10 tahun lalu Ayat-Ayat Cinta hadir memberi warna baru pada dunia literasi.
Bahkan membuat saya semakin jatuh cinta
pada genre religi. Kemunculan novel tersebut memberi dampak dengan munculnya
novel-novel yang hampir serupa. Memang saat itu novel yang ditawarkan
Habiburrahman El Shirazy yang lebih dikenal dengan panggilan Kang Abik,
memiliki keunikan tersendiri, menawarkan sebuah cinta religi yang sarat makna. Jadi pantaslah seketika novel itu laris manis hingga kemudian ada pihak produser
yang akhirnya mengankat cerita itu dalam layar lebar.
Flash back pada novel pertama, akhirnya Fahri bersatu
dengan Aisha, gadis keturunan Turki—Jerman
yang pintar juga cantik jelita dan hidup
berbahagia. Sebuah ending yang mungkin pasti banyak disetujui
pembacanya. Mengingat perjungan hidup Fahri cukup berliku. Dia hampir dihukum mati karena fitnah
dari gadis yang pernah
ditolongnya—karena cinta gadis itu tidak berbalas. Lalu ada juga Maria—seorang Kristen Koptik
juga tetangganya, yang ternyata memendam
cinta teramat banyak pada Fahri. Maria sangat beraharap bisa menikah dengan
Fahri.
Dan
sekarang sekarang kisah antara Fahri dan Aisha ternyata ada kelanjutannya.
Ketika pertama ada kabar terbitnya novel ini, saya sungguh tidak sabar membaca
kelanjutan ceritanya. Saya sungguh penasaran bagaimana kelanjutan dari kisah pasangan ini.
Pada sekuel ke dua ini, cerita dimuali dengan
Fahri yang sekarang telah tinggal di
Edinburgh, Scotlandia dan mengajar di
University of Edinburgh. Pernikahannya dengan Aisha telah merubah kehidupannya
dulu. Tapi meski begitu dia tetaplah sosok Fahri yang selalu peduli pada
orang-orang disekitarnya. Dia hidup bersama Paman Hulusi, asisten rumah
tangganya.
Sebuah kejadian yang tidak pernah terduga
membuat Fahri harus kehilangan Aisha. Aisha dan Alicia pergi ke Palestina
tanggal 2 November 2007. Tapi setelah tanggal 4 November Aisha hilang seperti
ditelan bumi. Namun pada tanggal 29
Januari 2008 jasad Alicia ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan. (hal.
118-119) Berbagai cara telah dilakukan Fahri untuk mencari tahu keberadaan
Aisha, tapi hasilnya nihil. Itulah yang kemudian membuatnya selalu terlarut
dalam kesedihan ketika mengingat Aisha. Untuk menghilangkan kesedihannya dia
menenggelamkan diri dengan penelitian, mengajar dan bisnis yang dulu
dikelolanya dengan Aisha.
Fahri juga sibuk untuk memulihkan citra Islam.
Dia tidak ingin Islam dianggap sebagai setan, moster atau teroris. Sebagaimana
pendapat yang dimiliki Keira tetangganya. Gadis pemain biola itu entah kenapa
sangat membenci Fahri. Tidak cukup Keira, bahkan Fahri juga disebut sebagai amalek
oleh Baruch dan teman-teman Yahudinya. (hal. 293) Untuk memulihkan anggapan
sepihak itu, Fahri melakukan diskusi terbuka membahas tentang amalek. (hal. 421) Fahri juga menerima undangan
debat tentang permasalah agama dari Oxford. Dia adalah pakar studi Islam
sebagai wakil University of Edinburgh. (hal.
421)
Fahri benar-benar berada pada masa gemilang
karirnya. Tapi tidak dengan rumah tangganya. Dia masih terpaku pada Aisha.
Beberapa kali Fahri ditawari untuk menikah lagi. Namun dia belum mantap. Apalagi dia merasa ada seseorang yang entah
kenapa selalu mengingatkannya pada Aisha—Sabina tuna wisma yang pernah
ditolongnya. Hanya saja Sabina itu berwajah buruk dan memiliki suara yang
serak. Sampai pada suatu ketika kehadiran Hulya berhasil mencairkan hati
Fahri. Apakah akhrinya Fahri menikah
dengan Hulya atau tetap menunggu Aisha? Dan sebenarnya Aisha memang masih hidup
atau sudah meninggal? Temukan jawabannya
di dalam buku ini.
