Saturday 3 February 2018

[Resensi] Jejak Perjuangan RA Kartini dalam Persamaan Wanita

Dimuat di Kabar Madura, Jumat 19 Januari 2018 


Judul               : Kartini
Penulis             : Abidah El Khalieqy
Penerbit           : Noura Books
Cetakan           : Pertama, April 2017
Tebal               : 376 halaman
ISBN               : 978-602-385-280-2
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Siapa yang tidak mengenal sosok RA Kartini? Perempuan yang lahir di Jepara, 21 April 1879, merupakan pahlawan wanita yang memiliki sumbangsih dalam mengangkat derajat kaum perempuan. Keberanian RA Kartini dalam menentang adat tradisional tentang kasta antara wanita dan pria. Bahwa wanita tidak diperbolehkan keluar rumah jika sudah masa pingitan, tidak diperbolehkan melanjutkan pendidikan setinggi mungkin dan adanya perbedaan kasta antara perempuan bergelar Raden Ayu dengan perempuan pribumi.

“Jadi karena aku ini seorang Raden Ayu, maka nasibku jauh lebih baik dibanding perempuan pribumi lain. Bukankah kami sama-sama perempuan. Sama-sama manusia juga. Mengapa ada perbedaan.” (hal 57).

Berbeda dengan kamu lelaki yang memiliki kebebasan mutlak untuk memperoleh pendidikan, menjelajahi banyak tempat bahkan bebas berpoligami jika memang suka. Dalam pandangan tradisi lama tersebut, wanita diharuskan belajar tentang kewanitaan—yaitu mempelajari bagaimana cara menjadi wanita terhomat dengan pandai memasak dan pandai melayani suami. Inilah yang sangat ditentang Kartini. Menurutnya seorang wanita berhak memperoleh pendidikan selayaknya wanita. Hal itu sebagaimana yang termaktub dalam surat  Al-Mujadalah ayat 11, yang pernah diterangkan Kia Soleh Darat,  “Bahwa setiap muslim baik laki-laki atau perempuan berhak memperoleh pendidikan.” (hal 260). 

Buku ini dengan penyajian yang menarik dan tidak membosankan, mengungkap kisah perjalanan Kartini dalam usahanya memperoleh  keadilan—yaitu kebebasan kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan dan menghapus diskriminasi yang diterima wanita pribumi.

Kartini memang lahir sebagai putri dari Bupati Jepara—Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, namun dia tidak terlahir dari ibu bangsawan. Ibunya—Ngasirah, adalah  putri dari  Kyai Haji Madiro, guru agama di Telukawur, Jepara. Karena alasan ini, Kartini tidak bisa memanggil ibunya dengan sebutan”ibu”. Dia harus memanggil Ngasirah dengan sebutan “Yu” dan membiarkan ibunya tinggal di kamar pembantu. Karena memang itulah adat yang ada.  Panggilan ibu hanya diberikan kepada ibu tiri Kartini yang keturunan bangsawan.

Selain harus melihat diskriminasi  yang terjadi pada ibunya, Kartini juga harus menerima kenyataan, setelah menamatkan ELS, dia harus dipingit. Yang artinya dia tidak  bisa keluar bebas, dan  tidak diperbolehkan menuntutut ilmu, padahal itulah cita-citanya.   Kartini tidak paham kenapa pendidikan yang bisa mencerdaskan bangsa malah dilarang dilakukan? Apa salahnya jika perempuan itu pintar?  Namun Kartini tidak menyerah. Setelah amarahnya reda, bersama Kartono, kakaknya dan dua adiknya, Kardinah dan Rukmini, mereka berjuang untuk keluar dari adat tradisi yang menurut mereka tidak adil.

Dengan bantuan Nyonya Ovink-Soer dan Rosa Abendanon—salah satu teman korespondesinya dari Belanda,   Kartini akhirnya bisa mendobrak adat. Dia mengeluarkan suara tentang ketidakadilan yang diterima kaum perempuan.  Jika Kartini merasa senang dan puas, maka berbalik dengan beberapa orang yang tidak menyukai tindakan Kartini. Ibu tirinya, dua kakak kandungnya dan paman-pamannya, mencoba berbagai cara untuk  mencegah usaha Kartini gagal.

Di mana pilihan itu sempat membuat Kartini meradang.  Mereka mendesak Kartini untuk menerima lamaran dari Bupati Rembang—Raden Mas Singgih Joyo Adiningrat.  Mereka pikir jika Kartini menikah, perjuangannya akan selesai. Tapi ternyata salah. Pernikahan ini ternyata malah membuka lebar perjuangan Kartini. Raden Mas Singgih Joyo Adiningrat, ternyata sangat mendukung perjuangan Kartini.  Dia bahkan mengizinkan Kartini mendirikan sekolah bagi kaum perempuan.  

Novel yang ditulis berdasarkan naskah  skenarion film ini,  digarap dengan apik.  Dari segi penokohan dan setting benar-benar kuat. Seperti melihat sendiri bagaimana kisah hidup Kartini di masa silam. Hanya saja pada beberapa bagian, saya merasa ada kejanggalan dengan hilang dan munculnya tokoh Rukmini secara tiba-tiba. Serta keberadaan Kartono yang hanya pemanis saja.

Namun lepas dari kekurangannya, buku ini menghadirkan kisah sejarah dengan nuansa yang berbeda. Kita bisa menikmati sejarah dengan menyenangkan tanpa tertekan karena selalu dijejali hafalan. Di sini kita bisa belajar untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dan membuang jauh-jauh rasa iri dan dengki.   “Kadang  orang yang cemburu bisa jadi kalap.” (hal 320). Kita harus percaya selalu ada jalan jika ada kemauan.

Srobyong, 9 November 2017 

No comments:

Post a Comment