Tuesday 13 February 2018

[Resensi] Belajar Memaknai Kesabaran dan Keikhlasan Melalui Novel

Dimuat di Koran Pantura, Senin 5 Februari 2018 


Judul               : Bidadari Bermata Bening
Penulis             : Habiburrman El Shirazy
Penerbit           : Republika
Terbit               : April 2017
Cetakan           : Kedua, Mei 2017
Tebal               : iv + 337 halaman
ISBN               : 978-602-0822-64-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

“Kalau misal nanti  kenyataannya tidak seperti yang kau bayangkan. Kamu harus sabar.” (hal 121). 

Mengambil latar dunia pesantren, novel ini mengajarkan bagaimana cara memaknai kesabaran dan keikhlasan.  Dengan gaya tutur bahasa yang halus dan renyah, Kang Abik—panggilan dari Habiburrahman El Shirazy hadir kembali menyapa  pembaca Indonesia  dengan kisah novel religi yang tidak kalah inspiratif dari karya-karya sebelumnya.

Novel ini sendiri berkisah tentang sosok Anya yang tengah menuntut ilmu  di Pesantren Kanzul Ulum, pesantren tua di Magelang, yang diasuh oleh Kyai Sobron. Selama mengais ilmu di sana, Anya merupakan khadimah—pembantu perempuan atau abdi dalem dari pondok pesantren tersebut.  Selama mondok di sana, selain mendapat kawan-kawan yang baik dan menyenangkan, Anya juga dihadapkan pada berbagai permasalahan yang cukup pelik. Baik itu dari kawannya sendiri yang memiliki kebencian juga dari keluarga dekatnya sendiri—yaitu keluarga Pakde Darsun yang merupakan saudara satu ibu dari ibunya.

Namun begitu, berbagai tekanan yang didapat Anya tak pernah membuatnya gentar. Anya adalah sosok pribadi yang kuat dan tidak mudah menyerah dalam menjalani hidup. Ketika dia dan ibunya di fitnah, Anya dengan keberaniannya mematahkan fitnah tersebut. Dan ketika dia diejek—bahwa nantinya dia hanya akan menjadi TKW seperti ibunya, Anya malah menunjukkan kepandaiannya dengan mendapatkan nilai tertinggi UN se-Jawa Tengah (hal 12-13).

Itu hanyalah awal dari perjalanan hidup Anya. Karena setelahnya, kehidupan Anya jauh lebih berliku dan penuh dengan tantangan. Sebagai gadis yang kini yatim piatu, Anya sadar bahwa tidak mungkin baginya untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini-lah yang pada akhirnya membuat Anya ingin tetap tinggal di pondok. Namun sebuah tawaran dari Bu Nyai Nur Fauziyah, akhirnya membuat Anya memilih boyong.  Bu Nyai Nur Fauziyah melamar Anya untuk Kyai Yusuf Badrudduja yang saat itu sudah ditinggal mati istrinya.

Anya sangat bersyukur dengan tawaran itu, karena dia yakin pilihan yang dipilihkan Bu Nyai adalah pilihan yang terbaik bagi dirinya. Namun malang, ketika dia mendiskusikan keinginannya itu kepada  Pakde Darsun dan istrinya, mereka malah menolak pinangan itu.  (hal 135).

Di sinilah ujian berat tengah menanti Anya. Ternyata pakde-nya telah menyusun rencana tersendiri untuk menikahkan dirinya dengan Yoyok—seorang pengusaha kaya dan anggota DPRD. Jika dia menolak tawaran pakde-nya, maka tali kekeluargaan mereka akan putus. Betapa hancurnya hati Anya. Andai saja ibunya tidak memberi wasiat padanya untuk tidak memutus tali silaturrahmi, dia sudah pasti memilih menolak mati-matian perjodohan itu.

Dan ketika Anya berharap ada sebuah mukjizat—pertolongan yang bisa mengeluarkannya dari lingkaran setan itu, ternyata pertolongan yang diharapakannya datang sangat terlambat. Ketika keluarga Pak Kyai Sobron ingin meminang Anya untuk Gus Afif,  Anya sudah terlanjur menerima pernikahan itu. Perjuangan keras hidup Anya pun dimulai dari titik itu. Bagaimana di menjaga kesuciannya agar tidak direnggut paksa oleh suaminya yang kerap mabuk dan main wanita. Serta bagaimana dia berjuang menjaga diri agar tidak dijual oleh sang suami untuk menutup perbuatan Yoyok yang melakukan korupsi.

Sebuah novel yang patut dibaca untuk sebuah perenungan. Dipaparkan dengan apik dan memikat membuat novel ini tidak membosankan. Meski pada beberapa bagian ada yang mudah ditebak, Kang Abik tetap menyiapkan kejutan-kejutan kecil yang tidak terduga.

Tidak ada gading yang tidak retak. Di sini saya masih menemukan cukup banyak kesalahan salah tulis. Juga sedikit  kesalahan dalam sebuah penjabaran masalah masa Iddah. Dalam sebuah bagian dipaparkan bahwa sudah seyogyanya wanita yang habis dicerai itu harus menunggu masa iddah sebelum dipinang orang lain. Itu benar jika mereka cerai dan pernah dikumpuli. Namun berbeda jika wanita yang menikah dan dicerai dan  belum dikumpuli, maka tidak ada masa iddah bagi wanita tersebut (hal 218).

Namun lepas dari kekuarangannya, novel ini tetap memiliki banyak sisi positif yang patut dijadikan pembelajaran. Di mana kita bisa belajar tentang bagaimana  Anya dan Gus Afif yang ternyata diam-diam saling menyukai, itu menjaga cinta. Serta bagaimana Anya berjuang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan ketika berbagai cobaan selalu datang menyapanya.

Srobyong, 4 Juni 2017 

No comments:

Post a Comment