Friday, 17 November 2017

[Review Buku] Antara Memilih Mempertahankan Pernikahan atau Melepasnya



Judul               : (im) Perfect Serenade; Love In Verona
Penulis             : Irene Dyah
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, September 2017
Tebal               : 244 halaman
ISBN               : 978-602-03-6104-8

“Semua wanita mengharapkan kisah cinta sempurna, pasangan yang tanpa cacat, kehidupan yang happy ever after tanpa perjuangan setitik pun. Mana bisa? Perjalanan hidup kita kan bukan cerita film atau novel. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.” (hal 59).

Memiliki keluarga yang  bahagia pasti menjadi harapan setiap orang. Memiliki suami yang tampan, sukses pengertian dan tidak neko-neko. Namun bagaimana jika suatu hari rumah tangga yang  awalnya begitu indah dalam sekejam mata porak poranda?  Hal itulah yang tengah dialami Serenada Sukma.  Biduk rumah tangga tengah digoncang badai. Dia tidak pernah menyangkan Bansar—suami yang sangat dia percaya berani bermain api di belakangnya. 

Selingkuh dan perang rumah tangga, jelas tidak masuk rancangan pernikahan sempurna yang dia cita-citakan. Apalagi perceraian. Membayangkannya saja membuat Seres nyaris pingsan. Tidak mungkin dia rela status “jande cerai” ditatokan di dahinya dan bertahan di situ seumur hidup (hal 47).

Dibuka dengan quote dan prolog yang menarik, kita akan digiring pada kisah Seren dan Bastar yang menggemaskan.

“Setiap perjalanan pasti butuh kata pulang. Dan pulang bagimu saat ini adalah kepadaku. Kepada rumah kita. Kepada yang kita bangun bersama enam tahun terakhir.” (hal 132).

Bagi Seren sejak dia memergoki affair antara Bansar dan Ayang—sekretarisnya,  kehidupan mereka telah berubah. Oleh karena itu project  Wisata Kota Cinta yang awalnya ditolak Seren, karena muak dengan hal-hal yang berbau cinta, kini dia terima.  Setidaknya perjalanan ke Verona akan membuatnya rileks sejenak dari hubungan aneh dan kaku yang dia rasakan sekarang.  Selain itu dia juga beruntung karena bisa sekalian melakukan riset terhadap novel yang tengah digarapnya.

Selama di sana Seren  menjadi sekretaris di Juliet Club—sebuah tempat yang menerima surat cinta atau surat apa saja dari berbagai negeri. Dan tugas Seren dan teman-temannya—Giovanna dan Saima adalah untuk membalas surat-surat tersebut.  Ternyata benar suana baru sedikit banyak telah membuat Seren lupa dengan masalah di rumahnya. Namun ternyata  hal itu tidak bertahan lama. Sejak kehadiran Aris  Zanetti kehidupan Seren berubah (hal 15).

Lebih mengejutkan adalah profesi Aris yang ternyata sama dengan dirinya. Padahal jika dilihat dari sikapnya, Seren tidak menyangka kalau dia adalah penulis. “Seren, tentang janjiku memperkenalkan penulis lokal, ini dia penulis yang kuceritakan. Yang kenbetulan adikku. Maafkan kelakuannya yang seperti anak umur lima tahun. Tapi dia sudah menerbitkan beberapa buku, dan agennya cukup menyukainya. Sebagai penulis dia cukup lumayan.” (hal 24).

Namun karena memiliki profesi yang sama dan Seren memang butuh penulis lokal untuk diwawancarai dan dimasukkan di website-nya, maka mereka pun perlahan dekat. Bahkan jika memungkinkan penulis Indonesia dan Itali biasa berkolaborasi menghasilkan karya yang menarik.
Sayangnya kedekatan itu ternyata mengundang bahaya yang lebih besar yang tidak pernah Seren duga. Terlalu sering menghabiskan waktu dengan Aris menikmati keindahan Verona dan berbagai kejadian tidak terduga, ternyata membuat sesuatu bergejolak di hati Seren.  Bertepatan dengan itu ... Bansar tiba-tiba muncul di Verona (hal 154).

Membaca novel ini kita akan dibuat penasaran dengan kisahnya sampai akhir. Selain mengungkap tentang kemelut rumah tangga antara Bansar dan Seren, ada pula kisah-kisah tidak terduga tentang beberapa surat yang diterima di Juliet Club. Salah satunya adalah surat yang entah mengapa sangat menyentuh Seren. Karena kisah itu membuatnya teringat dengan dirinya sendiri.

