Aku memanggilnya Lelaki Pelangi. Aku mengenal dia tanpa sengaja di
sebuah Negeri Seribu Batu. Kala itu, aku berada di subuh yang paling
sunyi. Aku baru selesai mengambil air wudlu ketika mata kami saling
bertemu. Yah, detik itu, jantung ini tidak bisa diajak kompromi. Aku pasti gila
dengan perasaan ini. Menyukai seseorang yang harusnya tidak boleh kusukai.
~&~
Malam sunyi, aku ke luar dari bilik kamar. Berjalan cepat untuk mengambil
air wudhu. Dadaku sontak kaget ketika langkah kaki akan pergi, ada seseorang
berdiri di depanku. Sama sepertiku, orang itu pun kaget bukan kepalang. Sepertinya
alam bawa sadar telah membuat dia akan salah masuk di tempat wudhu wanita. Dia
bergegas meminta maaf, undur diri. Dan
aku bergegas menundukkan kepala. Tapi, entah kenapa setelah itu ..., aku tidak
bisa melupakannya.
Aku jadi tidak konsen dalam pekerjaan juga belajar. Dalam tidur malam dia
menjadi mimpi terindah yang membuatku senang bukan kepalang.
“Ya Allah bantulah hambamu ini.” Aku merapalkan tangan.
Ah, sungguh perasaan ini mengusik sekali ketenangan yang selama ini
kumiliki. Padahal sejak awal aku datang ke sini, harapan yang kuinginkan hanya
satu. Membanggakan Ibu sang pemilik cinta. Aku di sini karena beliau. Menjadi
anak sholehah yang selalu didamba. Meski aku harus bekerja keras untuk
mewujudkan mimpi itu. Aku menghela napas
bergegas meninggalkan ruang perpustakaan. Aku sudah terlalu lama terpekur di
sana. Membayangkan senyumnya yang dimiliki yang kucoba hapus berkali-kali. Lalu
memikirkan ibu dan amanah yang diembankan dulu.
“Assalamu’alaikum.” Suara itu membuatku terhenyak. Aku yang tadi menunduk
kini menatap asal suara. Jantungku langsung berpacu. Mata abu-abunya membuatku
grogi.
“Wa-alai-kum-sa-lam.” Aku menjawab dengan gagap. Kaget.
“Maaf soal yang kemarin, aku sungguh tidak sengaja.” Dia tersenyum. Aku
membantin, dia mengenalku?
“Namamu Ifa bukan?” dia kembali membuatku kaget. Bahkan dia tahu namaku.
“Hampir semua orang di pesantren ini tahu kamu, Fah. Bahkan orangtuaku.”
Dia tersenyum. Aku menelan ludah.
Begitukah? Kenapa aku sangat terkenal? Dia bilang orangtuanya mengenalku?
Aku semakin tidak mengerti.
“Jangan bengong saja. Jadi bagaimana?”
“Hah?” aku ternganga.
“Kok, Hah? Aku dimaafkan, bukan?” Dia tersenyum. Dan jantungku kembali
berdetak. Bodoh.
“Ah ..., iya. Tentu saja. Saya permisi dulu.” Aku bergegas pergi. Tidak memedulikan dia yang sepertinya
memanggil namaku. Tapi kenapa dia memanggilku? Entahlah. Mungkinkah aku
salah dengar? Suara hatiku berkecamuk.
Aku menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Mencoba mengontrol
jantung yang sedari tadi berdetak tidak karuan. Bergegas aku masuk ke kamar dan
berganti pakaian dan mulai mengerjakan tugas yang kuemban.
Dan betapa kagetnya aku ketika menatap dia, yang ada berjajar dengan sosok
yang selama ini aku hormati karena kebaikan yang selama ini diberikan padaku.
Rumah, pekerjaan hingga pendidikan.
Dia tersenyum padaku. Aku menunduk malu. Kebenaran kenapa dia tahu siapa
aku pun terungkap. Dan aku pun tahu dia-lah yang selama ini Kiai dan Bu Nyai
ceritakan padaku.
~*~
Pagi yang sunyi. Aku teramat lelah. Perjalan jauh sungguh membuatku payah.
Yah, kembali dari negeri suci. Di sana aku belajar dan tak ketinggalan untuk melukis
ka’bah, sebagai bonusnya. Sudah belajar hampir empat tahun di sana, kenapa
tidak sekalian haji saja? Itu yang kulakukan. Tidak kusangka, karena kelelahan
yang teramat itu, aku membuat kesalahan terindah. Aku bertemu dengan pemilik senyum
sang bidadari yang membuat molekul hatiku bereaksi tanpa aba-aba.
Dia terlihat sangat pemalu. Dengan gerak cepat dia menghindar, hingga
akhirnya aku tahu, ternyata dia ada di sisiku. Ah, sungguh aku tidak menyangka.
Aku pun tidak bisa menahan diri. Aku menemuinya. Ingin meminta maaf dan
sekaligus mencoba mengenalnya lebih jauh.
Dan seperti kesan kali pertama jumpa. Dia salah tingkah. Menunduk malu, dan
aku menertawaknnya dalam diam. Apalagi ketika dia melihatku bersama orang yang
paling dia hormati. Dia menunduk malu. Dan gilanya, aku menyukai segala tingkah
konyolnya. Senyum malu-malu juga kegagetannya. Dan yang paling aku suka, aku
menemukan harta karunnya.
~*~
Aku menatap langit-lagit kamar. Menatap serpihan rindu yang kini
menjangkitku. Ah, ini tidak boleh. Dia adalah lelaki pelangi, dan aku
bukan siapa-siapa. Tidak pantas aku menyukainya. Ini salah. Bagaimana kalau
Kiai dan Bu Nyai tahu? Mereka pasti akan kecewa. Sejak aku nyantri di sini dan
menjadi abdi dalem, Bu Nyai memang sering menceritakan putra ketiga beliau yang
belajar di Arab. Beliau sangat membanggakannya. Bu Nyai sering bilang, beliau
ingin putranya ketiga ini mau dijodohkan dengan seorang putri dari kenalan Pak
Kiai.
“Doakan, ya, Fah. Semoga harapan ibu menjadi nyata.” Dan aku hanya bisa
mengangguk mengiyakan.
“Aamiin, insya Allah bisa, Bu.” Bu
Nyai tersenyum semringah.
Aku menghela napas, potongan percakapan yang dulu kembali terngiang. Dan
kemarin, Bu Nyai kembali membicarakan itu padaku. Meminta pendapat tentang
putri Kiai siapa yang paling cocok untuk dia. Aku menggigit bibir. Ini seperti cebol ingin mengambil bintang. Lelaki
pelangi itu tidak mungkin kuraih. Dia seperti potret sejuta mimpi yang hanya bisa kupandang dari
jauh. Yah, seperti pelangi yang selalu
indah ketika kemunculannya di langit biru. Kemunculan yang jarang namun selalu
dirindukan. Meski sejuta cinta kumiliki, itu tidak ada artinya. Aku
harus tetap menghapus rasa itu dan berserah pada-Nya.
Dia terlalu indah untukku yang tak memiliki sinar. Redup. Lagi-lagi aku
menghela napas. Aku harus melupakannya dengan segera. Mungkin pulang dulu ke
desa untuk menenangkan pikiran barang sebentar.
“Yah, aku harus melakukannya.” Aku bangkit dan bersiap menemui Bu Nyai.
Malam ini aku akan pergi.
~*~
She like a rose. Mungkin sebutan itu cocok untuknya. Dia tidak
seperti kebanyakan bunga yang dengan mudah mengumbar kecantikannya pada
sembarang orang. Dia membentengi diri dengan durinya. Menjaga kehormatan dengan
segala daya upaya. Aku sangat
mengaguminya. Kupikir aku sudah yakin dengan jawaban yang akan kuberikan pada
ibu.
Aku bangkit dari tempat duduk,
menatap sejenak buku bersampul cokelat yang kemarin aku temukan. Tentang
coretan hujan di atas kertas. Tarian surat cinta terakhir yang
nampak terpotong karena aku menemukannya sebelum surat itu terselesaikan. Aku
tersenyum penuh arti. Berjalan dengan ringan untuk soan pada abah dan umi.
Mengutarakan niat untuk meminang pemilik senyum sang bidadari.
Srobyong, 4 September 2015
Ah, kamu memang keren. Selamat, ya ...
ReplyDeleteMakasih Mbak Kayla, tapi masih harus belajar ^^
DeleteAlhamdulillah,... Senang Sekali membaca cerpenmu mbak. Seperti Saya menjadi gadiS dengan Senyum Sang Bidadari
ReplyDeleteHhheh, terima kasih Mbak, sudah mampir dan baca tulisan ini. ^_^ Tulisan lama ini, hehh
DeleteIndahnya jatuh cinta yang dirasa oleh Sang Lelaki Pelangi dan Sang Bidadari, itu ceritanya belum selesai ya? Kira2 endingnya seperti apa?
ReplyDeleteSudah selesai, endingnya memang mengantung biar diteruskan sendiri oleh pembaca.
Delete