Penulis : Irene Dyah
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, September 2017
Tebal : 244 halaman
“Semua wanita mengharapkan kisah
cinta sempurna, pasangan yang tanpa cacat, kehidupan yang happy ever after
tanpa perjuangan setitik pun. Mana bisa? Perjalanan hidup kita kan bukan cerita
film atau novel. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan.” (hal 59).
Memiliki keluarga yang bahagia pasti menjadi harapan setiap orang. Memiliki
suami yang tampan, sukses pengertian dan tidak neko-neko. Namun bagaimana jika
suatu hari rumah tangga yang awalnya
begitu indah dalam sekejam mata porak poranda?
Hal itulah yang tengah dialami Serenada Sukma. Biduk rumah tangga tengah digoncang badai.
Dia tidak pernah menyangkan Bansar—suami yang sangat dia percaya berani bermain
api di belakangnya.
Selingkuh dan perang rumah tangga,
jelas tidak masuk rancangan pernikahan sempurna yang dia cita-citakan. Apalagi
perceraian. Membayangkannya saja membuat Seres nyaris pingsan. Tidak mungkin
dia rela status “jande cerai” ditatokan di dahinya dan bertahan di situ seumur
hidup (hal 47).
Dibuka dengan quote dan prolog yang
menarik, kita akan digiring pada kisah Seren dan Bastar yang menggemaskan.
“Setiap perjalanan pasti butuh kata
pulang. Dan pulang bagimu saat ini adalah kepadaku. Kepada rumah kita. Kepada
yang kita bangun bersama enam tahun terakhir.” (hal 132).
Bagi Seren sejak dia memergoki affair
antara Bansar dan Ayang—sekretarisnya,
kehidupan mereka telah berubah. Oleh karena itu project Wisata Kota Cinta yang awalnya ditolak Seren,
karena muak dengan hal-hal yang berbau cinta, kini dia terima. Setidaknya perjalanan ke Verona akan membuatnya
rileks sejenak dari hubungan aneh dan kaku yang dia rasakan sekarang. Selain itu dia juga beruntung karena bisa
sekalian melakukan riset terhadap novel yang tengah digarapnya.
Selama di sana Seren menjadi sekretaris di Juliet Club—sebuah
tempat yang menerima surat cinta atau surat apa saja dari berbagai negeri. Dan
tugas Seren dan teman-temannya—Giovanna dan Saima adalah untuk membalas
surat-surat tersebut. Ternyata benar
suana baru sedikit banyak telah membuat Seren lupa dengan masalah di rumahnya.
Namun ternyata hal itu tidak bertahan
lama. Sejak kehadiran Aris Zanetti kehidupan
Seren berubah (hal 15).
Lebih mengejutkan adalah profesi
Aris yang ternyata sama dengan dirinya. Padahal jika dilihat dari sikapnya,
Seren tidak menyangka kalau dia adalah penulis. “Seren, tentang janjiku
memperkenalkan penulis lokal, ini dia penulis yang kuceritakan. Yang kenbetulan
adikku. Maafkan kelakuannya yang seperti anak umur lima tahun. Tapi dia sudah
menerbitkan beberapa buku, dan agennya cukup menyukainya. Sebagai penulis dia
cukup lumayan.” (hal 24).
Namun karena memiliki profesi yang
sama dan Seren memang butuh penulis lokal untuk diwawancarai dan dimasukkan di website-nya,
maka mereka pun perlahan dekat. Bahkan jika memungkinkan penulis Indonesia dan Itali
biasa berkolaborasi menghasilkan karya yang menarik.
Sayangnya kedekatan itu ternyata
mengundang bahaya yang lebih besar yang tidak pernah Seren duga. Terlalu sering
menghabiskan waktu dengan Aris menikmati keindahan Verona dan berbagai kejadian
tidak terduga, ternyata membuat sesuatu bergejolak di hati Seren. Bertepatan dengan itu ... Bansar tiba-tiba muncul
di Verona (hal 154).
Membaca novel ini kita akan dibuat
penasaran dengan kisahnya sampai akhir. Selain mengungkap tentang kemelut rumah
tangga antara Bansar dan Seren, ada pula kisah-kisah tidak terduga tentang
beberapa surat yang diterima di Juliet Club. Salah satunya adalah surat yang
entah mengapa sangat menyentuh Seren. Karena kisah itu membuatnya teringat
dengan dirinya sendiri.
