Dimuat di Koran Pantura, Senin 5 Februari 2018
Judul : Bidadari Bermata Bening
Penulis : Habiburrman El Shirazy
Penerbit : Republika
Terbit : April 2017
Cetakan : Kedua, Mei 2017
Tebal : iv + 337 halaman
ISBN : 978-602-0822-64-8
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Kalau misal nanti kenyataannya tidak seperti yang kau
bayangkan. Kamu harus sabar.”
(hal 121).
Mengambil latar dunia pesantren,
novel ini mengajarkan bagaimana cara memaknai kesabaran dan keikhlasan. Dengan gaya tutur bahasa yang halus dan
renyah, Kang Abik—panggilan dari Habiburrahman El Shirazy hadir kembali
menyapa pembaca Indonesia dengan kisah novel religi yang tidak kalah
inspiratif dari karya-karya sebelumnya.
Novel ini sendiri berkisah tentang
sosok Anya yang tengah menuntut ilmu di
Pesantren Kanzul Ulum, pesantren tua di Magelang, yang diasuh oleh Kyai Sobron.
Selama mengais ilmu di sana, Anya merupakan khadimah—pembantu perempuan
atau abdi dalem dari pondok pesantren tersebut. Selama mondok di sana, selain mendapat
kawan-kawan yang baik dan menyenangkan, Anya juga dihadapkan pada berbagai
permasalahan yang cukup pelik. Baik itu dari kawannya sendiri yang memiliki
kebencian juga dari keluarga dekatnya sendiri—yaitu keluarga Pakde Darsun yang
merupakan saudara satu ibu dari ibunya.
Namun begitu, berbagai tekanan yang
didapat Anya tak pernah membuatnya gentar. Anya adalah sosok pribadi yang kuat
dan tidak mudah menyerah dalam menjalani hidup. Ketika dia dan ibunya di
fitnah, Anya dengan keberaniannya mematahkan fitnah tersebut. Dan ketika dia
diejek—bahwa nantinya dia hanya akan menjadi TKW seperti ibunya, Anya malah
menunjukkan kepandaiannya dengan mendapatkan nilai tertinggi UN se-Jawa Tengah
(hal 12-13).
Itu hanyalah awal dari perjalanan
hidup Anya. Karena setelahnya, kehidupan Anya jauh lebih berliku dan penuh
dengan tantangan. Sebagai gadis yang kini yatim piatu, Anya sadar bahwa tidak
mungkin baginya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Hal ini-lah yang pada akhirnya membuat Anya ingin tetap tinggal di pondok.
Namun sebuah tawaran dari Bu Nyai Nur Fauziyah, akhirnya membuat Anya memilih
boyong. Bu Nyai Nur Fauziyah melamar
Anya untuk Kyai Yusuf Badrudduja yang saat itu sudah ditinggal mati istrinya.
Anya sangat bersyukur dengan tawaran
itu, karena dia yakin pilihan yang dipilihkan Bu Nyai adalah pilihan yang
terbaik bagi dirinya. Namun malang, ketika dia mendiskusikan keinginannya itu
kepada Pakde Darsun dan istrinya, mereka
malah menolak pinangan itu. (hal 135).
Di sinilah ujian berat tengah menanti
Anya. Ternyata pakde-nya telah menyusun rencana tersendiri untuk menikahkan
dirinya dengan Yoyok—seorang pengusaha kaya dan anggota DPRD. Jika dia menolak
tawaran pakde-nya, maka tali kekeluargaan mereka akan putus. Betapa hancurnya
hati Anya. Andai saja ibunya tidak memberi wasiat padanya untuk tidak memutus
tali silaturrahmi, dia sudah pasti memilih menolak mati-matian perjodohan itu.
Dan ketika Anya berharap ada sebuah
mukjizat—pertolongan yang bisa mengeluarkannya dari lingkaran setan itu,
ternyata pertolongan yang diharapakannya datang sangat terlambat. Ketika
keluarga Pak Kyai Sobron ingin meminang Anya untuk Gus Afif, Anya sudah terlanjur menerima pernikahan itu.
Perjuangan keras hidup Anya pun dimulai dari titik itu. Bagaimana di menjaga
kesuciannya agar tidak direnggut paksa oleh suaminya yang kerap mabuk dan main
wanita. Serta bagaimana dia berjuang menjaga diri agar tidak dijual oleh sang
suami untuk menutup perbuatan Yoyok yang melakukan korupsi.
Sebuah novel yang patut dibaca untuk
sebuah perenungan. Dipaparkan dengan apik dan memikat membuat novel ini tidak
membosankan. Meski pada beberapa bagian ada yang mudah ditebak, Kang Abik tetap
menyiapkan kejutan-kejutan kecil yang tidak terduga.
Tidak ada gading yang tidak retak.
Di sini saya masih menemukan cukup banyak kesalahan salah tulis. Juga
sedikit kesalahan dalam sebuah
penjabaran masalah masa Iddah. Dalam sebuah bagian dipaparkan bahwa sudah
seyogyanya wanita yang habis dicerai itu harus menunggu masa iddah sebelum
dipinang orang lain. Itu benar jika mereka cerai dan pernah dikumpuli. Namun
berbeda jika wanita yang menikah dan dicerai dan belum dikumpuli, maka tidak ada masa iddah
bagi wanita tersebut (hal 218).
Namun lepas dari kekuarangannya,
novel ini tetap memiliki banyak sisi positif yang patut dijadikan pembelajaran.
Di mana kita bisa belajar tentang bagaimana Anya dan Gus Afif yang ternyata diam-diam
saling menyukai, itu menjaga cinta. Serta bagaimana Anya berjuang dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan ketika berbagai cobaan selalu datang menyapanya.
Srobyong, 4 Juni 2017
No comments:
Post a Comment