Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 6 Juli 2018
Judul : Cinta Suci Adinda
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : Pertama, Februari 2018
Tebal : 368 halaman
ISBN : 978-602-6334-56-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang
membuat penderita mengalami halusinasi, delusi, pikiran kacau bahkan perubahan
perilaku yang berbahaya. Hal ini bisa terjadi karena adanya unsur genetik,
masalah psikologi, neurobilogi dalam masalah sosial. Mengambil tema tentang kejiwaan, Afifah Afrah
hadir dengan kisah yang bertutur tentang loyalitas, totalitas dan
kesederhanaan.
Dalam novel ini kita akan diajak mengenal lebih
dekat tentang profesi dokter jiwa. Bagaimana cara mereka menanggapi para
pasien, dan bagaimana pula perasaan mereka (dokter dan perawat) ketika harus
berhadapan dengan pasien-pasien gila. Melalui proses panjang dan kematangan
dalam melakukan riset, penulis berhasil menghidupkan kisah ini. Kita seperti diajaka
memasuki RSJ dengan segala suka dukanya.
Adinda adalah salah satu perawat di rumah sakit jiwa
di Surakarta. Kesehariannya dia harus
bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang kurang waras. Ada pula dokter
Irhamudin Prasetya yang tampan, pintar—bahkan mendapat gelar sebagai “Man of
the Year” hanya saja, dokter Irham ini
terkenal dingin dan menjaga jarak dengan
orang-orang biasa.
Selain menjadi perawat di rumah sakit, Adinda juga
merawat Brata Kusuma yang menderita skizofrenia. Meski sejujurnya apa yang dia
lakukan itu sudah tidak lagi mendapat izin dari putra-putri Brata Kusuma,
setelah dia dipecat karena dianggap tidak berkomepeten dalam merawat Brata
Kusuma. Tapi tetap saja Adinda nekat,
dia tidak bisa membiarkan mantan majikan yang memiliki banyak jasa terhadap
hidupnya itu menderita. Dia percaya jika Brata Kusuma dirawat dengan intensif
pasti bisa sembuh (hal 59).
Masalah Brata Kusuma ini-lah, yang membuat Adinda
nekat meminta bantuan dari dokter Irham, yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya.
Hanya saja, setiap kali Adinda berusaha meminta bantuan, dokter Irham selalu
sibuk dan tidak bisa diganggu. Dan ketika akhirnya bertemu, Adinda malah kena
amukan kemarahan dari dokter itu, hingga berakhir kesalahpahaman.
Sampai sebuah kejadian tidak terduga, membuat Adinda dan dokter
Irham menyelesaikan kesalah fahaman itu. Dan karena kejadian itu pula yang
akhirnya membuat dokter Irham salut dengan ketelatenan Adinda dalam merawat
Brata Kusuma. Padahal putra-putri Brata
Kusuma, sendiri malah tidak peduli dengan kesehatan ayah mereka.
Akan tetapi, beberapa hari kemudian, terdengar kabar
bahwa Adinda dituduh sebagai dalang penculikan Brata Kusuma. Dia ditangkap
polisi dan dijebloskan ke penjara. “Adinda, lelaki itu bernama Bejo. Dia
mengaku dibayar kamu untuk menculik Pak Brata dan membawanya ke indekosmu.” (hal
242).
Novel yang menarik dan mendebarkan. Sejak awal kita
akan dibuat penasaran bagaimana akhir dari kisah ini. Karena dalam novel ini cukup banyak
puzzle-puzzle yang perlu kita susun untuk menemukan jawabannya. Mengingat dalam novel ini tidak hanya tentang
perjuangan Adinda dalam merawat Brata Kusuma. Namun ada hubungan apa di antara
mereka, serta alasan apa yang sampai membuat Brata bisa menderetia waham
paranoid dan gejala skizofrenia.
Selain itu kita juga akan dibuat penasaran kisah
cinta Irham yang cukup pelik. Dimulai
dari ditinggal kekasihnya menikah, lalu tunangannya yang lebih memilih karir
dan pertemuannya dengan Adinda yang sederhana dan penyabar. Penulis berhasil
membuat kisah yang tidak membosankan untuk diikuti sampai akhir.
Yang menarik lagi dari novel ini adalah adanya
muatan positif dan nilai-nilai hidup yang sangat membangun. Bahwa kesehatan itu
sejatinya bisa kita miliki jika kita mau menjaga tiga unsur; qalbu, aqliyah dan
jasadiyah. Qalbu adalah hati, jiwa aliar ruhani. Kita harus senantiasa memberi
asupan qalbu dengan banyak dzikir, doa, membaca Al-Quran, shalat dan
sebagainya. Aqliyah adalah akal, otak alias segala bentuk pemikiran. Di mana otak bisa dijaga
dengan memperbanyak membaca dan menulis. Kemudian jasadiyah, yaitu fisik
kita. Untuk cara menjaganya, kita harus
rajin berolahraga. (hal 158-159).
Tidak hanya itu ada pula sindiran-sindir halus yang
perlu kita renungkan. Kita juga diajak untuk menjadi pribadi yang tidak mudah
menyerah, jangan ceroboh dan selalu sabar dalam setiap mendapat musibah. Hanya
saja saya masih menemukan beberapa kesalahan tulis, serta tidak konsisten dalam
pemakaian kata aku dan saya. Namun lepas dari kekurangan yang ada, novel ini
bisa menjadi bahasa bacaan yang menarik untuk dibaca.
Srobyong, 2 Juni 2018
No comments:
Post a Comment