“Setiap orang memiliki perjuangan
perangnya sendiri-sendiri. Dan kita semua punya pilihan cara untuk memenangi
perang itu.” (hal 116-117).
Kita juga akan dibuat penasaran
dengan keindahan Verona yang membius. Lalu tidak kalah menarik adalah tentang dunia kepenulisan yang disisipkan
Mbak Irene, perihal kritik saran bagi penulis dan laris tidaknya penjualan
buku. Asli argumen Seren itu jleb banget. Dan saya sangat setuju.
“Begini ... terlepas dari profesi
saya sebagai penulis, saya selalu merawa bahwa tulisan, buku, novel, itu semua
adalah semacam karya seni. Tidak bisa mutlak dihakimi bagus-jelek atau
benar-salah. Yang ada adalah suka atau kurang suka. Jadi ini masalah selera.
Tugas kita sebagai penulis adalah menulis sebaik mungkin, tapi ya tentu saja
tidak pernah ada jaminan bahwa semua pembaca akan menyukai hasil karya kita.
Yang terpenting adalah terus berlatih dan terus berkarya. Best seller atau
tidak, secak ulang atau tidak, semua rahasia Ilahi ...,” (hal 35).
Diceritakan dengan gaya bahasa yang
renyah dan tidak jlimet, membuat kita tidak bosan membaca. Saya juga suka
dengan alur maju mundur, yang membuat kita menebak-nebak akhir kisah ini.
Karena ternyata di bagian-bagian akhir Mbak Irene menyiapkan sebuah kejutan
yang tidak terduga. Meski ada beberapa bagian yang aku bisa tebak. (Berasa baca
apa sih kok tebak-tebakan? Hhehh). Untuk
penokohan, saya pikir sudah maksimal. Mbak Iren konsisten dengan sikap
masing-masing tokoh. Sayangnya masih ada
sedikit typo yang terlewat. Sura-surat lain (hal 112).
Suka dengan gaya bercerita Mbak Iren
yang gurih. Pendek tapi bisa bikin ketawa ngakak. Mbak Iren punya khas khusus
dalam membangun percakapan yang bikin hidup.Salut. Secara keseluruhan novel ini
menarik dan memikat. Saya jadi mengenal tentang sejarah Julia Club dan
tempat-tempat menarik lainnya. Selain itu banyak hal pesan moral yang bisa kita
jadikan renungan.
Bahwa kita harus kuat dan tidak mudah
putus ada. Jadikan kesalahan dan masa lalu sebagai jalan memperbaiki diri.
“Berhenti menghujat diri sendiri, kamu
mesti bangkit mengatasi masalah, dengan
rasa percaya diri.” (hal 98).
Jika kita mau berusaha pasti kita
bisa meraih apa yang kita inginkan. “Selalu ada cara untuk mengusahakannya.
Kalau sudah tidak ada pilihan yang baik tersedia, dia harus membuatnya. Setiap
pilihan punya risiko.” (hal 119).
“Al-Quran selalu punya jawaban untuk
setiap perkara. Cuma manusia sering kali lupa itu. Mereka memilih mengadu
kepada orang lain, yang belum tentu bisa
memecahkan masalah.” (hal 212).
“Jadi benar, ya, memang tidak ada
pria yang sempurna. Bisa jomblo sampai akhir zaman kalau mau menunggu datangnya
pria yang tanpa kekurangan. Semua pria yang terlihat dari luar sebagai suami
idaman pun, sebetulnya menyimpan cacat. Tinggal pintar-pintarnya kita menyikapi
kekurangannya atau kekhilafan pasangan, ya. Yoh, kita sendiri bukan wanita
sempurna.” (hal 205-206).
Rumah tangga memang tidak bisa
berjalan lurus terus. Akan selalu ada kerikil atau jurang dan jaring yang siap
menjadi lawan kita. Tinggal kita mampu menghadapi atau memilih menyerah.
Srobyong, 14 November 2017
Setiap wanita mempunyai standar masing-masing mengenai toleransi terhadap kekhilafan yang dilakukan oleh pria..
ReplyDeleteIya, betul sekali.
Deletekayaknya aku mau nyari buku ini nih... pingin baa buku tentang wanita yang dewasa muda soalnya
ReplyDeleteMonggo Mbak, langsung diburu ditobuk terdekat :)
Delete