Novel ini sangat menarik dan membuat saya uring-uringan
sendiri. Kenapa Aisha harus memiliki nasib seperti itu? Kenapa porsi Aisha
dalam buku ini sangat sedikit? Saya juga bertanya-tanya mungkinkah ada seorang
perempuan yang mau merelakan suaminya untuk dimadu? Kecuali untuk orang-orang
tertentu memang. Banyak kekesalan yang menyusup dalam dada. Tapi mungkin itulah
kehebatan Kang Abik dalam mengaduk-aduk emosi pembacanya.
Sejak ada info akan diterbitkan Ayat-Ayat
Cinta 2 saya sudah sangat penasaran sekali. Beberapa kali ikut GA mengadu
keberuntungan tapi nyatanya belum beruntung, saya pun akhirnya membeli karena
sudah sangat penasaran bagaimana kelanjutan kisah Fahri dan Aisah.
Alhamdulillah ketika keinginan kuat, ada rezeki dari Allah.
Alasan yang membuat novel ini sangat menarik
adalah :
Cover
Kebetulan saya penikmat warna cokelat, jadi
ketika melihat cover untuk pertama kalinya entah kenapa langsung terpikat.
Bangunan yang memikat juga Al-Quran dan mawar merah. Menarik saja. Memang kita
tidak bisa menilai dari covernya saja. Tapi cover yang cantik biasanya akan
selalu menarik para pembaca untuk membeli.
Cerita yang Sudah Mengikat
Karena ini sekuel, sebagai pembaca Ayat-Ayat
Cinta pertama, maka saya pun punya keinginan untuk mengetahui kisah
selanjutnya. Memang dalam Novel ini kalaupun tidak membaca novel pertama tetap
bisa mengikuti, tapi akan lebih baik jika membaca sejak awal sehingga tahu
kenapa Fahri begitu mencinta Aisha dan sejarah panjang hingga mereka bisa
bersama.
Dan novel ini memiliki kekuatan untuk mengajak
pembaca untuk larut dalam cerita. Meski tergolong tebal dan mungkin membuat
malas pada awalnya, tapi ketika sudah mulai membaca, maka daya magnet akan
membuat kita tidak berhenti sampai menghabiskan ceritanya.
Setting
Dari pengalaman
membaca karya Kang Abik, saya melihat kecenderungan mengangkat setting luar
negeri dengan penjabaran yang sangat detail. Dan saya sangat suka itu, jadi
ketika membaca seolah diajak berpetualangan ke tempat baru. Merasa ikut
berperan serta ikut menjejakkan kaki di sana. Gaya bercerita ketika menjelaskan
latar di suatu tempat sangat mudah dicerna. Membius.
Tokoh
Masalah tokoh yang
diangkat, memang terkesan sangat perfect. Pintar, suka menolong dan
begitu loman. Tapi entah kenapa saya tetap suka meski kadang selalu
bertanya-tanya, adakah orang seperti Fahri? Mungkin ada, tapi 1 : 1000. Yah,
mungkin ini adalah semacam sebuah harapan jika memang ada tokoh seperti itu,
maka Indonesia pasti akan sangat hebat dan Islam bisa menjadi lebih baik lagi
dengan memiliki cendiakan seperti itu. Mengharumkan nama negara dan agama.
Kang Abik memang
tidak mengatakan secara langsung betapa sempurnanya tokoh yang dibuat, tapi
dilihat dari penjabaran tingkah laku yang ada dan memakai percakapan tokoh, itu
sangat menunjukkan betapa sempurnanya karekater yang dibuat. Juga mengenai tokoh-tokoh yang menyebalkan
yang sukses membuat kita ikut membenci karena penjabaran yang dibuat penulis
sangat lihai. Seperti Paman Hulusi, melihat bagaimana sikap dan ucapannya saja
kadang saya ingin sekalai memarahinya sambil berkata, “Bisa diam tidak?” pasang
muka sangar, hehhheh.
