Dimuat di Harian Singgalang, Minggu 24 Juni 2018
Judul : Hijrah Bang Tato
Penulis : Fahd Pahdepie
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : x + 246 halaman
ISBN : 978-602-291-433-4
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Setiap orang baik
punya masa lalu dan setiap
pendosa punya masa depan. Karenanya, semua orang berkah atas kesempatan kedua
dalam hidupnya.” (hal 36).
Dalam hidup ini, setiap orang pernah melakukan
kesalahan. Sekali, dua kali atau lebih. Hal itu lumrah terjadi pada manusia. Karena
memang manusia tempatnya salah dan berdosa. Hanya saja, ketika kita melakukan
kesalahan, akankah kita tetap memilih terjebak pada kesalahan dan terus
mengulanginya? Atau memilih hijrah,
bertaubat dan memulai dari awal, membersihkan hati dan pikiran, kembali pada
jalan yang benar?
Diambil dari kisah nyata, novel berjudul “Hijrah
Bang Tato” ini sangat menarik dan menginspirasi. Fahd Pahdepie, dengan gaya bercerita yang
renyah, sederhana dan lugas, akan membuat kita terhanyut dalam kisah ini. Ada
kesan jenaka, serius juga emosi. Kisahnya sendiri tentang bertaubatnya seorang
preman. Dialah Lalan, yang kemudian lebih dikenal sebagai Bang Tato, karena
tubuhnya dipenuhi tato.
Sebelumnya Lalan adalah seorang preman yang
ditakuti. Namun karena melihat kematian kakeknya, dia akhirnya memilih hijrah.
Dia meninggalkan segala sikap buruk yang dulu pernah dilakukan dengan
memperbaiki diri. Setelah itu, dia menikah dengan Nurmah, putri seorang kiai. Di sinilah masalahnya. Ketika dia masih
menjadi preman, Lalan hidup berkecukupan. Berbeda saat ini, ketika dia
bertaubat kehidupannya berada dalam kubangan kemiskinan. Padahal dia harus menghidupi anak dan
istrinya. Beruntung dia bertemu penulis,
yang sedikit banyak membantu Lalan dalam proses hijrah dan mendapat pekerjaan
yang baik. Lalan mendapat kesempatan menjadi percaik kopi.
Tantangan lain yang harus dia terima adalah,
pandangan masyarakat terhadap dirinya. Ketika dia mengaku bertaubat,
orang-orang tidak mempercayainya. Bahkan ketika dia berniat untuk shalat di
masjid, warga mencegah dia untuk masuk ke masjid. “Percuma kamu shalat
karena kalaupun kamu shalat, nggak akan
diterima sama Allah lantaran badan kamu penuh tato.” (hal 69).
Keadan itu menuntut Lalan untuk mencari kebenaran,
benarkah taubatnya tidak bisa diterima karena tato? Hingga akhirnya dia bertemu
seorang ustad fiqih di daerah
Leuwiliang. Di mana ustad tersebut menjelaskan, “Allah mengampuni
hamba-hambanya yang mau tobat.” (hal 73). Lalan pun semakin semangat untuk
berubah.
Akan tetapi dalam perjalannya memperbaiki diri,
kematian ibunya, membuat Lalan kembali terpuruk. Dia marah dan kecewa. Lalan
kembali melarikan diri pada jalan lama. “Saya
nggak perlu jadi orang baik. Hidup saya di sini. Sejak lama hidup saya di sini.
Tuhan nggak pernah mendengar doa-doa saya. Hidup ini nggak adil sama saya.
Semua yang saya lakukan selama ini percuma.” (hal 199). Kejadian itu
membuat Lalan mencerna kembali apa itu makna hijrah yang sebenarnya. Apakah
untuk mengapus masa lalu, mengubah persepsi orang atau demi masa depan, demi
kebaikan diri sendiri di mata Allah.
Saya sangat menikmati membaca kisah ini dari awal
hingga akhir. Penulis menceritakannya
dengan gaya bahasa yang sederhana dan
unik. Keterlibatan penulis dalam cerita ini, menjadi warna tersendiri. Seru,
membuat penasaran dan kadang membuat tertawa. Karena ide-ide yang sering
ditawarkan Lalan itu sangat unik dan berbeda. Seperti ketika dia mau
menggelar sebuah konser. Di mana konsep
yang dia gunakan adalah gabungan musik metal religi dengan dakwah yang apik.
Buku ini menyadarkan kepada kita, bahwa setiap orang
berhak memperoleh kesempatan kedua.
Selain itu ada sindiran halus tentang keutamaan shalat yang harus
dilakukan umat Islam. “Shalat harus menjadi kesadaran bersama.
Hidup harus dijalankan dengan shalat. Ketundukan kepada Yang Maha
Menguasai Segala Sesuatu harus dibuktikan dengan dua hal. Pertama, pengangungan
dan ketundukan kepada Allah sebagai upaya untuk menyucikan diri. kita
menyebutnya takbiratul ikhram. Kedua, komitmen untuk menyebarkan kasih sayang
dan perdamaian kepada seluruh semesta, Assalamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh.” (hal 126).
Dan anjuran untuk tidak berburuk sangka, hanya
melihat dari cover saja. “Dunia ini memang kadang-kadang tak seperti yang
kita lihat di permukaannya. Pada beberapa kasus, apa yang kita sangka suci,
sering kalu justru keruh dan kotor. Sebaliknya apa yang kita sangka brengsek,
sering kali terasa biasa saja dibandingkan bajingan lain yang memakai
topeng-topeng kebenaran dan keadilan.” (hal
139).
Srobyong, 26 Mei 2018
No comments:
Post a Comment