v  Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa tawakal adalah yakin dan percaya kepada Allah
v  Abdullah bin Daud al-Kharaby megatakan bahwa tawakal adalah berprasangka baik kepada Allah.
v  Syaqiq bin Ibrahim mengatakan bahwa tawakal adalah ketenangan hati dengan apa yang telah dijanjikan Allah kepada makhluk-Nya.
v  Imam Ahmad bin Hambal, tawakal merupakan aktivitas hati, artinya tawakal itu merupakan perbuatan yang dilakukan oleh hati, bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Dan tawakal juga bukan merupakan sebuah keilmuan dan pengetahuan.
v  Ibnu Qayyim al-Jauzi, tawakal merupakan amalan dan ubudiyah hati dengan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah, tsiqah kepada-Nya, berlindung hanya kepadaNya, dan ridho atas sesuatu yang menimpa dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikannya segala kecukupan bagi dirinya, dengan melaksanakan sebab-sebab serta usaha keras untuk dapat memperolehnya.
Derajat dari orang- orang yang berlaku tawakal [35]adalah:
1.      Ma’rifat kepada Allah swt dengan segala sifatNya, meliputi tentang kekuasaan-Nya, keagunganNya,keluasan ilmuNya,keluasan Kekayaan Nya, dsb.
2.      Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha.
3.      Adanya ketetapan hati dalam mentuhidkan (mengesakan) zat yang di tawakali, yaitu Allah.
4.      Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah swt.
5.      Husnudzan (berbaik sangka) terhadap Allah swt.
6.      Memasrahkan jiwa sepenuhnya hanya kepada Allah.swt.
7.      Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah swt.
Hakikat tawakal adalah mengenal Tuhan beserta sifat-sifatNya, adanya  ketetapan sebab musabab yang harus dijaga dan dilaksanakan sebaik-baiknya, meggantungkan hati kepada Allah dan menyandarkan segala urusan kepadaNya, lekatnya hati denga Tauhid, selalu berbaik sangka kepada Allah, menyerahkan hati kepada Allah dengan sebaik-baiknya takwa, berpasrah diri, dan ridha.
Manfaat tawakal adalah :
1.      Realisasi iman seorang hamba
2.      Mendapatkan ketenangan dan ketentraman jiwa
3.      Allah akan mencukupi semua urusan orang yang bertawakal
4.      Tawakal adalah sarana untuk mendapatkan kebaikan dan menghindari kerusakan
5.      Menumbuhkan rasa cinta Allah kepada hambaNya
6.      Menghasilkan kemantapan dan kekuatan hati menghadapi musuh
7.      Menjadikan lebih sabar dan tabah
8.      Menumbuhkan percaya diri dan kemenangan
9.      Menggunakan tekad dalam segala urusan
10.  Tawakal membuka pintu rezki.
D.    Intropeksi Diri
Intropeksi diri adalah dimana kita mau memperbaiki diri dari segala hal yang pernah kita lakukan. Mencoba memperbaiki sikap atau tingkah laku jika kita pernah melakukan kesalahan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.[QS.al-Hasyr(59:18)]

Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah memberikan nasihat, "Hitung-hitunglah (amal) diri kalian sebelum kalian dihitung ! Timbanglah (amal) diri kalian sebelum kalian ditimbang ! Perhitungan kalian kelak (di akherat) akan lebih ringan dikarenakan telah kalian perhitungkan diri kalian pada hari ini (di dunia). 

Berhiaslah (persiapkanlah) diri kalian demi menghadapi hari ditampakkannya amal. Pada hari itu kalian dihadapkan (kepada Rabb kalian), tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi (bagi Allah). [HR. At-Tirmidzi].
Bahkan al-Hasan menjadikan introspeksi diri sebagai tanda keimanan seseorang, "Tidaklah anda jumpai seorang mukmin, kecuali dalam keadaan menghitung-hitung dirinya: Apa yang ingin engkau lakukan? Apa yang ingin engkau makan? Apa yang ingin engkau minum? Sebaliknya, orang fâkir akan terus berbuat tanpa memperhitungkan dirinya."
Sehingga introspeksi diri adalah salah satu tanda keimanan seseorang dan meninggalkannya merupakan tanda kefasikan. Lebih dari itu, introspeksi diri menggambarkan tingkat ketakwaan seseorang. Maimun bin Mahrân mengatakan, "Sesungguhnya orang yang bertakwa akan lebih kuat menghitung-hitung dirinya bila dibandingkan dengan penguasa zhalim dan sekutu dagang yang pelit."
Penguasa yang zhalim sangat teliti mengawasi kekurangan yang terjadi dalam kekayaan kerajaannya, bahkan melewati batas wewenangnya; Demikian juga relasi dan teman bisnis yang pelit, ia sangat teliti dalam menghitung keuntungannya, tidak rela sedikit pun keuntungannya dikurangi. Namun pengawasan ketat dua tipe manusia ini bila dibandingkan dengan pengawasan ketat yang dilakukan orang yang bertakwa kepada dirinya, maka didapati pengawasan orang yang bertakwa  lebih ketat.
Introspeksi diri dilakukan sebelum dan sesudah beramal. Sebelum beramal, hendaklah seseorang berhenti sejenak dan merenungkan sampai nampak baginya pilihan terbaik, antara dilakukan atau ditinggalkan.
Al-Hasan menyatakan, "Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak ketika hendak melakukan suatu. Apabila dilihat amalan itu untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut dilakukannya. Apabila dipandang bukan untuk dan karena Allâh, maka amalan tersebut ditinggalkannya.
Ketahuilah, introspeksi diri setelah beramal itu ada tiga jenis :
1.       Introspeksi diri atas ketaatan yang telah ia lakukan. Apakah ada kekurangannya ? Apakah sudah sesuai keinginan Allâh dan tuntunan rasul-Nya ?
Misalnya, apakah shalat yang kita lakukan telah sesuai dengan tuntunan Rasulullah ? Baik lahir maupun batin. Ataukah hanya sebatas lahiriahnya saja ? Jauh dari kekhusyu'an bahkan ada unsur dunia di dalamnya ? Sejak takbiratul ihrâm sampai salam. Padahal kita diperintahkan shalat untuk mengingat Allâh !! Bukan mengingat yang lain. Sebagaimana firman-Nya :
Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. [QS.Thâhâ(20:14)]

2.       Introspeksi diri atas setiap amalan yang sebaiknya ditinggalkan.
Sebagai permisalan adalah kebiasaan sebagian orang yang merayakan malam tahun baru dengan bergadang semalam suntuk, membuat gaduh dengan suara petasan, klakson serta knalpot, serta berbagai bentuk gangguan terhadap orang lain, sampai akhirnya tidak bisa melaksanakan shalat Shubuh, karena terlalu letih. Dengan perbuatan seperti ini, sang pelaku minimal melakukan dua jenis dosa. Pertama, dosa menzhalimi orang lain yaitu telah mengganggu orang lain. Dosa jenis ini tidak akan diampuni oleh Allâh sampai orang yang terzhalimi memaafkannya. Kedua, dosa kepada Allâh, karena meninggalkan suatu yang diwajibkan, yakni shalat Shubuh berjamaah pada waktunya.
3.       Introspeksi diri atas setiap amalan yang mubah dan suatu kebiasaan. Kenapa dia melakukannya ? Apakah demi mencapai kesuksesan akhirat ? Kalau ya, berarti dia telah beruntung. Ataukah demi kenikmatan dunia yang sesaat ? kalau ini memotivasinya, malah alangkah ruginya.
Misalnya, makan dan minum kita. Apakah hanya sekedar untuk memuaskan nafsu, ? Ataukah supaya berbadan kekar lalu bangga dan sombong karenanya ? Semua ini akan sirna bersama dengan datangnya ajal. Ataukah makan dan minum itu kita lakukan demi menjaga stamina tubuh kita agar bisa beribadah dengan kuat dan khusyu' ? Apabila yang pertama motivasi kita, niscaya yang kita dapatkan hanya secuil kenikmatan dunia yang tidak berarti sama sekali bila dibandingkan dengan kenikmatan akherat. Namun, jika yang kedua yang menjadi niat kita, maka dengan idzin Allâh Azza wa Jalla, kita akan meraih kenikmatan dunia dan kesempurnaanya di akherat, alias sukses dunia dan akherat.
Bertahap kita lakukan introspeksi diri atas kewajiban kita. Jika kita dapati ada kekurangannya, maka segera kita tutupi dengan memperbaiki atau menggantinya. Inilah salah satu fungsi shalat sunnah rawâtib yang mengiringi shalat wajib lima waktu. 
Selanjutnya, kita introspeksi diri atas larangan-larangan Allâh. Jika kita dapati diri kita sudah terjerumus kedalamnya, maka segera diiringi dengan taubat, isthighfâr serta berbagai amal ketaatan. Rasûlullâh bersabda :
“Iringilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, niscaya akan menghapuskan yang buruk”. [HR. Abu Dâwud, Ahmad dan lain-lain]
Selanjutnya, kita juga introspeksi diri atas kelalaian kita. Jika kita dapati diri ini sering melupakan Allâh Azza wa Jalla, maka segera mengingat dan menyebut nama-Nya dengan berbagai lafadz dzikir yang diajarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena dzikir akan menjadikan hidup tenteram dan bahagia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

“Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.[QS. ar-Ra'du(13:28)]

Yang tidak kalah pentingnya adalah introspeksi diri atas pendengaran, pengelihatan, tangan dan kaki kita. Organ-organ ini kita pergunakan untuk apa ? Karena siapa ? Dan dengan cara apa ? Karena Allâh Azaza wa Jalla berfirman :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. [al-Isrâ'(17:36)]

Introspeksi diri paling tidak akan mendatangkan dua manfaat. Pertama, tahu aib diri sendiri. Sehingga tergerak untuk memperbaiki diri, karena ada rasa malu.[36]
E.     Pengendalian Jiwa
Jika seseorang mencintai orang lain, ia akan memberikan sesuatu yang diingini oleh orang yang dicintainya. Tabiat manusia akan segera menerima sesuatu dari yang member  dan menyibukkan cintanya untuk menerimanya. Namun, banyak di antar kita yang tidak memperlakukan jiwa seperti perlakuan itu ketika menerima perkara-perkara yang berhubungan dengan akhirat. Dan jiwa memiliki tabiat menerima atau menolak pengaturan.
Terkadang, jiwa menerima untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan akhirat, seperti membaca Al-Qur’an, shalat tahajud, zikir, membaca, menulis, atau menambah kebaikan, dan amal-amal lain yang semisal degan hal-hal tersebut. Juga terkadang menolak untuk melakukan semuanya. Karena itu, bagi orang yang berakal harus bersemangat menggunakannya saat jiwa menerima untuk melakukan kebaikan dengan sebaik-baiknya, agar tidak kehilangan kesempatan ketika jiwanya menolak untuk melakukan amal-amal kebaikan di suatu waktu.[37]
Pengendalian gerak jiwa ini tidak dilakukan, kecuali oleh sedikit orang. Fenomena ini menjadikan Imam Ibnu al-Jauzi berusaha menjaga untuk megungkapakan kaidah besar pengendalian jiwa dari ulama-ulama, orang-orang zuhud dan para dai. Karenanya ia berkata, “Aku melihat sekelompok dari ulama, orang-orang zuhud, tidak memahami makna pengendalian gerak jiwa, karena di antara mereka ada yang memaknainya dengan melarang pada kesenangannya secara mutlak. Dan, ini salah dilihat dari dua segi sebagai berikut.[38]
1.      Walau banyak melarang jiwa dari kesenangan-kesenangannya, ia tetap memiliki syahwat dan memberikan pelarangannya lebih tepat. Misalnya, melarang jiwa dari hal yang mubah, sehingga terkenalah pelarangannya terhadap hal ini. Jiwa rela dengan pelarangan ini, karena telah menghasilkan pujian dan lebih ringan dari itu, ia melihat (dengan pelarangannya terhadap syahwat) bahwa ia diutamakan dari yang selainnya yang tidak melarangnya.
2.      Kita telah diperintahkan untuk menjaga syahwat. Diantara sebabnya adalah syahwat melenceng dari perkara-perkara yang lurus, maka harus diberikan kepadanya hal-hal yang meluruskannya. Kita sebagai wakil-wakil yang menjaganya, harus melarangnya dari hal-hal yang berbahaya. Dan, berapa banyak kekerasan mewajibkan kelunakan dan berapa banyak jiwa yang sempit, lari darinya sehingga sulit untuk meluruskannya.
Demikianlah, jiwanya bersama pengontrolan geraknya. Dalam suatu waktu diperlukan dengan lemah lembut dan di waktu lain dengan keras. Tergantung keberadaannya. Inilah pengontrolan sirkulasi jiwa, perubahan jiwa, yang meluruskan jiwa, dan meningkatkannya dari satu tingkatan ke tingkatan lain dengan mudah dan ringan. Berapa banyak telah kita lihat orang-orang saleh yang tidak kita ketahui, kecuali bertindak keras atau lembut, di mana di akhir perkaranya menjadi lebih baik.
F.      Metode-Metode Pendidikan Jiwa
Diantara kumpulan perkataan yang berkaitan dengan pendidikan jiwa adalah yang dikatakan seorang imam yang zuhud, Abu Sulaiman ad-Darani, “Perasaan hati yang halus terbentuk dengan berteman bersama orang-orang yang takut kepada Allah, mendatangkan cahaya hati dengan terus-menerus bersedih, berusaha memperoleh pintu kesedihan dengan terus-menerus berpikir, berusaha memperoleh pemikiran adalah di saat sendiri (khalwat), menjaga diri dari setan dengan menentang kehendak hawa nafsu, berhias karena Allah dengan keihklasan dan benar dalam beramal, mendapatkan ampunan dengan malu kepada-Nya dan merasakan pengawasan-Nya, mendatangkan tambahan nikamat dengan bersyukur, dan melanggengkan kenikmatan dengan takut kehilangan semua itu.”[39]
a)      Antara ‘Arasy dan Hati
Sesuatu yang wujud yang paling tampak, paling terang, paling mulia paling tinggi, dan paling luas, baik zat maupun kedudukannya adalah ‘Arasy Allahur-Rahman Azza wa Jalla. Karenanya pula, setiap yang lebih dekat dengannya, ia lebih terang, lebih tampak, dan lebih mulia dari yang lainnya. Seperti surga Firdaus, ia lebih bercahaya, lebih mulia dan lebih tinggi daripada surge lainnya lantaran ia lebih dekat kepadanya, bahkan ia adalah atap ‘Arasy. Sebaliknya, setiap yang lebih jauh darinya akan lebih gelap dan lebih sempit. Maka, sesuatu yang paling rendah dan hina adalah sesuatu yang paling buruk, yang paling kotor dan paling jauh dari setiap kebaikan.[40]
Allah Azza wa Jalla telah menciptakan hati sebagia tempat untuk ma’rifat(mengenal)-Nya, sebagai tempat untuk mahabbah “cinta” dan “iradah”(kehendak)-Nya. Hati adalah ‘Arasy bagi matsal ul-a’la sifat-sifat yang maha luhur berupa makrifat, mahabbah, dan iradah-Nya. Allah swt berfirman,
Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(an-Nahl:60)

Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(ar-Rum : 27)