Tema
Tema ke-Islaman
memang tema yang sederhana, tapi dari yang sederhana itu, Kang Abik mengemasnya
dengan luar biasa. Penjabaran tentang dunia Islam dalam pandangan orang-orang
non-muslim juga pandangan orang Islam itu sendiri. Kita jadi tahu bagaimana orang menilai Islam
selama ini. Namun Fahri berusaha menunjukkan bahwa Islam bukanlah seperti
angapan kebanyakan orang. Islam bukanlah teroris. Jika mungkin ada kejadian bom
atau teror atas nama Islam, itu hanyalah oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab.
Fahri menunjukkan
bahwa Islam sejatinya agama yang lemah lembut, damai, penuh kasih sayang dan
memiliki toleransi tinggi. Serta merupakan agama yang dirahmati Allah.
Selain itu Fahri
juga mematahkan anggapan orang-orang Yahudi fanatik yang menganggam kaum Islam
sebagai amalek—Orang-orang bodoh yang seperti keledai. Fahri menjelaskan anggapan salah
itu dengan menjabarkan lewat kitab-kitab mereka sendiri yang dipahami
setengah-setengah. Juga membandingkan
dengan AL-Quran. Fahri mengakui bahwa Bani Israel memang kaum yang terpilih dan
istimewa, tapi jika itu memang mengikuti ajarah Allah, tapi jika mereka
membangkang maka keistimewaan itu akan hilang. (hal. 437-438)
Selain itu dijelaskan pula dalam debat yang
dilakukan Fahri di Oxford tentang masalah keagamaan. Salah satu Profesor
bernama Mona Bravmann yang hadir mengatakan bahwa segala agama itu sama. Dia
mempercayai bahwa semua agama memang sama. Jadi dia menikmati ketika ikut
menjalankan ibadaha orang Muslim, juga ketika harus ikut ke gereja atau
mengikuti ajaran Yahudi. Hal ini dia dasarkan dari sebuah syair karya Ibn
Arabi. (hal. 564)
Jika proferos perempuan itu mengimani semua
agama, maka berbeda dengan Profesor Alex
Horten mengatakan bahwa hidup akan lebih baik tanpa agama—Atheisme. Kalau
tidak ada agama, baik itu Islam, Kristen,
Yahudi, Hindu atau Budha dan ribuan kepercayaan
lainnya, dunia akan terasa damai. Sebab manusia sudah otomatis tidak
saling membedakan. Tidak perlu ada masjid, gereja, sinagog, kuil, candi dan
sejenisnya. (hal. 568)
Inilah tantangan yang harus Fahri patahakan,
dia harus menjelaskan bahwa kedua pendapat itu salah. Fahri mengatakan, “Kita
tidak perlu memerkosa agama-agama itu untuk disama-samakan. Tidak perlu. Yang
penting dan perlu, adalah membangun kedewasaan dalam beragama. Para
pemeluk-pemeluk agama harus menghayati ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh,
sereligus-religiusnya dan sedekat-dekatnya mereka dengan Tuhannya, sehingga
jiwa mereka menjadi bersih. Lalu hendaknya mereka bergama secara dewasa! Dari
situ akan tercipta toleransi yang hakiki, toleransi yang anggun.” (hal. 574)
Genre
dan Pesan
Rata-rata buku karya Kang Abik memang bergenre
religi. Karena itus saya sebagai penikmat langsung suka saja. Karena saya yakin
dari buku ini saya akan mendapat banyak ilmu baru. Dan seperti dugaan saya,
seperti pada buku-buku yang digarap dulu, di sini pun bertebaran ilmu yang bisa
diambil manfaatnya. Di antaranya :
“Prinsipnya, jika bisa cepat berkualitas
kenapa harus berlama-lama dan mengulur-ngulur waktu.” (hal. 23)
“Kebencian jangan kita balas dengan
kebencian.” (hal. 34)
“Kita tetangga, harus saling membantu.” (hal.
