Tuesday 18 November 2014

[Cernak] Gara-Gara Ceroboh







Gara-Gara Ceroboh
Kazuhana El Ratna Mida
            Sejak kecil aku, tumbuh dan bermain bersama dengan saudara sepupu yang semuanya laki-laki. Hal itu membuat aku sedikit tomboy.
Kubahiskan banyak waktu dengan membuntuti mereka. Ikut bermain sehingga aku selalu pulang petang dan dimarahi ibu. aku juga cukup bandel dan suka bermain sesuka hati. mengikuti kakak sepupuku, Umam yang mengajari salto yang sering aku tiru. Juga diajari memanjat oleh Amin dan Johan, sepupuku yang lain.
Di halaman rumah biasanya mereka berkumpul dan mengajakku bermain. Tentu aku menyambut dengan senang hati. Kebiasaan salto dan memanjat itu tumbuh hingga dewasa. Aku tidak takut dan berani ketika harus naik ke atap rumah dan malah menikmati dengan memetik buah rambutan yang bisa aku capai dengan tangan.
“Ayo lagi Fa,” teriak Amin menyuruhku mengambil rambutan. Dengan semangat kukumpulakan dan kulempar pada dia dan Johan yang ada di bawah.
****
 “Fa, mau ikut main tidak?” suara kak Umam sudah aku dengar. Hari ini hanya aku dan kak Umam. Amin dan Johan tidak bisa datang ikut bermain bersama.
Segera aku pamit pada ibu untuk bermain denganya. Aku dan dia berjalan beriringan menuju rumah kakek kami yang rumahnya tidak jauh dari sini.
Ketika sampai di rumah kakek, kulihat pamanku—Jaiz sedang membawa gerobak yang akan digunakan untuk mengambil kelapa ke kebun. Kak Umam semangat sekali untuk ikut, dan mengejakku ikut serta.
Aku mengangguk saja. Kupikir itu pasti seru dan asik jika naik di gerobak itu. segera aku dan kak Umam naik dengan semangat.
“Paman kami ikut ya, nanti kami bantu untuk mengambil kelapa,” izin kak Umam.
“Ya, boleh tapi hati-hati, kamu juga mau ikut Fa?” paman menatapku.
“Ikut! Ikut!” ucapku dengan semangat.
“Ya, sudah, jaga Ifa ya Mam,” pesan paman yang aku dengar.
Akhirnya gerobak pun dijalankan. Aku dan kak Umam menikmati berada di atas gerobak dengan senang.
Kubantu paman dengan riang. Yang terpenting bisa naik gerobak kalau pulang.
“Kamu kelihatannya suka sekali,”kak Umam berkomentar.
“Ha-ha-ha,” aku tertawa lebar.
“Iya, Kak, naik gerobak seperti naik ayunan,” aku menjelaskan. Kak Umam hanya tersenyum maklum.
“Tapi, hati-hati ya, jangan jingkrak-jingkran di atas gerobak nanti jatuh lho,” kak Umam memepringatkanku.
Aku mengangguk setuju. Awalnya aku mengikuti sarannya. Namun,ketika pada putaran ke dua kami menuju kebun. Aku sudah lupan pesan yang kak Umam katakan. Aku terlalu senang dan berjingkrak-jingkrak di atas gerobak yang tengah berjalan.
Bruk!
Aku jatuh dari gerobak, dan langsung menangis keras.masih sempat aku lihat kak Umam yang panik dan langsung membawaku pulang.
“Apa yang terjadi Umam?’
“Ifa, jatuh Bulek, tadi sudah aku ingatkan, tapi ….”
“Tidak apa-apa Umam,” Ibu menenangkan kak Umam yang merasa bersalah.
Ibu menggendongku dan menidurkan aku di ranjang.
“Ifa, Ibu sudah bilang,’kan? Jangan ceroboh! Coba lihat akibatnya, jadi jatuhkan?” ibu mentapku yang kini menunduk.
“Sakit, ‘kan?”
Aku mengangguk, merasa bersalah. Kecerobohan yang aku lakukan benar-benar fatal. Dari kejadian itu aku harus masuk rumah sakit untuk perawatan. Aku juga jadi teringat dengan kecerobohan lain ketika aku salto dan membuat pergelangan tanganku patah.
Sekarang aku kapok, aku harus berhati-hati dan tidak ceroboh lagi. Boleh bermain tapi harus hati-hati.
“Bagaimana mau diulang lagi tidak?” ibu menatapku lembut.
Segera aku menggeleng dengan cepat. Cukup untuk kali ini. Aku tak mau mengulang kecerobohan lagi.                 
Srobyong, 6 November 2014.

No comments:

Post a Comment