Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 9 Februari 2018
Judul :
Kiai Amplop
Penulis :
Sam Edy Yuswanto
Penerbit :
LovRinz Publishing
Cetakan :
Pertama, Agustus 2017
Tebal :
123 halaman
ISBN :
978-602-6652-96-6
Peresensi :
Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Terdiri dari 15 cerita, kumpulan cerpen ini selain
memberi hiburan yang menyenangkan juga memberi tambahan wawasan bagi kita semua. Dengan tutur bahasa lugas
juga satire, penulis mencoba mengkritisi kehidupan sosial yang kerap terjadi di
dalam masyarakat negeri ini. Tentang
berbagai ketimpangan sosial, tentang adat dan
budaya jawa yang sudah mengakar hingga masalah politik juga agama.
Misalnya saja cerpen berjudul “Kiai Amplop” di mana
cerpen ini menceritakan tentang seorang kiai bernama Bahaudin yang sedang naik
daun. Selain memiliki wajah yang enak
dipandang dan memang kharismatik, Kiai Baha ini juga memiliki cara penyampaian
pengajian yang mudah diterima masyarakat. Hal inilah yang membuat Kiai Baha
langsung disukai masyarakat (hal 5).
Dan sejak itu pula, pamor Kiai Baha semakin melesat.
Dia tidak lagi hanya menjadi kiai kampung, tapi juga mulai mendapat job untuk
memberikan ceramah di televisi. Hal inilah yang kemudian membuat Kiai Baha
pindah ke kota. Pada titik itulah
masalah timbul. Dulu sebelum nama Kiai Baha meroket, dia selalu menyangupi
permintaan warga untuk memberi ceramah di mana saja. Namun di masa sekarang,
Kiai Baha sangat sulit dihubungi. Dengan alasan kepadatan jadwal syuting di
televisi atau jam bentrok dengan ceramah
di tempat lain.
Namun sesungguhnya bukan itu alasan Kiai Baha.
Ketika kenyamanan sudah menjadi raja, maka uang pun menggilas keikhlasan
seseorang. Itulah yang terjadi pada Kiai Baha, berjalannya waktu dia lebih
sering membandingkan isi amplop yang dia terima. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik
perbuatannya itu sebuah peringatan tengah mengetuknya, membuat dia langsung
terbakar. Yang mana dalam cerpen ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
sebagai seorang yang memahami agama, kita tidak boleh menjual agama demi
memperoleh uang.
Ada pula cerpen berjudul “Korupsi” bisa dibilang cerpen ini benar-benar sesuai
realita yang ada. Menyentak dan benar-bener membuat kita yang membaca akan
tersindir. Di mana dari kisah ini kita telah ditunjukkan tentang maraknya sikap
korupsi yang sudah tidak mewabah di masyarat. Terlihat sepela namun
sesungguhnya cukup rumit bagi sebagian orang. Mengingat tidak semua orang
setuju dengan perbuatan tersebut.
Kita pasti pernah mengalami kejadian ini. Ketika
membeli sesuatu dan saat kita mendapat pengembalian, bukan uang yang kita dapat
namun sebuah permen. Bagi sebagian orang
mungkin bisa menerima hal itu dengan lapang. Tapi ada pula yang merasa tidak
terima. Di mana jika kita berpikir
ulang, permen yang diberikan pada pembeli, pada kenyataan tidak bisa dipakai
untuk membeli jika kita kekurangan uang bukan? Di sini kita diingatkan untuk membiasakan
berbuat korupsi meski hanya seujung kuku.
Kemudian tidak kalah menarik ada sebuah cerpen
berjudul “Kiai Jarkoni” dalam cerita ini kita akan dihadapkan pada sebuah
episode keimanan. Di mana tiba-tiba tersiar kabar tentang sikap Kiai Jarkoni
yang dianggap tercela karena berani membawa gadis muda di sebuah rumah di
pinggir jalan. Kiai Jarkoni dianggap sebagai sosok yang sudah tersesat dan
tidak patut dihormati lagi, karena dianggap telah berbuat zina (hal 35). Warga
kemudian lebih sering menggunjungi dan menjelek-jelekkan Kia Jarkoni.
Dalam cerpen ini kita diingatkan untuk tidak mudah
menuduh seseorang sebelum ada buktinya. Karena ketika ucapan tanpa bukti, itu
bisa menjadi ghibah. Dan ghibah adalah perbuatan yang tidak disukai Allah,
karena sama saja dengan memakan daging teman sendiri.
Selain tiga cerpen itu tentu saja masih banyak
cerpen-cerpen lain yang penuh dengan wawasan dan kritik sosial yang benar-benar
akan membuat kita tertohok. Misalnya cerpen “Pelayat Amplop”, yang melakukan
sesuatu tidak ikhlas karena Allah. “Pilkades” yang mengkritisi tindak kecurangan
selama adanya pemilu. Lalu “Demi Baju
Lebaran” dalam cerpen ini kita diajak untuk menjadi sosok jujur yang tidak
mudah terbujuk rayu setan dan banyak lagi.
Keunggulan dari buku ini adalah tema-tema yang
benar-benar memasyarakat dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang. Belum lagi
dengan bahasa yang mudah dicerna, penulis membuat kisah ini hidup. Hanya saja
untuk ending masih terasa biasa dan
tidak terlalu mengejutkan. Namun hal itu tidak mengurangi esensi dari
isi buku ini.
Srobyong, 24 Desember 2017
No comments:
Post a Comment