“Setiap orang memiliki perjuangan perangnya sendiri-sendiri. Dan kita semua punya pilihan cara untuk memenangi perang itu.” (hal 116-117).

Kita juga akan dibuat penasaran dengan keindahan Verona yang membius. Lalu tidak kalah menarik adalah  tentang dunia kepenulisan yang disisipkan Mbak Irene, perihal kritik saran bagi penulis dan laris tidaknya penjualan buku. Asli argumen Seren itu jleb banget. Dan saya  sangat setuju.

“Begini ... terlepas dari profesi saya sebagai penulis, saya selalu merawa bahwa tulisan, buku, novel, itu semua adalah semacam karya seni. Tidak bisa mutlak dihakimi bagus-jelek atau benar-salah. Yang ada adalah suka atau kurang suka. Jadi ini masalah selera. Tugas kita sebagai penulis adalah menulis sebaik mungkin, tapi ya tentu saja tidak pernah ada jaminan bahwa semua pembaca akan menyukai hasil karya kita. Yang terpenting adalah terus berlatih dan terus berkarya. Best seller atau tidak, secak ulang atau tidak, semua rahasia Ilahi ...,” (hal 35).

Diceritakan dengan gaya bahasa yang renyah dan tidak jlimet, membuat kita tidak bosan membaca. Saya juga suka dengan alur maju mundur, yang membuat kita menebak-nebak akhir kisah ini. Karena ternyata di bagian-bagian akhir Mbak Irene menyiapkan sebuah kejutan yang tidak terduga. Meski ada beberapa bagian yang aku bisa tebak. (Berasa baca apa sih kok tebak-tebakan? Hhehh).  Untuk penokohan, saya pikir sudah maksimal. Mbak Iren konsisten dengan sikap masing-masing tokoh.  Sayangnya masih ada sedikit typo yang terlewat. Sura-surat lain (hal 112).

Suka dengan gaya bercerita Mbak Iren yang gurih. Pendek tapi bisa bikin ketawa ngakak. Mbak Iren punya khas khusus dalam membangun percakapan yang bikin hidup.Salut. Secara keseluruhan novel ini menarik dan memikat. Saya jadi mengenal tentang sejarah Julia Club dan tempat-tempat menarik lainnya. Selain itu banyak hal pesan moral yang bisa kita jadikan renungan.

Bahwa kita harus kuat dan tidak mudah putus ada. Jadikan kesalahan dan masa lalu sebagai jalan memperbaiki diri.

 “Berhenti menghujat diri sendiri, kamu mesti bangkit  mengatasi masalah, dengan rasa percaya diri.” (hal 98).

Jika kita mau berusaha pasti kita bisa meraih apa yang kita inginkan. “Selalu ada cara untuk mengusahakannya. Kalau sudah tidak ada pilihan yang baik tersedia, dia harus membuatnya. Setiap pilihan punya risiko.” (hal 119).

“Al-Quran selalu punya jawaban untuk setiap perkara. Cuma manusia sering kali lupa itu. Mereka memilih mengadu kepada orang lain, yang  belum tentu bisa memecahkan masalah.” (hal 212).

“Jadi benar, ya, memang tidak ada pria yang sempurna. Bisa jomblo sampai akhir zaman kalau mau menunggu datangnya pria yang tanpa kekurangan. Semua pria yang terlihat dari luar sebagai suami idaman pun, sebetulnya menyimpan cacat. Tinggal pintar-pintarnya kita menyikapi kekurangannya atau kekhilafan pasangan, ya. Yoh, kita sendiri bukan wanita sempurna.” (hal 205-206).

Rumah tangga memang tidak bisa berjalan lurus terus. Akan selalu ada kerikil atau jurang dan jaring yang siap menjadi lawan kita. Tinggal kita mampu menghadapi atau memilih menyerah.


Srobyong, 14 November 2017 

4 comments:

  1. Setiap wanita mempunyai standar masing-masing mengenai toleransi terhadap kekhilafan yang dilakukan oleh pria..

    ReplyDelete
  2. kayaknya aku mau nyari buku ini nih... pingin baa buku tentang wanita yang dewasa muda soalnya

    ReplyDelete