Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 29 Juni 2018
Judul : Hush Little Baby
Penulis : Anggun Prameswari
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Pertama, Maret 2018
Tebal : 340 halaman
ISBN : 978-602-385-381-6
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Menjadi seorang ibu itu penuh tantangan. Pertama
kita harus mengandut selama sembilan bulan dengan penuh perjuangan. Kedua adalah waktu persalinan yang harus
membuat kita siap berkoban nyawa. Ketiga
masa menyusui dan mulai merawat bayi, hingga tumbuh kembang. Hal inilah yang
kadangkala membuat seorang ibu merasa takut dan khawatir. Sanggupkan mereka
melewati semua fase itu atau tidak.
Keadaan inilah yang pada akhirnya akan membuat
seorang ibu mengalami baby blues syndrome. Yaitu kondisi gangguan
mood yang dialami ibu setelah melahirkan bayi. Kondisi ini biasa memiliki
ciri-ciri kondisi emosi yang tidak stabil. Seperti mudah menangis, merasa
kesal, cepat lelah dan merasa tidak percaya diri, sulit beristirahat hingga
berdampak enggan untuk memerhatikan bayi.
Mengambil tema baby blue syndrome yang
dibadukan dengan unsur thriller, novel ini memiliki kadar ketegangan
yang membuat kita terpacu untuk menyelesaikan kisah ini hingga akhir. Memilih alur maju mundur, membuat kita
penasaran dengan puzzle-puzzle yang diciptakan penulis. Kita akan
bertanya-tanya, tentang apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia begitu takut
dan depresi?
Menceritakan tentang
Ruby yang memiliki segalanya. Suami tampan, kaya raya dan sangat mencintainya.
Semua begitu sempurna. Lalu kehadiran Gendhis, bayi cantik yang menjadi
pelengkap dalam keluarga kecil mereka. Namun, entah kenapa hal itu tidak bisa
membuat Ruby merasa tenang. Kehadiran
Gendhis malah membuat Ruby mengalami hari-hari yang berat dan melelahkan. Ruby merasa ketakutan dan marah. Gendhis
membuat masa lalu dan luka yang pernah menjajahnya, perlahan muncul dan meneror
dirinya. Padahal selama ini dia sudah berusaha mengubur semua pesakitan itu
dengan rapi. “Kamu boleh berbuat salah pada masa lalu,
tapi bukan pada masa depan.” (hal 17).
Ingatan tentang ibu yang sejak kecil merawatnya
tumpang tindih dalam kepala Ruby. Begitu pula kisah kelam yang pernah dia alami
di usia lima belas tahun, yang membuat ibunya menitipkan Ruby pada Bibi Ka.
Potongan frase-frase itu membuat Ruby merasa terliliy. Setiap melihat Gendhis,
Rubyi merasa ada yang salah. Kenapa dia tidak merasa bahagia dengan kehadiran
bayi kecil itu? Kenapa dia benci bunyi tangis bayi yang terus meminta susu dari
tubuhnya? Dia hanya ingin istirahat.
Keadaan Ruby yang seperti ini, tentu saja membuat
Rajata, suaminya khawatir. Apalagi sebuah insiden yang membuat Ruby hampir
menenggelamkan Gendhis. Hingga akhirrnya diputuskan bahwa Ruby butuh sebuah
perawatan. Melalui perawatan itu,
kesadaran Ruby pun mulai tertata.
Namun kenapa ketika dia merasa sehat dan siap menjadi ibu, semua orang seolah
tidak mempercayainya? Bunda Alana, mertuanya, Bibi Ka, hingga Rajata.
Dan kepingan masa lalu yang Ruby telusuri, ternyata
membuka tabir kenyataan yang tidak pernah dia duga. Khusunya lingkungan
keluarga. “Masa lalu terkadang memang
tidak seperti yang kita inginkan. Tapi selalu ada cara untuk menebusnya.”
(hal 59).
Menegangkan dan menghanyutkan. Permainan psikologis
para tokoh, sukses membuat saya merasakan kengerian. Sejak awal, kita sudah
dibuat penasaran dengan masa lalu apa yang telah terjadi kepada Ruby. Kenapa
sebagai seorang wanita, tidak ada sifat keibuan yang melekat pada dirinya. Ruby
malah menjadi sosok wanita yang penuh ketakutan, yang tidak siap menjadi ibu.
Diceritakan dengan gaya bahasa yang lugas dan
renyah, novel ini tidak susah dipahami.
Memang dalam novel ini masih ada beberapa sedikit kesalahan ketik. Dan
ada bagian yang bisa ditebak dari klimaks cerita. Namun begitu, hal itu tidak
mengurangi rasa penasaran untuk melanjutkan kisah ini, untuk membuka tabir puzzle
yang sesungguhnya. Dan ternyata menyiapkan sebuah twist yang tidak
pernah disangka.
Novel ini menyadarkan
kita tentang dampak pola asuh yang salah pada anak. Padahal lingkungan keluarga adalah pondasi
awal dalam membangun karakter anak. “Yang kita petik hari ini, adalah yang
kemarin kita tanam.” (hal 241).
Srobyong, 9 Juni 2018
Aku kok jadi ikut deg-degan bacanya ya mbak
ReplyDeleteTerima kasih sudah berkenan mampir di blog saya Mbak. Iya nih, kisahnya memang bikin deg-deg-an dan gemes.
Delete