Monday, 16 July 2018

[Resensi] Perlu Kesabaran dalam Merawat Penderita Skizofrenia

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 6 Juli 2018


Judul               : Cinta Suci Adinda
Penulis             : Afifah Afra
Penerbit           : Indiva Media Kreasi
Cetakan           : Pertama, Februari 2018
Tebal               : 368 halaman
ISBN               : 978-602-6334-56-5
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Skizofrenia adalah gangguan mental kronis yang membuat penderita mengalami halusinasi, delusi, pikiran kacau bahkan perubahan perilaku yang berbahaya. Hal ini bisa terjadi karena adanya unsur genetik, masalah psikologi, neurobilogi dalam masalah sosial.  Mengambil tema tentang kejiwaan, Afifah Afrah hadir dengan kisah yang bertutur tentang loyalitas, totalitas dan kesederhanaan.

Dalam novel ini kita akan diajak mengenal lebih dekat tentang profesi dokter jiwa. Bagaimana cara mereka menanggapi para pasien, dan bagaimana pula perasaan mereka (dokter dan perawat) ketika harus berhadapan dengan pasien-pasien gila. Melalui proses panjang dan kematangan dalam melakukan riset, penulis berhasil menghidupkan kisah ini. Kita seperti diajaka memasuki RSJ dengan segala suka dukanya.

Adinda adalah salah satu perawat di rumah sakit jiwa di Surakarta.  Kesehariannya dia harus bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang kurang waras. Ada pula dokter Irhamudin Prasetya yang tampan, pintar—bahkan mendapat gelar sebagai “Man of the Year”  hanya saja, dokter Irham ini terkenal  dingin dan menjaga jarak dengan orang-orang biasa.

Selain menjadi perawat di rumah sakit, Adinda juga merawat Brata Kusuma yang menderita skizofrenia. Meski sejujurnya apa yang dia lakukan itu sudah tidak lagi mendapat izin dari putra-putri Brata Kusuma, setelah dia dipecat karena dianggap tidak berkomepeten dalam merawat Brata Kusuma.   Tapi tetap saja Adinda nekat, dia tidak bisa membiarkan mantan majikan yang memiliki banyak jasa terhadap hidupnya itu menderita. Dia percaya jika Brata Kusuma dirawat dengan intensif pasti bisa sembuh (hal 59).

Masalah Brata Kusuma ini-lah, yang membuat Adinda nekat meminta bantuan dari dokter Irham, yang sudah tidak diragukan lagi kemampuannya. Hanya saja, setiap kali Adinda berusaha meminta bantuan, dokter Irham selalu sibuk dan tidak bisa diganggu. Dan ketika akhirnya bertemu, Adinda malah kena amukan kemarahan dari dokter itu, hingga berakhir kesalahpahaman.

Sampai sebuah kejadian  tidak terduga, membuat Adinda dan dokter Irham menyelesaikan kesalah fahaman itu. Dan karena kejadian itu pula yang akhirnya membuat dokter Irham salut dengan ketelatenan Adinda dalam merawat Brata Kusuma.  Padahal putra-putri Brata Kusuma, sendiri malah tidak peduli dengan kesehatan ayah mereka.

Akan tetapi, beberapa hari kemudian, terdengar kabar bahwa Adinda dituduh sebagai dalang penculikan Brata Kusuma. Dia ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. “Adinda, lelaki itu bernama Bejo. Dia mengaku dibayar kamu untuk menculik Pak Brata dan membawanya ke indekosmu.” (hal 242).

Novel yang menarik dan mendebarkan. Sejak awal kita akan dibuat penasaran bagaimana akhir dari kisah ini.  Karena dalam novel ini cukup banyak puzzle-puzzle yang perlu kita susun untuk menemukan jawabannya.  Mengingat dalam novel ini tidak hanya tentang perjuangan Adinda dalam merawat Brata Kusuma. Namun ada hubungan apa di antara mereka, serta alasan apa yang sampai membuat Brata bisa menderetia waham paranoid dan gejala skizofrenia.

Selain itu kita juga akan dibuat penasaran kisah cinta  Irham yang cukup pelik. Dimulai dari ditinggal kekasihnya menikah, lalu tunangannya yang lebih memilih karir dan pertemuannya dengan Adinda yang sederhana dan penyabar. Penulis berhasil membuat kisah yang tidak membosankan untuk diikuti sampai akhir.

Yang menarik lagi dari novel ini adalah adanya muatan positif dan nilai-nilai hidup yang sangat membangun. Bahwa kesehatan itu sejatinya bisa kita miliki jika kita mau menjaga tiga unsur; qalbu, aqliyah dan jasadiyah. Qalbu adalah hati, jiwa aliar ruhani. Kita harus senantiasa memberi asupan qalbu dengan banyak dzikir, doa, membaca Al-Quran, shalat dan sebagainya. Aqliyah adalah akal, otak alias segala  bentuk pemikiran. Di mana otak bisa dijaga dengan memperbanyak membaca dan menulis. Kemudian jasadiyah, yaitu fisik kita.  Untuk cara menjaganya, kita harus rajin berolahraga. (hal 158-159).

Tidak hanya itu ada pula sindiran-sindir halus yang perlu kita renungkan. Kita juga diajak untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah, jangan ceroboh dan selalu sabar dalam setiap mendapat musibah. Hanya saja saya masih menemukan beberapa kesalahan tulis, serta tidak konsisten dalam pemakaian kata aku dan saya. Namun lepas dari kekurangan yang ada, novel ini bisa menjadi bahasa bacaan yang menarik untuk dibaca.

Srobyong, 2 Juni 2018 

No comments:

Post a Comment