38)
“Perbuatan yang masih diperselisihkan tidak
boleh diingkari. Yang boleh diingkari adalah perbuatan yang telah disepakati
keharamannya.” (hal. 168)
Pada dasarnya bersahabat itu jauh lebih
membahagiakan daripada terus membenci dan buruk sangka. (hal. 188)
“Terkadang apa yang kita tidak sukai ternyata
baik di mata Allah, dan terkadang apa yang kita sukai tidak baik di mata
Allah.” (hal. 218)
“Islam tertutup oleh umat Islam. Cahaya
keindahan Islam tertutupi oleh perilaku buruk umat Islam. Dan perilaku-perilaku
itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam. Tidak juga bagian dari ajaran Islam. (hal.
388)
“Menasihati orang lain itu mudah, tetapi mengamalkan pada diri
sendiri tidak mudah.” (hal. 401)
“Ada kalanya diam itu baik. Bahkan terbaik.
Diam itu emas. Itu adalah diam di saat yang memang kita harus diam. Dan diam
kita bukan sebuah kemungkaran baru, melainkan sebuah kebaikan. Tapi ada kalanya
diam mengubah kita menjadi setan bisu. Itu adalah di saat seharusnya kita
angkat suara dan bicara demi menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak
benar, tetapi kita diam saja. Saat kita diam saja di kesempatan kita harus
bicara tentang kebenaran, kita telah menjelma setan bisu. Kau harus tahu kapan
saatnya kau diam dan kapan kau harus bicara, bahkan tidak boleh diam sekejap
pun.” (hal. 566)
“Kita tidak perlu memerkosa agama-agama itu
untuk disama-samakan. Tidak perlu. Yang penting dan perlu, adalah membangun
kedewasaan dalam beragama. Para pemeluk-pemeluk agama harus menghayati ajaran
agamanya dengan sungguh-sungguh, sereligus-religiusnya dan sedekat-dekatnya
mereka dengan Tuhannya, sehingga jiwa mereka menjadi bersih. Lalu hendaknya
mereka bergama secara dewasa! Dari situ akan tercipta toleransi yang hakiki,
toleransi yang anggun.” (hal. 574)
Adanya agama adalah untuk menjadi pedoman
hidup bagi manusia. Menjadi aturan,
hukum dan norma bagi kehidupan manusia. (hal. 580)
“Islam mengajakan kita untuk bersikap adil dan
baik kepada siapa saja, apalagi tetangga.” (hal. 688)
Hanya saja dalam novel yang bersih dari tpyo
ini, saya agak terganggung dengan kata sejurus yang hampir di setiap
kalimat selalu ada kata itu.
Lalu pada beberapa kalimat percakapan, ada
kesalahan dalam kata sapaan. Padahal pada percakapan yang lain sapaan itu sudah
sesuai kaidah. Sapaan (mas) yang biasanya ditulis memakai awalan huruf
kapital—Mas. Tapi ini diawali huruf kecil (mas). Seperti yang tertera pada;
- Halaman 73 “Benar, mas. Dan terpaksa, saya kayaknya akan pulang tanpa membawa gelar Ph. D Ekonomi Islam di UK. Mau bagaimana lagi? Saya ini diktiers, mas.”
- Halaman 75; “Pujakesua, mas.”, “Kalau itu sejak dulu, mas.
- Halaman 109,“Apakah yahudi-yahudi yang tadi mengucapkan kata amalek itu juga kelompok ortodoks seperti Goldstein, mas?"
- Halaman 162, “Sudah, mas. Naik Virgin Trains dari Stasiun Waferley Edinburgh jam 10.51 sampai di Stasiun Gwynedd Bangor jam 16.42 seharga 112 Poundsterling, mas.”
- Halaman 166 dan “Mas, kalau dalam fiqih mu’amalah ada baiknya kita juga menyimak dengan saksama Madzhab Hanafi, bukan membatasi pada madzhaf Syafi’i, mas. ...” [dalam kalimat ini juga ada ketidakkonsistenan dalam penulisan madzhab, pertama di tulis diawali kapital yang kedua tidak]
- Halaman 172. “Mau bisnis apa lagi, mas? Bikin cabang Agnina?”
Saya menemukan juga ketidakkonsistenan dalam
pemanggilan Fahri dari Sabina. Sejak awal Sabin selalu memangil Fahri dengan
sebutan Tuan Fahri. Cek di halaman 229 Tapi pada halaman 398 Sabina memanggil Fahri dengan
sebutan Hoca. Dan pada halaman 510 Sabina kembali memanggil Fahri dengan
Tuan.
