Wednesday, 10 February 2016

[Resensi] Mengenal Tradisi China Lotus Feet Lewat Novel


Pada zaman dulu di China, ada sebuah tradisi Lotus Feet (kaki seroja). Di mana seorang wanita akan terlihat cantik dan seksi jika kakinya dipatahkan lalu ditekuk, dibebat sehingga muat untuk memakai sepatu kecil. Karena konon, dipercayai semakin kecil kaki seorang wanita, maka semakin cantiklah dia karena cara berjalannya akan seperti bebek berlenggak-lenggok.

Bertajuk dari tradisi kuno di China itu, Wiwid Prasetyo meramu novel ini dengan latar sejarah yang mengharu biru.  Menceritakan  tentang Wu Ying gadis kecil yang pada mulanya hanyalah seorang  rakyat jelata yang harus bekerja keras untuk bisa bertahan hidup dengan ibunya.  Namun kehidupannya berubah ketika suatu hari dia memasuki istana, menjadi calon istri Gubernur Tang.

Wu Ying menyangka ketika dia memasuki istana, kehidupannya akan berubah lebih baik. Namun, ternyata dia salah. Istana adalah sumber awal dari segala penderitaannya. (hal. 38) Dia baru menyadari bahwa segala macam kemewahan itu tidak lagi berguna jika dia tidak memiliki kebebasan.  “Dan seungguhnya harta bukanlah penyebab kebahagiaan. Kebahagiaan itu terletak di hati.” (hal. 57) Apalagi di istana ternyata penuh dengan intrik yang sangat menakutkan. Saling sikut untuk mempertahankan diri.

Di istana, Wu Ying baru mengerti, di balik segala kemewahan yang dimiliki para putri, ternyata mereka menderita, berteriak kesakitan karena harus memakai sepatu kecil. Akan tetapi, mereka tidak punya pilihan selain harus mengikuti adat dan tradisi yang telah turun temurun. Begitupula dengan Wu Ying. Dia mengikuti perintah ritual basuh kaki dari Ibu Suri Seroja, kuku-kukunya dicabut dari akar dagingnya, setelah itu tulang-tulang kakinya dipatahkan dua kali, lalu ditekuk jarinya hingga menempel tumit. Kaki itu kemudian dibebat dengan kain putih yang sangat kuat hingga tekukannya tidak bergeser sedikitpun. Baru setelah itu, sebuah kaus kaki cokelat disematkan di kakinya sebelum nanti akan disempurnakan oleh sepatu kecil berhias bunga seroja. (hal. 69)

Wu Ying sungguh tidak mengerti dengan adat itu. Tradisi yang keseluruhannya hanya ditangai Ibu Suri Seroja. Ketika semua orang berpikir keindahan wanita berasal dari wajah, orang China kuno meganggap keindahan wanita berasala dari cara jalannya yang berlenggang-lenggok. Padahal cara jalan seperti itu berasal dari penderitaan, harus menahan sakit karena kakinya yang mengenakan sepatu kecil dan jari jemarinya ditekuk sampai patah. (hal. 75)

Wu Ying sungguh tidak tahan dengan keadaan itu. Dia ingin pergi jauh dari penderitaan yang ada di istana. Untungnya ada seorang pemuda yang telah jatuh cinta padanya, yang siap melakukan apapun untuk dirinya. Namun bisakah pemuda itu menerobos kokohnya istana?

Sebuah novel sejarah yang menggiris jiwa. Betapa pandangan kecantikan yang aneh pada zaman kuno itu, telah membuat para wanita menderita. Namun para pembesar tidak melakukan apapun untuk menghilangkan penderitaan itu. Tapi malah menghukum bagi siapa saja yang menolak tradisi itu. Untungnya  setelah pergantian dinasti  hingga revolusi Mau Tse Tung, tradisi itu akhirnya dilarang, karena menyakiti wanita dan tidak sesuai dengan asas keadilan dan persamaan, bahkan mencederai hak asasi manusia. (hal. 293) Sehingga wanita China tidak harus menderita lagi.

Selain membahas tentang sejarah, novel ini juga menggambarkan tentang sindiran pada gubernur. “Aku memang gubernur, tetapi aku tidak berdiri sendiri. Di belakangku ada sekian pasal peraturan istana yang harus kutaati.” (hal. 145) Dalam kutipan ini menyiratkan bahwa, meski dia seorang gubernur, dia tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi malah diatur oleh para menterinya. Dia menjadi boneka Ibu Suri. Apa yang diputuskan bukan untuk kesejahteraan rakyat, namun hanya untuk kepentingan istana.

Dikemas dengan bahasa yang renyah sehingga asyik untuk dinikmati. Banyak kata-kata yang bisa dipetik pelajaran dari kisah yang dipaparkan dalam novel ini. Lalu Twist ending yang tidak terduga, mengokohkan kelihaian penulisnya dalam mengemas cerita. Hanya saja masih ada beberapa kesalahan kepenulisan. Lepas dari kekurangan yang ada, novel ini recomended untuk dibaca. 


Spesifisikasi Buku


Judul               : Lotus Feet Girl
Penulis             : Wiwid Prasetyo
Editor              : Cahyadi H. Prabowo
Penerbit           : Metamind, Creative Imprint of Tiga Serangkai
Cetakan           : Pertama, Februari 2015
Halaman          : viii + 296 halaman

ISBN               : 978-602-72097-1-8
[Ratnani Latifah, Penikmat buku dan literasi, tinggal di Jepara]

[Dimuat di Radar Sampit. Edisi, Minggu, 7 Februari 2016]

3 comments: