Judul Buku :
Karena Aku Tak Buta
Penulis :
Redy Kuswanto
Penerbit :
Metamind, Creative Imprint of Tiga Serangkai
Editor :
Antik
Cetakan :
Januari 2015
Halaman : xii + 332 hlm
ISBN :
978-602-257-107-0
Karena Aku Tak Buta meraih juara
pertama dari sebuah event lomba menulis novel dengan
tema ‘Seberapa
Indonesiakah dirimu?’
yang diadakan Penerbit Tiga Serangkai.
Novel ini mengambil setting di Jogjakarta,
mengenalkan sebuah komunitas bernama Kolong Tangga—museum permainan tradisional
yang digagas oleh seorang Belgia. Novel ini mengingatkan kembali budaya permainan tradisional yang sekarang
ini sudah semakin terkikis karena perkembangan zaman dan tentang rasa
nasionalisme.
Menceritakan tentang tokoh yang
bernama Zad—seorang anak metropolitan yang harus kuliah di Jogjakarta dan
kemudian mengenal Gendis. Dari gadis itu dia mengenal desa di pedalaman Muntilan
dan berkenalan dengan Mas Gendro dan Pak Gio, dua tokoh yang gigih memperjuangkan tradisional dan
budaya lokal.
Gendis juga mengenalkan berbagai macam permainan tradisional pada Zad yang sering dilakukan anak-anak di desanya. Seperti gobak
sodor, kasti, petak umpet, dakon dan lain sebagainya. Namun laki-laki itu sama
sekali tak tahu. Karena sejak kecil dia hanya mengenal game online.
(hal. 45) Zad pun tertohok, ketika
salah satu anak bertanya padanya. “Emangnya Mas Zad, bukan orang Indonesia?” (hal. 56)
Sejak itu Zad bertekad untuk lebih
mengenal tentang budaya permainan tradisional, dia ingin ikut berjuang
membudidayakan permainan tradisional yang sudah hampir punah. Salah satunya
dengan ikutserta dalam rencana mewujudkan Festival Dolanan Bocah (hal.149) Zad
sangat terinspirasi oleh Pak Rudi, warga Belgia yang menggagas Museum Kolong
Tangga. Pak Rudi sungguh peduli dengan tradisional dan budaya Indonesia. Dimana Pak Rudi takut permainan
tradisional mulai menghilang dan menyebabkan anak zaman sekarang yang tidak
banyak mengenal sama sekali.
Namun dalam upayanya untuk menjadi
anak negeri yang peduli akan budaya tersebut, keinginannya sempat ditentang
oleh ketiga sahabatnya—Yod, Fya dan Rhean. Tapi Zad berhasil meyakinkan mereka
bahwa memang sudah seharusnya sebagai anak bangsa itu harus ikut melestrikan
budayanya sendiri. Festival itu harus dilaksanakan agar orang-orang tahu
tentang permainan tradisional. “Permainan
tradisional merupakan kekayaan tradisi bangsa Indonesia warisan nenek moyang
yang patut dilestarikan.” (hal. 137)
Novel ini dipaparkan dengan bahasa
yang mudah dipahami. Banyak kejutan dan setting dijabarkan dengan baik
sehingga tidak terkesan tempalan. Dan pastinya novel ini sarat makna. Mengingatkan
kembali pada budaya permainan tradisional yang sudah terkikis dengan arus
globalisasi. Saat ini anak-anak lebih mengenal permainan moderen—game online
dari pada permainan tradisional. Dan banyak orang dewasa yang tidak lagi
mengenalkan semua itu. Seolah pergeseran zaman mulai menghapus jejak-jejak
sejarah. Padahal permainan tradional merupakan permainan yang telah diturunkan
dari satu generasi ke generasi berikutnya, mengandung nilai kemanusiaan yang
baik, positif, luhur dan bukan merupakan hasil dari budaya industri. Permainan
tradisional dapat meningkatkan berbagai ospek pengembangan anak. Permainan anak
harus dilestarikan sebagai bekal membangun anak Indonesia yang berkarakter.
(hal. 323-234)
Dimuat di Koran Jakarta, Edisi; Jumat, 26 Februari 2016
Yang di atas naskha asli sebelum diedit. ^_^ . Kalau mau baca versi yang media, bisa dibaca di Koran Jakarta
ini memang menurut saya cara terbaik mengenalkan permainan tradisional, bisa disisipkan di dalam novel, drama, film atau budaya pop yang lain. jadi kelihatan lebih keren tapi tidak terasa
ReplyDeleteIya bener banget. Karena selain terhibur dari ceritanya sendiri, ada pesan moral yang keren. ^^
Deleteiya mbak, emang perlu dilestarikan dan dibudidayak permaiann tradisional indonesia.
ReplyDeletembak, itu kek true story ya mbak hhhee
Bener banget. harus dilestarikan. Ini fiksi tapi untuk kolong tangga memang benar-benar ada.
Delete