Wednesday, 14 February 2018

[Resensi] Cerpen dan Kritik Sosial yang Ingin Disampaikan

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 9 Februari 2018 


Judul               : Kiai Amplop
Penulis             : Sam Edy Yuswanto
Penerbit           : LovRinz Publishing
Cetakan           : Pertama, Agustus 2017
Tebal               : 123 halaman
ISBN               : 978-602-6652-96-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Terdiri dari 15 cerita, kumpulan cerpen ini selain memberi hiburan yang menyenangkan juga memberi tambahan wawasan  bagi kita semua. Dengan tutur bahasa lugas juga satire, penulis mencoba mengkritisi kehidupan sosial yang kerap terjadi di dalam masyarakat negeri ini.  Tentang berbagai ketimpangan sosial, tentang adat dan  budaya jawa yang sudah mengakar hingga masalah politik juga agama.

Misalnya saja cerpen berjudul “Kiai Amplop” di mana cerpen ini menceritakan tentang seorang kiai bernama Bahaudin yang sedang naik daun.  Selain memiliki wajah yang enak dipandang dan memang kharismatik, Kiai Baha ini juga memiliki cara penyampaian pengajian yang mudah diterima masyarakat. Hal inilah yang membuat Kiai Baha langsung disukai masyarakat (hal 5).

Dan sejak itu pula, pamor Kiai Baha semakin melesat. Dia tidak lagi hanya menjadi kiai kampung, tapi juga mulai mendapat job untuk memberikan ceramah di televisi. Hal inilah yang kemudian membuat Kiai Baha pindah ke kota.  Pada titik itulah masalah timbul. Dulu sebelum nama Kiai Baha meroket, dia selalu menyangupi permintaan warga untuk memberi ceramah di mana saja. Namun di masa sekarang, Kiai Baha sangat sulit dihubungi. Dengan alasan kepadatan jadwal syuting di televisi  atau jam bentrok dengan ceramah di tempat lain.

Namun sesungguhnya bukan itu alasan Kiai Baha. Ketika kenyamanan sudah menjadi raja, maka uang pun menggilas keikhlasan seseorang. Itulah yang terjadi pada Kiai Baha, berjalannya waktu dia lebih sering membandingkan isi amplop yang dia terima.  Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik perbuatannya itu sebuah peringatan tengah mengetuknya, membuat dia langsung terbakar. Yang mana dalam cerpen ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagai seorang yang memahami agama, kita tidak boleh menjual agama demi memperoleh uang.  

Ada pula cerpen berjudul “Korupsi”  bisa dibilang cerpen ini benar-benar sesuai realita yang ada. Menyentak dan benar-bener membuat kita yang membaca akan tersindir. Di mana dari kisah ini kita telah ditunjukkan tentang maraknya sikap korupsi yang sudah tidak mewabah di masyarat. Terlihat sepela namun sesungguhnya cukup rumit bagi sebagian orang. Mengingat tidak semua orang setuju dengan perbuatan tersebut.

Kita pasti pernah mengalami kejadian ini. Ketika membeli sesuatu dan saat kita mendapat pengembalian, bukan uang yang kita dapat namun sebuah permen.  Bagi sebagian orang mungkin bisa menerima hal itu dengan lapang. Tapi ada pula yang merasa tidak terima.  Di mana jika kita berpikir ulang, permen yang diberikan pada pembeli, pada kenyataan tidak bisa dipakai untuk membeli jika kita kekurangan uang bukan?  Di sini kita diingatkan untuk membiasakan berbuat korupsi meski hanya seujung kuku.

Kemudian tidak kalah menarik ada sebuah cerpen berjudul “Kiai Jarkoni” dalam cerita ini kita akan dihadapkan pada sebuah episode keimanan. Di mana tiba-tiba tersiar kabar tentang sikap Kiai Jarkoni yang dianggap tercela karena berani membawa gadis muda di sebuah rumah di pinggir jalan. Kiai Jarkoni dianggap sebagai sosok yang sudah tersesat dan tidak patut dihormati lagi, karena dianggap telah berbuat zina (hal 35). Warga kemudian lebih sering menggunjungi dan menjelek-jelekkan Kia Jarkoni.

Dalam cerpen ini kita diingatkan untuk tidak mudah menuduh seseorang sebelum ada buktinya. Karena ketika ucapan tanpa bukti, itu bisa menjadi ghibah. Dan ghibah adalah perbuatan yang tidak disukai Allah, karena sama saja dengan memakan daging teman sendiri.

Selain tiga cerpen itu tentu saja masih banyak cerpen-cerpen lain yang penuh dengan wawasan dan kritik sosial yang benar-benar akan membuat kita tertohok. Misalnya cerpen “Pelayat Amplop”, yang melakukan sesuatu tidak ikhlas karena Allah.  “Pilkades” yang mengkritisi tindak kecurangan selama adanya pemilu.  Lalu “Demi Baju Lebaran” dalam cerpen ini kita diajak untuk menjadi sosok jujur yang tidak mudah terbujuk rayu setan dan banyak lagi.

Keunggulan dari buku ini adalah tema-tema yang benar-benar memasyarakat dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang. Belum lagi dengan bahasa yang mudah dicerna, penulis membuat kisah ini hidup. Hanya saja untuk ending masih terasa biasa dan  tidak terlalu mengejutkan. Namun hal itu tidak mengurangi esensi dari isi buku ini.

Srobyong, 24 Desember 2017 

No comments:

Post a Comment