Saturday, 7 July 2018

[Resensi] Cinta, Impian dan Bakti pada Orangtua

Dimuat di Kabar Madura, Selasa 26 Juni 2018


Judul               : Kami Yang Tersesat pada Seribu Pulau
Penulis             : Andaru Intan
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : Pertama, Mei 2018
Tebal               : 184 halaman
ISBN               : 978-602-5783-09-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Cinta bisa tumbuh di mana saja dan kapan saja. Karena cinta memang selalu banyak kejutan yang tidak pernah terduga. Namun bagaimana ketika cinta itu  membuat   kita  harus memilih? Tetap mempertahankan cinta, atau memilih mengerjar mimpi dan bakti pada orangtua?

Berbeda dari novel sebelumnya, “33 Senja di Halmahera” yang mengkat isu adat, budaya, dan agama, kali ini Andaru Intan kembali menyapa dengan novel apik yang membahas tentang masalah keluarga. Uniknya jika kebanyakan penulis lebih dominan memilih membahas masalah dengan ibu, maka tidak dengan penulis yang juga merupakan seorang dokter ini. Dia memilih membahas hubungan antara seorang anak perempuan dan ayah, yang kemudian dipadukan dengan masalah cinta juga sebuah mimpi.

Tia terlahir sebagai anak piatu. Ibunya sudah meninggal ketika melahirkan dirinya. Dengan alasan itu, dia kemudian dirawat oleh nenek dari pihak ibu. Meski diberi limpahan kasih sayang oleh neneknya,  namun Tia merasa bukan menjadi dirinya sendiri.  Karena neneknya hanya melihat sosoknya sebagai  memori dari putrinya yang sudah meninggal. Hal itulah yang membuat Tia merasa sedih, karena tidak bisa bebas.

Lalu suatu hari, ayahnya datang memberi tawaran untuk tinggal bersama. Bagi Tia itu adalah kabar yang menyenangkan. Dia akhirnya bisa hidup dengan ayah yang selama ini dia rindukan. Meski dia tidak tahu bagaimana perangai sang ayah. Setidaknya dengan keluar dari rumah nenek, dia bisa menjadi diri sendiri. Namun ternyata tinggal bersama ayahnya tidak seindah yang dia bayangnya. Dia merasa ada sebuah jarak tak kasat mata yang membentengi mereka.

Meski begitu, Tia tetaplah seorang anak yang memiliki impain sederhana. Dia ingin membahagiaan ayahnya yang sudah bekerja keras demi dirinya. Oleh karena itu dia belajar dengan sungguh-sungguh agar bisa masuk ke sekolah favorit. Namun siapa sangka tamu bernama cinta itu merusak segalanya. Bahkan hingga membuat Tia hampir melakukan kesalahan yang fatal (hal 32).

Setelah kegagalannya  masuk perguruan tinggi, menyebarangi pulau Jawa, menjadi pilihan Tia. Untuk melupakan segala kesedihan hatinya dan persiapan tahun depan untuk ikut seleksi perguruan tinggi, Tia diajak ayahnya untuk tinggal bersama di Ternate.  Di sinilah sebuah kisah terduga itu dimulai. Pertemuan tidak sengaja dengan Alang, membuat hidup Tia berubah. Di sisi lain, di sana dia juga harus menerima kenyataan bahwa pelan-pelan ayahnya diserang dimensia (hal 102).

Pada titik itu, Tia harus mengambil pilihan. Apakah dia tetap berada di Ternate dan melanjutkan hubungannya dengan Alang, atau kembali ke Surabaya untuk perawatan ayahnya dan persiapan masuk perguruan tinggi.

Kisahnya sederhana dan tidak terlalu rumit. Gaya bahasa penulis juga renyah dan lugas, membuat kita nyaman saat membaca. Membaca novel ini kita akan diajak menjelajahi empat tempat. Dari Yogyakarta, Surabaya, Papua hingga Ternate. Memang tidak semua dieksplore secara gamblang. Hanya Ternate yang kemudian dipaparkan lebih detail, mulai dari tempat-tempat liburan, hingga beberapa budayanya serta makanan khas daerah di sana.

Secara keseluruhan novel ini cukup menghibur.  Hanya saja pilihan sudut pandang orang pertama dalam bercerita, membuat kisah ini kurang hidup dan lebih terasa storytelling.  Namun lepas dari kekurangannya, novel ini cukup menarik untuk dibaca. Melalui buku ini ada pelajaran tentang pentingnya pola asuh yang baik pada anak, serta belajar arti kesabaran, keikhlasan, tidak mudah menyerah dan bakti kepada orangtua.

Srobyong, 2 Juni 2018

No comments:

Post a Comment