Itulah matsal ul-a’la yang bersemayam pada qalbu sang mukmin sebagai ‘Arasynya. Bila qalbu tersebut tidak lebih suci, tidak lebih baik dan tidak sangat jauh dari setiap noda dan kotoran, maka tidak patut menjadi tempat bersemayamnya ma’rifatullah, mahabbah, dan iradah-Nya. Ia layak ditempati oleh sifat dunia yang rendah, layak untuk ditempati oleh iradah dan cintanya dan keterikatan dengannya sehingga kalbu tersebut menjadi sempit, sumpek dan gelap dan jauh dari kesempurnaannya. Maka, jadilah kalbu manusia terbagi menjadi dua: kalbu yang merupakan ‘Arasy Allah ar-Rahman yang memiliki cahaya, kehidupan, kebahagiaan, dan sebagai lumbung segala kebajikan, dan kalbu yang merupakan ‘Arasy setan yang sumpek, gelap, mati, penuh kedukaan, dan kesusahan. Hati yang kedua ini sedih karena masa lalunya dan duka terhadap masa datangnya serta susah menjalani masa kininya.[41]
Imam al-Hakim dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda
اِذَا دَخَلَ النُّوْرُ الْقَلْبَ اِنْفَسَحَ وَ اَنْشَرَحَ قَالُوا فَمَاعَلاَمَةُ ذَلِكَ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : اَلاِنَابَةُ اِلَى دَارِالْخُلُوْدِ وَالّتَجَانِيْ عَنْ دَارِ الْغُرُوْرِوَالْاِسْتِعْدَادُ لِلْمَوْتِ قَبْلَ نُزُوْلِهِ(رواه الترمذي)
Jika kalbu dimasuki nur, maka ia akan lapang dan lega. Mereka bertanya, ‘Apa tanda-tandanya wahai Rasulullah?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Yaitu inabah’kembali’ kepada negeri kekekalan dan menjauh dari negeri yang penuh tipuan dan main-main serta bersiap-siap menghadapi kematian sebelum datang.(HR. at-Tirmidzi)
Nur atau cahaya yang masuk ke kalbu tersebut tidak lain ialag matsal ul-a’la yang menjadikannya terang dan luas. Bila tidak dimasuki olehnya yang terdiri atas ma’rifatullah dan mahabbahNya, maka ia menjadi sempit dan gelap.
b)        Memperbaiki Hati
Bagaimana hati seseorang dapat dicerahkan sementara gambar dunia ini terlukis dalam cermin hatinya? Atau, bagaimana ia akan dapat berangkat menuju kepada Allah, kalau ia sendiri masih terbelenggu syahwatnya? Atau bagaimana ia ingin menghadap kepada Allah bila ia sendiri belum suci dari tindakan-tindakan dosa akibat kelengahannya (terhadap Tuhan)? Atau bagaimana ia dapat memahami rahasia gaib padahal ia belum bertobat dari segala kesalahannya?
(Ibnu Atha’illah)[42]