Lalu pada pertemuan di rumah sakit Sabina
sudah mengatakan dia ilegal pada Fahri. “Saya takut polisi akan datang menangkapku. Saya ilegal
di sini.” (hal. 201) Tapi pada
halaman selanjutnya Fahri malah
kembali bertanya padahal sudah diberi tahu. “Saya tidak tahu Anda di sini legal
atau ilegal.” (hal. 230)
Dalam kalimat ini, “Saya takut polisi akan datang menangkapku. Saya ilegal
di sini.” (hal. 201) ada ketidakkonsistenan
dalam pengucapak aku dan saya.
Ada pada sebuah bab disebutkan Sabina sedang
shalat dalam gubuk di tengah sawah. (hal. 469) Saya rasa jika setting
berada di Edinburgh sedikit tidak sinkron, kecuali setting di Indonesia dengan
hamparan sawah yang luas. Dan saja juga merasa pada alur cerita terkesan lambat.
Ending cerita sejak awal sebenarnya sudah bisa
ditebak, karena clue yang diberikan sangat kentara. Tapi ada twist lain yang memang tidak saya duga, bahwa akan ada kejadian seperti itu. Hal itu membuat saya tidak bisa berhenti membaca, Kang Abik sangat hebat dalam menggiring pembaca
untuk menamatkan bukunya.
Untuk keseluruhan cerita saya sangat terhibur
dan menikmatinya. Kang Abik sangat lihai dalam mengolah cerita. Dari
beberapa buku yang saya baca dari karya Kang Abik, memang selalu kental dengan
unsur agamanya. Dan saya sangat suka. Setelah Ayat-Ayat Cinta dulu, saya juga
membaca novelnya yaitu Ketika Cinta bertasbih, novel ini pun ada dua bagian
juga sudah difilmkan. Lalu saya juga membaca Bumi Cinta dan Api Tauhid.
Kesemuanya ini memiliki kesamaan, bahwa tokoh yang selalu dibuat Kang Abik,
adalah para penuntut ilmu dari indonesia dengan segala kebaikan, taat pada
Allah, penghafal Al-Quran dan memiliki semangat juang tinggi. Juga merupakan para pejuang yang ingin
mengenalkan Islam ke seluruh dunia.
Lepas dari segala kekurangan novel ini, tetap
tidak ada alasan untuk tidak menyelesaikan cerita ini. Perpaduan antara cinta,
kasih sayang, tolong menolong dan perjuangan menegakkan agama Allah. Novel yang
sarat makna ini recomended untuk dibaca. Apalagi bara pembaca yang haus
akan pengetahuan baru tentang Islam yang berhubungan perbandingan antar agama
dan amalek.
Spesifikasi Buku
Judul : Ayat-Ayat Cinta 2
Judul : Ayat-Ayat Cinta 2
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Editor : Syahruddin El-Fikri
Penerbit : Republika Penerbit
Tahun terbit : November 2015
Cetakan : Empat, Desember 2015
Halaman : vi + 690 halaman
ISBN : 978-602-0822-15-0
Makin penasaran nih.
ReplyDelete*ngumpulin recehan
Makasih Mbak sudah berkenan mampir ^^. Recehannya nanti langsung banyak biar bisa beli buku ini
Deletesaya baru mau beli buku ini.. jadi nggak baca dulu resensinya ah.. hehe..
ReplyDeleteOke Mbak Linda, beli dulu baru baca review-nya, eh. Hhehh. Memang buku ini recomended banget. Banyak ilmu yang bisa diserap. ^^
ReplyDeleteAyat-Ayat Cinta 3, 10 tahun lagi juga kah?
ReplyDeleteWah, kalau itu siapa yang tahu ^_^ Nanya Kang Abik hehhhhe
DeleteAyat-Ayat Cinta 3, 10 tahun lagi juga kah?
ReplyDeleteLengkap! Detail sangat, Mbak Ratna. Masih ada typo, dimaklumi. :D Kenapa nggak dikirim ke email media, mbak?
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Leli sudah mampir. Masih ada typo ya, hadeh :3. Soalnya ini kepanjangan kalau di kirim ke media Mbak. hehh
Delete