Tuesday 18 November 2014

[Cermin] Rindu Cahayamu



Rindu Cahayamu
Kazuhana El Ratna Mida




            Aku sangat suka melihat Matahari terbenam. Cahaya begitu indah menyilaukan mata. Namun, aku sangat betah berlama-lama menyatu dengan ruang yang ia cipta. Dimanapun aku berada selalu aku memburunya, mengabadikan sinar terangnya untuk kupersempahkan pada bintang yang aku punya.

            Aku masih menunggu dengan sabar senja yang ada, menunggu momet paling tepat untuk mengabadikannya. Mataku mentap tajam memperhatikan sinar yang menyilaukan. Bukan satu dua kali aku ke sini. Malah bisa dibilang sering. Entahlah aku suka saja, melihta senja di sini. Tempatnya nyaman dan mudah untuk aku jangkau.

            Tapi, jangan salah hasil jepretan yang aku bidik tidak lah sama, selalu ada cirri berbeda yang membuat aku tersenyum ceria. 

            “Masih berapa lama Dian?” Mas Rizal setia dari tadi menungguku.

            “Sebentar lagi Mas, cuma sebentar,” aku memberi kode padanya agar masih mau menungguku.

            Ya, dia adalah bintang yang selalu memenuhi rongga dadaku. Kebaikan dan perhatian yang dia berikan membuat hatiku luluh. Sinar ini nantinya akan aku berikan padanya, agar kami bisa saling menyatu.

            Aku harap kami akan selalu bersama dalam kurun waktu yang lama. Saling mendukung kesukaan akan keindahan langit yang sempurna. Kalau aku suka matahari, maka mas Rizal lebih suka bintang yang terang di malam hari. Namun, itu tidak menjadikan kami saling adu argumentasi. Malah kami saling melengkapi.

            Mas Rizal selalu bilang, bintang ini akan dia berikan padaku,matahari yang dia punya. Pun dengan aku yag ingin menyerahkan cahaya terang pada dia bintang pujaanku.

            “Sudah, Mas, ayo pulang,” aku meraih tangannya, mengandeng dia agar mengikuti langkah yang aku punya.

            “Nanti malam giliranku ya?” dia menatapku dengan lembut.

            “Iya, aku tidak akan ingkar janji, kan kutemani Mas sampai datang pagi deh buat menyapa bintang,” aku tertawa terkekeh. Kami berjalan riang menuju rumah kami yang tidak jauh dari pantai Kartini.

*****
            Aku kembali memburu Senja esok harinya. Membayangkan sinar terang yang selalu memancar menerpa wajah. Aku duduk di atas batu karang tempat dulu yang selalu menajdi persinggahan. 

            Namun, sekarang aku sendirian, mas Rizal tidak punya waktu menami. Dia sibuk dengan urusannya sendiri. 

           Padahal aku sangat merindukannya. Ingin sekali aku memeluk erat dia yang bisa membuat aku merasa tenang. Memberikan sinar terang dalam bias mataku.
 
            “Semoga kau baik-baik saja mas,” lirih aku berucap.

            Aku masih berada ditempat yang sama, menunggu Senja yang tidak kunjung datang. Padahal sedari tadi aku menunggunya. Aku yakin aku tidak salah memperkirakan waktu datangnya.

            Namun, di sini hanya ada gelap yang aku rasa. Cahaya itu hilang tidak berbekas. Cahaya terang yang selalu menyinari aku sepanjang zaman, tiba-tiba dia hilang dengan begitu saja. Ah! Aku rindu, aku ingin melihat cahaya itu lagi. 

            Aku menagis di atas tumbu karang sambil menekuk lututku. Aku lelah menunggu senja yang tidak juga menyapa dengan sinar cerah seperti biasa.

            “Mas, kenapa dia tidak datang? Aku ingin melihat lagi dia lagi Mas, aku masih rindu, kau juga kenapa pergi begitu saja tanpa kata perpisahan? Meningglkan aku sendirian dalam pesakitan,”

            “Mas, aku ingin bersamamu saja, jika hanya kegelapan yang aku punya, Karena kau adalah cahaya yang aku punya, selain senja yang menyapa. Kau lebih terang tidak ada tandingannya, ” aku terisak keras di sana.

            “Mas, rengkuh aku kembali dalam dekapmu,” tangisku makin keras.

            Aku belum siap menerima semua Takdir Tuhan yang di tuliskan dama jejak langkah kehidupanku. Bintang yang aku sayang, telah Dia ambil dalam peluknya. Dan aku harus terkungkung dalam gelap karena kebutaan yang aku derita dari kecelakaan yang menimpa aku dan dia dalam perjalana ke luar kota.

            “Oh, Tuhan, aku masih rindu cahaya, bisakah aku melihat indahnya sinar terang itu?” 

            “Matahari yang menyinari Bumi,”

*****
            Aku tersentak dari lamunanku, dua bulan telah berlalau, namun aku belum bisa melupakan cahaya yang menyinari dan menghangatkan jiwaku. Aku masih rindu. 

            “Ikhlaskan dia Dian, saatnya kita pulang,” Adikku Mita menggandeng aku, membawa aku keluar dari makam Mas Rizal.
             

Jepara, 8 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment