Monday, 9 July 2018

[Resensi] Suka Duka Menjadi Seorang Ibu

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 29 Juni 2018


Judul               : Hush Little Baby
Penulis             : Anggun Prameswari
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, Maret 2018
Tebal               : 340 halaman
ISBN               : 978-602-385-381-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Menjadi seorang ibu itu penuh tantangan. Pertama kita harus mengandut selama sembilan bulan dengan penuh perjuangan.  Kedua adalah waktu persalinan yang harus membuat kita siap berkoban nyawa.  Ketiga masa menyusui dan mulai merawat bayi, hingga tumbuh kembang. Hal inilah yang kadangkala membuat seorang ibu merasa takut dan khawatir. Sanggupkan mereka melewati semua fase itu atau tidak.

Keadaan inilah yang pada akhirnya akan membuat seorang ibu mengalami baby blues syndrome. Yaitu kondisi gangguan mood yang dialami ibu setelah melahirkan bayi. Kondisi ini biasa memiliki ciri-ciri kondisi emosi yang tidak stabil. Seperti mudah menangis, merasa kesal, cepat lelah dan merasa tidak percaya diri, sulit beristirahat hingga berdampak enggan untuk memerhatikan bayi.

Mengambil tema baby blue syndrome yang dibadukan dengan unsur thriller, novel ini memiliki kadar ketegangan yang membuat kita terpacu untuk menyelesaikan kisah ini hingga akhir.  Memilih alur maju mundur, membuat kita penasaran dengan puzzle-puzzle yang diciptakan penulis. Kita akan bertanya-tanya, tentang apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia begitu takut dan depresi?

Menceritakan tentang Ruby yang memiliki segalanya. Suami tampan, kaya raya dan sangat mencintainya. Semua begitu sempurna. Lalu kehadiran Gendhis, bayi cantik yang menjadi pelengkap dalam keluarga kecil mereka. Namun, entah kenapa hal itu tidak bisa membuat Ruby  merasa tenang. Kehadiran Gendhis malah membuat Ruby mengalami hari-hari yang berat dan melelahkan.  Ruby merasa ketakutan dan marah. Gendhis membuat masa lalu dan luka yang pernah menjajahnya, perlahan muncul dan meneror dirinya. Padahal selama ini dia sudah berusaha mengubur semua pesakitan itu dengan rapi.   “Kamu boleh berbuat salah pada masa lalu, tapi bukan pada masa depan.” (hal 17).

Ingatan tentang ibu yang sejak kecil merawatnya tumpang tindih dalam kepala Ruby. Begitu pula kisah kelam yang pernah dia alami di usia lima belas tahun, yang membuat ibunya menitipkan Ruby pada Bibi Ka. Potongan frase-frase itu membuat Ruby merasa terliliy. Setiap melihat Gendhis, Rubyi merasa ada yang salah. Kenapa dia tidak merasa bahagia dengan kehadiran bayi kecil itu? Kenapa dia benci bunyi tangis bayi yang terus meminta susu dari tubuhnya? Dia hanya ingin istirahat.

Keadaan Ruby yang seperti ini, tentu saja membuat Rajata, suaminya khawatir. Apalagi sebuah insiden yang membuat Ruby hampir menenggelamkan Gendhis. Hingga akhirrnya diputuskan bahwa Ruby butuh sebuah perawatan. Melalui perawatan itu,  kesadaran Ruby  pun mulai tertata. Namun kenapa ketika dia merasa sehat dan siap menjadi ibu, semua orang seolah tidak mempercayainya? Bunda Alana, mertuanya, Bibi Ka, hingga Rajata.

Dan kepingan masa lalu yang Ruby telusuri, ternyata membuka tabir kenyataan yang tidak pernah dia duga. Khusunya lingkungan keluarga.  “Masa lalu terkadang memang tidak seperti yang kita inginkan. Tapi selalu ada cara untuk menebusnya.” (hal 59).

Menegangkan dan menghanyutkan. Permainan psikologis para tokoh, sukses membuat saya merasakan kengerian. Sejak awal, kita sudah dibuat penasaran dengan masa lalu apa yang telah terjadi kepada Ruby. Kenapa sebagai seorang wanita, tidak ada sifat keibuan yang melekat pada dirinya. Ruby malah menjadi sosok wanita yang penuh ketakutan, yang tidak siap menjadi ibu.

Diceritakan dengan gaya bahasa yang lugas dan renyah, novel ini tidak susah dipahami.  Memang dalam novel ini masih ada beberapa sedikit kesalahan ketik. Dan ada bagian yang bisa ditebak dari klimaks cerita. Namun begitu, hal itu tidak mengurangi rasa penasaran untuk melanjutkan kisah ini, untuk membuka tabir puzzle yang sesungguhnya. Dan ternyata menyiapkan sebuah twist yang tidak pernah disangka.

Novel ini menyadarkan kita tentang dampak pola asuh yang salah pada anak.  Padahal lingkungan keluarga adalah pondasi awal dalam membangun karakter anak. “Yang kita petik hari ini, adalah yang kemarin kita tanam.” (hal 241).

Srobyong, 9 Juni 2018

2 comments:

  1. Aku kok jadi ikut deg-degan bacanya ya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah berkenan mampir di blog saya Mbak. Iya nih, kisahnya memang bikin deg-deg-an dan gemes.

      Delete