Meneladani Kiprah Haji Agus Salim, Tokoh Pergerakan Nasional
Judul : Cahaya dari Koto Gadang
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Sprit & Grow
Cetakan : Pertama, April 2015
Halaman : xiv + 466 hlm
ISBN :
978-602-72438-0-4
Ini naskah asli resensi sebelum ada
perubahan dari pihak Koran Jakarta. Versi revisi bisa dilihat
di web Koran Jakarta. Alhamdulillah ini resensi kedua yang bisa dimuat di media tersebut. Yang saya tahu memang sulit untuk menembusnya.
Indonesia berdiri hingga sekarang
adalah karena adanya sejarah panjang. Perjuangan dari para pahlawan yang
berjuang keras dengan tenaga dan pikiran.
Mereka adalah para tokoh pergerakan nasional yang patut diteladani.
Berkat usaha keras mereka Indonesia tidak lagi terjerat dari penjajahan.
Diantaranya adalah Haji Agus Salim. Tokoh yang memiliki nama asli Masyhudul Haq yang berarti ‘Pembela
Kebenaran’. Kiprahnya dalam meraih kemerdekaan
dilakukan dengan penuh semangat, penuh keberanian dan tidak mudah menyerah.
Sejak kecil Haji Agus Salim sudah
memperlihatkan kecakapannya. Belum genap belajar di Europeesche Lagere
School (ELS), beliau sudah menguasai bahasa Belanda. (hal. 9) Setelah tamat
dari ELS lalu melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) dan menjadi lulusan terbaik
menyandang gelar ‘juara umum’ pada tiga cabang HBS sekaligus yaitu, Batavia, Semarang
dan Surabaya. (hal. 66)
Sayangnya setelah itu, Haji Agus
Salim harus menelan pahit tidak bisa mewujudkan mimpi yang selama ini
diiinginkan—melanjutkan sekolah agar bisa menjadi dokter, karena masalah biaya.
Meski sempat sedih, tapi akhirnya memilih bangkit dan menerima apa yang sudah digariskan
Tuhan—mulai berpikir positif. “Takdir barangkali memang tak
mengizinkan saya untuk menjadi seorang dokter. Tapi saya yakin ada
takdir lain yang menjadikan saya sebagai seorang bumi putra yang berguna.” (hal.
92)
Haji Agus Salim akhirnya bekerja
sebagai penerjamah dan pembantu Notaris pada
Kongsi Pertambangan Batu Bara milik Governemen Hindia Belanda. Lalu
setelah setahun dipindahkan di kantor
Konsulat Belanda yang berada di Jeddah, Arab selama lima tahun dengan suka duka
yang cukup pelik. Di sana, Haji Agus Salim sempat terlibat konflik dengan pihak
konsulat karena lebih membela jamaah haji dari Inlander yang selalu dilakukan
tidak adil di Tanah Suci.
Haji Agus Salim mulai terjun ke
dunia politik ketika mengenal H.O.S Tjokroaminoto dan Organisasi bernama
Sarekat Islam (SI) lalu memutuskan bergabung dengan organisasi tersebut (hal.
276) yang pada perkembangannya, berubah
menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).
Alasan bergabung Sarekat Islam
adalah karena memiliki asas pemahaman yang sama dengannya. “Menjalankan ajaran agama dengan
seluas-luasnya, sehingga masyarakat akan mendapat wawasan dunia keislaman yang
sebenar-benarnya. Dapat menerapkan aturan-aturan keislaman dalam kehidupan
sehari-hari, dan dapat berjihad melawan penjajah sebagaimana yang telah
diajarkan dalam Islam.” (hal. 281)
Bersama H.O.S Tjokroaminoto, mereka
bahu membahu untuk menentang segala penjajahan dan penindasan yang dilakukan
Pemerintahan Hindia Belanda. Selain bergabung dengan SI, Haji Agus Salim juga bekerja
di Koran Netaraja sebagai pemimpin redaksi. Namun karena visi yang dimiliki tak
sama—mengajak rakyat untuk berjuang dan membentuk pemerintahan sendiri, lepas
dari bayang-bayang kolonial, akhirnya memilih mundur. (hal. 288)
Haji Agus Salim diberi gelar “The Grand Old Man”—mengingat banyaknya
pengalaman politik yang sudah dijalaninya. Menjadi petinggi Partai
Sarekat Islam (PSI) serta aktif di kantor Penerbitan Hindia Baroe sebagai
redaktur. Anggota BPUPKI (Badan
Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Salah satu anggota
panitia sembilan yang bertugas membuat rumusan pembukaan Undang-Undang Dasar.
(hal. 402). Serta menjadi dipolomat
pertama di Indonesia. Atas jasanya
kedaulatan Indonesia paska proklamasi mendapat banyak dukungan dari
kancah internasional.
Haji Agus Salim terus berjuang dengan
gigih tanpa kenal lelah. Ketika
usianya mulai senja, dia dipilih sebagai Penasehat Menteri Luar
Negeri. Selain itu Haji Agus Salim juga mendedikasian
dirinya dalam dunia pendidikan. Haji
Agus Salim menyerahkan seluruh hidupnya demi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.
Novel Cahaya dari Koto Gadang adalah
bacaan yang sangat direkomendasikan untuk dijadikan bacaan sehat bagi semua kalangan. Mengingat novel sejarah ini sangat sarat makna
dan inspiratif. Banyak keteladanan yang
bisa diambil dari kisah ini. Tentang patriotimse, nasionalisme, semangat juang meraih cita-cita, selalu
bersyukur pada Allah dan selalu berpikir positif. Kehidupan dan perjuangan Haji
Agus Salim memberikan suntikan semangat bagi siapa saja yang membaca kisah ini.
Dipaparkan dengan bahasa yang lugas dan mudah dicerna, sehingga tidak
membosankan. Beberapa keselahan penulis tidak mengurangi kenikmatan membaca
buku ini.
Srobyong, 16 April 2016
[Ratnani Latifah, penikmat buku dan literasi, Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara]
Dimuat di Koran Jakarta, Edisi Rabu 20 April 2016 |
No comments:
Post a Comment