Tuesday, 17 November 2015

[Cerpen] Seraut Hati




Aku memanggilnya Lelaki Pelangi. Aku mengenal dia tanpa sengaja di sebuah Negeri Seribu Batu. Kala itu, aku berada di subuh yang paling sunyi. Aku baru selesai mengambil air wudlu ketika mata kami saling bertemu. Yah, detik itu, jantung ini tidak bisa diajak kompromi. Aku pasti gila dengan perasaan ini. Menyukai seseorang yang harusnya tidak boleh kusukai.

~&~

Malam sunyi, aku ke luar dari bilik kamar. Berjalan cepat untuk mengambil air wudhu. Dadaku sontak kaget ketika langkah kaki akan pergi, ada seseorang berdiri di depanku. Sama sepertiku, orang itu pun kaget bukan kepalang. Sepertinya alam bawa sadar telah membuat dia akan salah masuk di tempat wudhu wanita. Dia bergegas  meminta maaf, undur diri. Dan aku bergegas menundukkan kepala. Tapi, entah kenapa setelah itu ..., aku tidak bisa melupakannya.

Aku jadi tidak konsen dalam pekerjaan juga belajar. Dalam tidur malam dia menjadi mimpi terindah yang membuatku senang bukan kepalang.

“Ya Allah bantulah hambamu ini.” Aku merapalkan tangan.

Ah, sungguh perasaan ini mengusik sekali ketenangan yang selama ini kumiliki. Padahal sejak awal aku datang ke sini, harapan yang kuinginkan hanya satu. Membanggakan Ibu sang pemilik cinta. Aku di sini karena beliau. Menjadi anak sholehah yang selalu didamba. Meski aku harus bekerja keras untuk mewujudkan mimpi itu.  Aku menghela napas bergegas meninggalkan ruang perpustakaan. Aku sudah terlalu lama terpekur di sana. Membayangkan senyumnya yang dimiliki yang kucoba hapus berkali-kali. Lalu memikirkan ibu dan amanah yang diembankan dulu.

“Assalamu’alaikum.” Suara itu membuatku terhenyak. Aku yang tadi menunduk kini menatap asal suara. Jantungku langsung berpacu. Mata abu-abunya membuatku grogi.

“Wa-alai-kum-sa-lam.” Aku menjawab dengan gagap. Kaget.

“Maaf soal yang kemarin, aku sungguh tidak sengaja.” Dia tersenyum. Aku membantin, dia mengenalku?

“Namamu Ifa bukan?” dia kembali membuatku kaget. Bahkan dia tahu namaku.

“Hampir semua orang di pesantren ini tahu kamu, Fah. Bahkan orangtuaku.” Dia tersenyum. Aku menelan ludah.

Begitukah? Kenapa aku sangat terkenal? Dia bilang orangtuanya mengenalku? Aku semakin tidak mengerti.

“Jangan bengong saja. Jadi bagaimana?”

“Hah?” aku ternganga.

“Kok, Hah? Aku dimaafkan, bukan?” Dia tersenyum. Dan jantungku kembali berdetak. Bodoh.

“Ah ..., iya. Tentu saja. Saya permisi dulu.” Aku bergegas pergi.  Tidak memedulikan dia yang sepertinya memanggil namaku. Tapi kenapa dia memanggilku? Entahlah. Mungkinkah aku salah dengar? Suara hatiku berkecamuk.

Aku menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Mencoba mengontrol jantung yang sedari tadi berdetak tidak karuan. Bergegas aku masuk ke kamar dan berganti pakaian dan mulai mengerjakan tugas yang kuemban.

Dan betapa kagetnya aku ketika menatap dia, yang ada berjajar dengan sosok yang selama ini aku hormati karena kebaikan yang selama ini diberikan padaku. Rumah, pekerjaan hingga pendidikan.
Dia tersenyum padaku. Aku menunduk malu. Kebenaran kenapa dia tahu siapa aku pun terungkap. Dan aku pun tahu dia-lah yang selama ini Kiai dan Bu Nyai ceritakan padaku.

~*~

Pagi yang sunyi. Aku teramat lelah. Perjalan jauh sungguh membuatku payah. Yah, kembali dari negeri suci. Di sana aku belajar dan tak ketinggalan untuk melukis ka’bah, sebagai bonusnya. Sudah belajar hampir empat tahun di sana, kenapa tidak sekalian haji saja? Itu yang kulakukan. Tidak kusangka, karena kelelahan yang teramat itu, aku membuat kesalahan terindah. Aku bertemu dengan pemilik senyum sang bidadari yang membuat molekul hatiku bereaksi tanpa aba-aba. 