Menurut Al-Ghazali, hati ditakdirkan untuk memantulkan cahaya rahasia-rahasia Ilahi. Yang dengannya Allah membukakan tabir-tabir misteri, realitas-realitas yang tersembunyi dibalik dunia material kita yang kompleks.
Menurut Robert Frager-syaikh sufi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psyhology, California-hati adalah sebuah kuil yang ditempatkan Tuhan di dalam diri setiap manusia. Sebuah kuil untuk menampung percikan Ilahi di dalam diri kita. Ia mengutip sebuah hadits terkenal, di mana Tuhan berkata “ Aku, yang tak cukup ditampung oleh langit dan bumi, akan tertampung di dalam hati seorang yang beriman yang tulus.” Karena itulah, tegasnya, kuil di dalam diri kita ini lebih berharga daripada kuil tersuci sekalipun di muka bumi ini. Maka, jika kita melukai hati manusia lainnya dosanya lebih besar daripada merusak sebuah tempat suci di dunia ini.[43]
Mengingat sangat pentingnya hati dalam diri manusia, maka keniscayaan bagi kita untuk menjaganya agar ia selalu dalam keadaan bersih. Caranya seperti dikemukakan Rabi’ah Al-Adawiyah, menyegel hati kuat-kuat sehingga tidak memberikan kesempatan bagi selain Allah. Kondisi seperti ini hanya bisa dicapai jika kita telah menjadi hamba pecinta Allah sejati. Yakni dalam kata-kata Fakhruddin  Iraqi: “ agar pecinta hanya mencintai-Nya saja, hanya membutuhkan-Nya.” Dengan demikian, kita tidak boleh membut Allah cemburu karena hati kita berpaling dari Nya. Memang sangat berat menjaga stabilitas hati ini. Karena ia mudah berubah.
Tepat gambaran yang diberikan Syaikh Fadhalala Haeri untuk hati sebagai “banyak profil, satu wajah”. Banyak sekali sifat yang bisa dijumpai pada diri seseorang-kekanak-kanakan, lugu, agresif, penurut, matrealistis, spiritualistis, petualang, perenung, spontan, dan sebagainya. Semua jenis ini, dan masih banyak lagi lainnya, berlabuh dalam hati. Hal ini bisa menyebabkan hati mempunyai sifat bolak-balik dalam menentukan suatu ketetapan.[44]
c)         Mengharap Ampunan
Mengharap ampunan adalah penguat dasar kelima yang dibangun oleh zahid, Hatim al-Asham dalam tawakal, tepatnya ketika ia berkata, “ Dan aku megetahui bahwa aku tidak lepas dari pandangan Allah di mana pun aku berada, maka aku malu kepada Nya (jika melakukan kejahatan dan tidak berbuat kebaikan).” Terus-menerus merasa berada dalam pengawasan Allah akan memperoleh perasaan malu kepada Allah ta’ala dan menahan diri dari hal-hal yang dibenci Allah ta’ala, sehingga seorang hamba mengharapkan ampunan Allah swt.[45]
d)        Tentram Bersama Allah
Engkau harus tahu bahwa salah satu dampak dari mahabbah adalah merasa akrab, dan hakikat keakraban adalah kegembiraan hati karena tersingkapnya kedekatan, keindahan,dan kesempurnaan Allah swt. Sedangkan   hakikat dekat dengan Allah, menurut sebagian ulama, adalah hilangnya merasakan segala sesuatu dari hati dan tunduknya nurani kepada Allah.[46]
Abu Husain al-Wariq menyatakan, “ Ketentraman kepada Allah tidak akan terjadi, kecuali ia bersama dengan takzim. Dan setiap orang yang berada dalam tahap tersebut, hatinya runtuh dalam pengagungan kepada Allah selagi takzim bertambah, bertambah pula uns-Nya dan bertambah pula takzim dan haibahnya.”
e)         Menambah Nikmat dan Melanggengkannya
Allah swt berfirman dalam kitabNya,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS.Ibrahim: 7)
Syukur tidak terbatas pada lisan atau ucapan, tetapi disempurnakan dengan amal. 

Allah swt. berfirman,
“Bekerjalah, hai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah).” (QS.Saba’:13)
Nikmat bisa bertambah tapi tidak langgeng karena ‘ujub(berbangga diri) dan melupakan yang member kenikmatan dan menahannya, yakni Allah swt..Maka, mengintropeksi jiwa dan memperhatikan hak bersyukur atas-Nya pada nikmat ini, harus disertai dengan: 
Ø  Pengakuan terhadap keutamaan Allah
Ø  Daya dan kekuatan Nya
Ø  Ketundukan kepada Allah ta’ala
Ø  Memberikan hak Allah yang diketahui
Ø  Tidak sewenang-wenang terhadap makhluk
Ø  Dan selalu takut, minimal atas karuni nikmat yang akan mengakibatkan hilangnya kenikmatan itu.
Semua ini mengantarkan, denga izin Allah, pada kelanggengan nikmat selama seorang hamba sukses dalam memilih yang mudah dan tenang, yakni bersama Allah swt. dan berada di jalan Nya.[47]



Menunggu Bab 4

No comments:

Post a Comment