Judul :
Peci Miring
Penulis :
Aguk Irawan MN
Penerbit :
Javanica (PT. Kaurama Buana Antara)
cetakan :
1, September 2015
Halaman :
404 halaman
ISBN :
978-602-77293-1-5
Peci Miring merupakan novel biografi Gus Dur karya Aguk Irawan MN yang memang sangat berbeda dari kebanyakan buku senada yang lain. Dalam buku
ini, dipaparkan secara lengkap dan runtut
tentang masa kecil yang sudah memiliki hobi membaca dan perjalannya dalam menuntut
ilmu dengan
menggunakan bahasa yang mengalir.
Sebagai warga Indonesia pasti tidak asing dengan tokoh fenomenal ini. Gus
Dur atau yang bernama asli Abdurrahman Ad-Dakhil, dan juga dikenal dengan nama
Abdurrahman Wahid. Cucu dari Hadratusy Syaikh
K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri NU dan putra dari K.H. Wahid Hasyim. Serta
tokoh yang pernah menjadi bapak
negeri—Presiden Republik Indonesia
yang keempat.
Gus Dur, begitulah sapaan yang melekat padanya hingga sekarang. Tokoh yang sejak kemunculannya
dibilang kontroversi. Karena menurut kebanyakan orang, Gus Dur itu sulit
dipahami. Memiliki sisi nyeleneh—unik dalam setiap pandangan hidup. Sangat kritis, namun tetaplah seorang yang humoris dan sangat sederhana. Lepas
dari itu Gus Dur adalah sosok yang
selalu dicintai dan selalu dirindukan. (hal.16)
Gus Dur lahir di Jombang, 7 Semptember 1940. Sejak kecil Gus Dur sudah
memiliki kecintaan pada buku. Karena itu kisah semasa kecil hingga remaja Gus Dur banyak
dihabiskan dengan membaca dan menuntut ilmu, dari satu pesantren ke pesantren
lain bahkan ke luar negeri.
Hobi membaca sepertinya menurun dari hobi sang ayah. Di manapun dan kapan
pun Gus Dur selalu meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca. Bisa dibilang perpustakaan
adalah rumah yang nyaman baginya. Pada jam istirahat dia lebih suka meluangkan waktu untuk membaca di perpustakaan. Selain di perpusatakaan sekolah, perpustakaan pribadi sang ayah juga
menjadi sasaran untuk memuaskan hasrat membacanya. Namun ternyata semua itu seakan tidak cukup,
sehingga Gus Dur pergi juga ke perpustakaan nasional. Gus Dur berkata, “Aku suka membaca. Dengan membaca akan aku kuasai
dunia!” (hal. 97)
Itulah motivasinya membaca.
Dari hobi membaca, Gus Dur pun
memiliki kemampuan menulis yang baik. Dulu dia pernah disuruh gurunya untuk
menulis dan Gus Dur mengikuti anjuran itu. Ternyata karangan yang dia ikutkan
dalam sebuah lomba menulis tingkat sekolah dasar dimenangkan oleh dirinya.
(hal. 102)
Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Gus Dur
melanjutkan pendidikan di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) lalu mondok di Krapyak. Di sana Gus
Dur mengenal Haji
Junaidi dan teman-teman aktivis PKI yang bisa diajak diskusi. Baik itu tentang
buku, pengetahuan tentang komunis juga tentang film. (hal. 140) Kemudian Gus
Dur mondok lagi ke Tegalrejo. Selama dua tahun nyantri di sana, menurut Kia
Chudlori, pencapaian ilmu yang diperoleh Gus Dur sangat luar biasa. Lalu Gus
Dur diminta Kiai Bisri Syansuri—kakeknya untuk ikut mengajar di Tambakberas.
Namun setelah satu tahun mengajar,
Gus Dur mulai merasa gelisah tentang
kemana lagi harus belajar. Selama ini memang
sudah banyak sekali buku yang dibacanya. Tapi
entah kenapa terasa masih kurang. Dia
merasa masih bodoh dan harus terus berjuang untuk menuntut ilmu.
Karena itu Gus Dur memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke
Mesir—pusat peradaban ilmu pengetahuan. (hal.290) Tidak puas belajar di Mesir,
Gus Dur melanjutkan perjalanan menaklukkan buku dan mentut ilmu di Baghdah dan
Eropa.
Novel biografi yang inspiratif, sarat makna dan patut dibaca. Kita bisa
meneladi semangat Gus Dur dalam menuntut ilmu, dan kecintaan nya pada membaca buku dan menuntut
ilmu. Beberapa
bagian buku yang terasa lambat, tidak mengurangi kenikmatan membaca buku ini.
Karena cerita dipaparkan dengan baik dan lugas. Gaya bahasa ringan dan mudah dimengerti. Ada
banyak quote bagus dan bisa diresapi. Antara lain, “Jika aku tidak membaca,
aku takkan tahu apa-apa.” (hal. 288)
No comments:
Post a Comment