Dia terlihat sangat pemalu. Dengan gerak cepat dia menghindar, hingga akhirnya aku tahu, ternyata dia ada di sisiku. Ah, sungguh aku tidak menyangka. Aku pun tidak bisa menahan diri. Aku menemuinya. Ingin meminta maaf dan sekaligus mencoba mengenalnya lebih jauh.

Dan seperti kesan kali pertama jumpa. Dia salah tingkah. Menunduk malu, dan aku menertawaknnya dalam diam. Apalagi ketika dia melihatku bersama orang yang paling dia hormati. Dia menunduk malu. Dan gilanya, aku menyukai segala tingkah konyolnya. Senyum malu-malu juga kegagetannya. Dan yang paling aku suka, aku menemukan harta karunnya.

~*~

Aku menatap langit-lagit kamar. Menatap serpihan rindu yang kini menjangkitku. Ah, ini tidak boleh. Dia adalah lelaki pelangi, dan aku bukan siapa-siapa. Tidak pantas aku menyukainya. Ini salah. Bagaimana kalau Kiai dan Bu Nyai tahu? Mereka pasti akan kecewa. Sejak aku nyantri di sini dan menjadi abdi dalem, Bu Nyai memang sering menceritakan putra ketiga beliau yang belajar di Arab. Beliau sangat membanggakannya. Bu Nyai sering bilang, beliau ingin putranya ketiga ini mau dijodohkan dengan seorang putri dari kenalan Pak Kiai.

“Doakan, ya, Fah. Semoga harapan ibu menjadi nyata.” Dan aku hanya bisa mengangguk mengiyakan.

“Aamiin, insya Allah bisa, Bu.”  Bu Nyai tersenyum semringah.

Aku menghela napas, potongan percakapan yang dulu kembali terngiang. Dan kemarin, Bu Nyai kembali membicarakan itu padaku. Meminta pendapat tentang putri Kiai siapa yang paling cocok untuk dia. Aku menggigit bibir.  Ini seperti cebol ingin mengambil bintang. Lelaki pelangi itu tidak mungkin kuraih. Dia seperti potret sejuta  mimpi yang hanya bisa kupandang dari jauh.  Yah, seperti pelangi yang selalu indah ketika kemunculannya di langit biru. Kemunculan yang jarang namun selalu dirindukan. Meski sejuta cinta kumiliki, itu tidak ada artinya. Aku harus tetap menghapus rasa itu dan berserah pada-Nya.

Dia terlalu indah untukku yang tak memiliki sinar. Redup. Lagi-lagi aku menghela napas. Aku harus melupakannya dengan segera. Mungkin pulang dulu ke desa untuk menenangkan pikiran barang sebentar.

“Yah, aku harus melakukannya.” Aku bangkit dan bersiap menemui Bu Nyai. Malam ini aku akan pergi.

~*~

She like a rose. Mungkin sebutan itu cocok untuknya. Dia tidak seperti kebanyakan bunga yang dengan mudah mengumbar kecantikannya pada sembarang orang. Dia membentengi diri dengan durinya. Menjaga kehormatan dengan segala daya upaya. Aku  sangat mengaguminya. Kupikir aku sudah yakin dengan jawaban yang akan kuberikan pada ibu.

Aku bangkit dari tempat duduk, menatap sejenak buku bersampul cokelat yang kemarin aku temukan. Tentang coretan hujan di atas kertas. Tarian surat cinta terakhir yang nampak terpotong karena aku menemukannya sebelum surat itu terselesaikan. Aku tersenyum penuh arti. Berjalan dengan ringan untuk soan pada abah dan umi. Mengutarakan niat untuk meminang pemilik senyum sang bidadari.  

Srobyong, 4 September 2015


Sebuah naskah  yang saya ikutkan dalam Event Title happy one yang diadakan Muhammad Agus Riwayanto yang bekerja sama dengan Penerbit LovRinz, di mana saya mengambil judul-judul buku yang pernah diterbitkan di Penerbit LovRinz. Dan alhamdulillah bisa menang. ^^


6 comments:

  1. Alhamdulillah,... Senang Sekali membaca cerpenmu mbak. Seperti Saya menjadi gadiS dengan Senyum Sang Bidadari

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hhheh, terima kasih Mbak, sudah mampir dan baca tulisan ini. ^_^ Tulisan lama ini, hehh

      Delete
  2. Indahnya jatuh cinta yang dirasa oleh Sang Lelaki Pelangi dan Sang Bidadari, itu ceritanya belum selesai ya? Kira2 endingnya seperti apa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah selesai, endingnya memang mengantung biar diteruskan sendiri oleh pembaca.

      Delete