Dimuat di Kabar Madura, Jumat 19 Januari 2018
Judul :
Kartini
Penulis :
Abidah El Khalieqy
Penerbit :
Noura Books
Cetakan :
Pertama, April 2017
Tebal :
376 halaman
ISBN :
978-602-385-280-2
Peresensi :
Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Siapa yang tidak mengenal sosok RA Kartini?
Perempuan yang lahir di Jepara, 21 April 1879, merupakan pahlawan wanita yang
memiliki sumbangsih dalam mengangkat derajat kaum perempuan. Keberanian RA
Kartini dalam menentang adat tradisional tentang kasta antara wanita dan pria.
Bahwa wanita tidak diperbolehkan keluar rumah jika sudah masa pingitan, tidak
diperbolehkan melanjutkan pendidikan setinggi mungkin dan adanya perbedaan
kasta antara perempuan bergelar Raden Ayu dengan perempuan pribumi.
“Jadi karena aku ini seorang Raden Ayu, maka nasibku
jauh lebih baik dibanding perempuan pribumi lain. Bukankah kami sama-sama
perempuan. Sama-sama manusia juga. Mengapa ada perbedaan.”
(hal 57).
Berbeda dengan kamu lelaki yang memiliki kebebasan mutlak
untuk memperoleh pendidikan, menjelajahi banyak tempat bahkan bebas berpoligami
jika memang suka. Dalam pandangan tradisi lama tersebut, wanita diharuskan
belajar tentang kewanitaan—yaitu mempelajari bagaimana cara menjadi wanita
terhomat dengan pandai memasak dan pandai melayani suami. Inilah yang sangat ditentang
Kartini. Menurutnya seorang wanita berhak memperoleh pendidikan selayaknya
wanita. Hal itu sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Mujadalah ayat 11, yang pernah diterangkan
Kia Soleh Darat, “Bahwa setiap muslim
baik laki-laki atau perempuan berhak memperoleh pendidikan.” (hal 260).
Buku ini dengan penyajian yang menarik dan tidak
membosankan, mengungkap kisah perjalanan Kartini dalam usahanya memperoleh keadilan—yaitu kebebasan kaum perempuan untuk
memperoleh pendidikan dan menghapus diskriminasi yang diterima wanita pribumi.
Kartini memang lahir sebagai putri dari Bupati
Jepara—Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, namun dia tidak terlahir dari ibu
bangsawan. Ibunya—Ngasirah, adalah putri
dari Kyai Haji Madiro, guru agama di
Telukawur, Jepara. Karena alasan ini, Kartini tidak bisa memanggil ibunya
dengan sebutan”ibu”. Dia harus memanggil Ngasirah dengan sebutan “Yu” dan
membiarkan ibunya tinggal di kamar pembantu. Karena memang itulah adat yang
ada. Panggilan ibu hanya diberikan
kepada ibu tiri Kartini yang keturunan bangsawan.
Selain harus melihat diskriminasi yang terjadi pada ibunya, Kartini juga harus
menerima kenyataan, setelah menamatkan ELS, dia harus dipingit. Yang artinya
dia tidak bisa keluar bebas, dan tidak diperbolehkan menuntutut ilmu, padahal
itulah cita-citanya. Kartini tidak paham kenapa pendidikan yang
bisa mencerdaskan bangsa malah dilarang dilakukan? Apa salahnya jika perempuan
itu pintar? Namun Kartini tidak
menyerah. Setelah amarahnya reda, bersama Kartono, kakaknya dan dua adiknya,
Kardinah dan Rukmini, mereka berjuang untuk keluar dari adat tradisi yang
menurut mereka tidak adil.
Dengan bantuan Nyonya Ovink-Soer dan Rosa
Abendanon—salah satu teman korespondesinya dari Belanda, Kartini akhirnya bisa mendobrak adat. Dia
mengeluarkan suara tentang ketidakadilan yang diterima kaum perempuan. Jika Kartini merasa senang dan puas, maka
berbalik dengan beberapa orang yang tidak menyukai tindakan Kartini. Ibu
tirinya, dua kakak kandungnya dan paman-pamannya, mencoba berbagai cara untuk mencegah usaha Kartini gagal.
Di mana pilihan itu sempat membuat Kartini meradang. Mereka mendesak Kartini untuk menerima
lamaran dari Bupati Rembang—Raden Mas Singgih Joyo Adiningrat. Mereka pikir jika Kartini menikah,
perjuangannya akan selesai. Tapi ternyata salah. Pernikahan ini ternyata malah
membuka lebar perjuangan Kartini. Raden Mas Singgih Joyo Adiningrat, ternyata
sangat mendukung perjuangan Kartini. Dia
bahkan mengizinkan Kartini mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.
Novel yang ditulis berdasarkan naskah skenarion film ini, digarap dengan apik. Dari segi penokohan dan setting benar-benar
kuat. Seperti melihat sendiri bagaimana kisah hidup Kartini di masa silam.
Hanya saja pada beberapa bagian, saya merasa ada kejanggalan dengan hilang dan
munculnya tokoh Rukmini secara tiba-tiba. Serta keberadaan Kartono yang hanya
pemanis saja.
Namun lepas dari kekurangannya, buku ini
menghadirkan kisah sejarah dengan nuansa yang berbeda. Kita bisa menikmati
sejarah dengan menyenangkan tanpa tertekan karena selalu dijejali hafalan. Di
sini kita bisa belajar untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dan
membuang jauh-jauh rasa iri dan dengki.
“Kadang orang yang cemburu
bisa jadi kalap.” (hal 320). Kita harus percaya selalu ada jalan jika ada
kemauan.
Srobyong, 9 November 2017
No comments:
Post a Comment