Friday, 22 April 2016

[Resensi] Kiprah Haji Agus Salim dalam Pergerakan

Meneladani Kiprah Haji Agus Salim, Tokoh Pergerakan Nasional

Judul               : Cahaya dari Koto Gadang
Penulis             : Haidar Musyafa
Penerbit           : Sprit & Grow
Cetakan           : Pertama, April 2015
Halaman          : xiv + 466 hlm
ISBN               : 978-602-72438-0-4

Ini naskah asli resensi sebelum ada perubahan dari pihak Koran JakartaVersi revisi bisa dilihat
di web Koran Jakarta. Alhamdulillah ini resensi kedua yang bisa dimuat di media tersebut. Yang saya tahu memang sulit untuk menembusnya. 

Indonesia berdiri hingga sekarang adalah karena adanya sejarah panjang. Perjuangan dari para pahlawan yang berjuang keras dengan tenaga dan pikiran.  Mereka adalah para tokoh pergerakan nasional yang patut diteladani. Berkat usaha keras mereka Indonesia tidak lagi terjerat dari penjajahan. 

Diantaranya adalah  Haji Agus Salim. Tokoh  yang memiliki  nama asli Masyhudul Haq yang berarti ‘Pembela Kebenaran’.  Kiprahnya dalam meraih kemerdekaan dilakukan dengan penuh semangat, penuh keberanian dan tidak mudah menyerah.

Sejak kecil Haji Agus Salim sudah memperlihatkan kecakapannya. Belum genap belajar di Europeesche Lagere School (ELS), beliau sudah menguasai bahasa Belanda. (hal. 9) Setelah tamat dari ELS lalu melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) dan menjadi lulusan terbaik menyandang gelar ‘juara umum’ pada tiga cabang HBS sekaligus yaitu, Batavia, Semarang dan Surabaya. (hal. 66)

Sayangnya setelah itu, Haji Agus Salim harus menelan pahit tidak bisa mewujudkan mimpi yang selama ini diiinginkan—melanjutkan sekolah agar bisa menjadi dokter, karena masalah biaya. Meski sempat sedih, tapi akhirnya memilih bangkit dan menerima apa yang sudah digariskan Tuhan—mulai berpikir positif. “Takdir barangkali  memang tak  mengizinkan saya untuk menjadi seorang dokter. Tapi saya yakin ada takdir lain yang menjadikan saya sebagai seorang bumi putra yang berguna.” (hal. 92)

Haji Agus Salim akhirnya bekerja sebagai penerjamah dan pembantu Notaris pada  Kongsi Pertambangan Batu Bara milik Governemen Hindia Belanda. Lalu setelah setahun dipindahkan  di kantor Konsulat Belanda yang berada di Jeddah, Arab selama lima tahun dengan suka duka yang cukup pelik. Di sana, Haji Agus Salim sempat terlibat konflik dengan pihak konsulat karena lebih membela jamaah haji dari Inlander yang selalu dilakukan tidak adil di Tanah Suci.

Haji Agus Salim mulai terjun ke dunia politik  ketika mengenal  H.O.S Tjokroaminoto dan Organisasi bernama Sarekat Islam (SI) lalu memutuskan bergabung dengan organisasi tersebut (hal. 276)  yang pada perkembangannya, berubah menjadi  Partai Sarekat Islam (PSI).

Alasan bergabung Sarekat Islam adalah karena memiliki asas pemahaman yang sama dengannya.  “Menjalankan ajaran agama dengan seluas-luasnya, sehingga masyarakat akan mendapat wawasan dunia keislaman yang sebenar-benarnya. Dapat menerapkan aturan-aturan keislaman dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat berjihad melawan penjajah sebagaimana yang telah diajarkan dalam Islam.” (hal. 281)

Bersama H.O.S Tjokroaminoto, mereka bahu membahu untuk menentang segala penjajahan dan penindasan yang dilakukan Pemerintahan Hindia Belanda. Selain bergabung dengan SI, Haji Agus Salim juga bekerja di Koran Netaraja sebagai pemimpin redaksi. Namun karena visi yang dimiliki tak sama—mengajak rakyat untuk berjuang dan membentuk pemerintahan sendiri, lepas dari bayang-bayang kolonial,  akhirnya  memilih mundur.  (hal. 288)

Haji Agus Salim diberi gelar “The Grand Old Man”—mengingat banyaknya pengalaman politik yang sudah dijalaninya. Menjadi petinggi Partai Sarekat Islam (PSI) serta  aktif  di kantor Penerbitan Hindia Baroe sebagai redaktur.  Anggota BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Salah satu anggota panitia sembilan yang bertugas membuat rumusan pembukaan Undang-Undang Dasar. (hal. 402).  Serta menjadi dipolomat pertama di Indonesia. Atas jasanya  kedaulatan Indonesia paska proklamasi mendapat banyak dukungan dari kancah internasional.

Haji Agus Salim terus berjuang dengan gigih tanpa kenal lelah. Ketika  usianya  mulai senja, dia  dipilih sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri. Selain itu  Haji Agus Salim juga mendedikasian dirinya dalam dunia pendidikan.  Haji Agus Salim menyerahkan seluruh hidupnya demi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.

Novel Cahaya dari Koto Gadang adalah bacaan yang sangat direkomendasikan untuk dijadikan bacaan sehat bagi  semua kalangan.  Mengingat novel sejarah ini sangat sarat makna dan inspiratif. Banyak keteladanan yang bisa diambil dari kisah ini. Tentang patriotimse, nasionalisme,  semangat juang meraih cita-cita, selalu bersyukur pada Allah dan selalu berpikir positif. Kehidupan dan perjuangan Haji Agus Salim memberikan suntikan semangat bagi siapa saja yang membaca kisah ini. Dipaparkan dengan bahasa yang lugas dan mudah dicerna, sehingga tidak membosankan. Beberapa keselahan penulis tidak mengurangi kenikmatan membaca buku ini.

Srobyong, 16 April 2016 

[Ratnani Latifah, penikmat buku dan literasi, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara]

Dimuat di Koran Jakarta, Edisi Rabu 20 April 2016


No comments:

Post a Comment