Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 1 Juli 2018
Judul : Tarian Bumi
Penulis : Oka Rusmini
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Ketiga, Maret 2017
Tebal : 182 halaman
ISBN : 978-602-03-3915-3
Peresensi : Ratnani Latifah, Univeritas Islam
Nahdlatul Ulama, Jepara
“Perempuan Bali itu, perempuan yang tidak terbiasa
mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu
mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih
hidup, dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah
asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari
tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup sendiri.”
(hal 25).
Novel ini membahas tentang kedudukan wanita dalam
masyarakat Bali. Bagaimana budaya
patriarki dan diskriminasi merenggut kebebasan para wanita. Segala laku mereka dibatasi dan diatur, mereka harus tunduk pada kaum lelaki, tunduk
kepada adat budaya, karena berbedaan kasta yang tidak boleh dilanggar. Salah
satu dalam hal adat penikahan. Di mana wanita brahmana (kelas bangsawan) tidak
boleh menikah dengan laki-laki dari kaum sudra (kasta rendah).
Menceritakan tentang Telaga,wanita brahwana yang
jatuh cinta dengan seorang pria sudra bernama Wayan. Kenyataan itu tentu sangat
mengejutkan bagi siapa saja. Luh Gumbreng, ibu dari Wayan, sebenarnya sangat
menentang keputusan Wayan. Dia merasa harus meluruskan pemikiran putra
sulungnya itu. “Menikah dengan perempuan
Ida Ayu Pasti mendatangkan kesialan (hal 152).
Begitu pula dengan Luh Sekar, ibu Telaga. Dia sangat
marah besar ketika mengetahui kenyataan bahwa putri yang dia didik sedemikian
rupa, agar bisa menikahi para Ida Bagus (sebutan kamu laki-laki dari kaum
bangsawan), kini malah jatuh cinta dengan pria sudra. Menurutnya itu adalah
aib. Meski tidak dipungkiri, bahwa dirinya dulu memang seorang wanitaa sudra.
Namun dia berbeda dengan Telaga. Dengan ambisinya dia berhasil menikahi seorang
ida bagus, meski untuk meraihnya dia harus membayar sangat mahal. Belum lagi ketika dia harus berhadapan dengan
Ida Ayu Sagra pidada—mertuanya.
Namun siapa yang bisa menghalangi dua insan yang
tengah dimabuk kasmaran? Akhirnya pernikahan itu pun terlaksana. Telaga harus
rela melepaskan gelar kebangsawanannya jika memilih Wayan. Di sinilah kehidupan yang sebenarnya mulai
menanti Telaga. Apakah dia menyesal atas keputusannya atau dia merasa bahagia,
meski hidup yang dia pilih tak seindah yang dia bayangkan. Apalagi sebuah
kejadian tidak terduga membuat Telaga harus lebih sabar dan ikhlas.
Diceritakan dengan alur maju mundur, novel ini
sukses membuat kita penasaran bagaimana menebak akhir kisahnya. Menarik dan
memikat. Pun dengan pemilihan sudut
pandang orang ketiga sebagai pencerita. Jadi kita mengetahui gambaran secara
luas para tokoh. Kisah dalam novel ini sendiri, tidak hanya fokus pada kisah
percintaan antara Telaga dan Wayan. Ada pula perjalanan panjang yang harus
ditempuh Luh Sekar, demi bisa keluar dari jerat kemiskinan.
Jika selama ini yang kita ketahui dari Bali hanya
perihal keindahan pantai dan seni tarinya yang menarik dan indah, maka di sini
kita lebih dikenalkan kepada akar kehidupan budaya yang jarang tersentuh oleh
publik. Bagaimana kehidupan para wanita bali dan perjuangan apa yang harus
mereka lakukan demi bertahan hidup dan meraih impiannya.
Sedang para laki-laki digambarkan sebagai sosok yang
kurang bertanggung jawab dan hanya bisa berfoya-foya, menggaet wanita dan tidak
bertanggung jawab. Meski tentu tidak semua gambaran laki-laki brahmana seperti
itu. Mungkin inilah titik kekurangan dari novel ini, yang terlihat kurang adil
dalam menilai kaum pria.
Selain mengkritisi tentang kedudukan perempuan Bali,
novel ini juga menyinggung tentang sikap pemerintah yang kurang peduli pada
kehidupan seniman, yang sebenarnya telah membawa nama baik bangsa, dari
keahlian dan sumbangsih prestasi yang dimiliki. Hal ini digambarkan pada
kehidupan Luh Kambren, yang meski dia sudah mendedikasikan hidupnya pada tari
dan membawa nama harum Bali, kehidupan Lum Kambren tetap hidup dalam
kemiskinan.
Tidak ketinggalan dalam novel ini ada sebuah kritik
sosial tentang pengaruh budaya luar, yang membuat kita kurang menghargai
warisan budaya yang kita miliki. “Mereka tidak belajar dari orang-orang luar,
bagaimana harus menyelamatkan peninggalan peradaban yang sangat mahal ini.
Peradaban yang tidak bisa dibeli dengan usia sekalipun.” (hal 92-93).
Srobyong, 10 Mei 2018
No comments:
Post a Comment