Pada zaman dulu di China, ada sebuah tradisi Lotus
Feet (kaki seroja). Di mana seorang wanita akan terlihat cantik dan
seksi jika kakinya dipatahkan lalu ditekuk, dibebat sehingga muat untuk memakai
sepatu kecil. Karena konon, dipercayai semakin kecil kaki seorang wanita, maka
semakin cantiklah dia karena cara berjalannya akan seperti bebek
berlenggak-lenggok.
Bertajuk dari tradisi kuno di China itu, Wiwid
Prasetyo meramu novel ini dengan latar sejarah yang mengharu biru. Menceritakan
tentang Wu Ying gadis kecil yang pada mulanya hanyalah seorang rakyat jelata yang harus bekerja keras untuk
bisa bertahan hidup dengan ibunya. Namun
kehidupannya berubah ketika suatu hari dia memasuki istana, menjadi calon istri
Gubernur Tang.
Wu Ying menyangka ketika dia memasuki istana,
kehidupannya akan berubah lebih baik. Namun, ternyata dia salah. Istana adalah
sumber awal dari segala penderitaannya. (hal. 38) Dia baru menyadari bahwa
segala macam kemewahan itu tidak lagi berguna jika dia tidak memiliki
kebebasan. “Dan seungguhnya harta
bukanlah penyebab kebahagiaan. Kebahagiaan itu terletak di hati.” (hal. 57)
Apalagi di istana ternyata penuh dengan intrik yang sangat menakutkan. Saling
sikut untuk mempertahankan diri.
Di istana, Wu Ying baru mengerti, di balik
segala kemewahan yang dimiliki para putri, ternyata mereka menderita, berteriak
kesakitan karena harus memakai sepatu kecil. Akan tetapi, mereka tidak punya
pilihan selain harus mengikuti adat dan tradisi yang telah turun temurun.
Begitupula dengan Wu Ying. Dia mengikuti perintah ritual basuh kaki dari Ibu
Suri Seroja, kuku-kukunya dicabut dari akar dagingnya, setelah itu
tulang-tulang kakinya dipatahkan dua kali, lalu ditekuk jarinya hingga menempel
tumit. Kaki itu kemudian dibebat dengan kain putih yang sangat kuat hingga
tekukannya tidak bergeser sedikitpun. Baru setelah itu, sebuah kaus kaki
cokelat disematkan di kakinya sebelum nanti akan disempurnakan oleh sepatu
kecil berhias bunga seroja. (hal. 69)
Wu Ying sungguh tidak mengerti dengan adat itu.
Tradisi yang keseluruhannya hanya ditangai Ibu Suri Seroja. Ketika semua orang
berpikir keindahan wanita berasal dari wajah, orang China kuno meganggap
keindahan wanita berasala dari cara jalannya yang berlenggang-lenggok. Padahal
cara jalan seperti itu berasal dari penderitaan, harus menahan sakit karena
kakinya yang mengenakan sepatu kecil dan jari jemarinya ditekuk sampai patah.
(hal. 75)
Wu Ying sungguh tidak tahan dengan keadaan
itu. Dia ingin pergi jauh dari penderitaan yang ada di istana. Untungnya ada
seorang pemuda yang telah jatuh cinta padanya, yang siap melakukan apapun untuk
dirinya. Namun bisakah pemuda itu menerobos kokohnya istana?
Sebuah novel sejarah yang menggiris jiwa.
Betapa pandangan kecantikan yang aneh pada zaman kuno itu, telah membuat para
wanita menderita. Namun para pembesar tidak melakukan apapun untuk
menghilangkan penderitaan itu. Tapi malah menghukum bagi siapa saja yang
menolak tradisi itu. Untungnya setelah
pergantian dinasti hingga revolusi Mau
Tse Tung, tradisi itu akhirnya dilarang, karena menyakiti wanita dan tidak
sesuai dengan asas keadilan dan persamaan, bahkan mencederai hak asasi manusia.
(hal. 293) Sehingga wanita China tidak harus menderita lagi.
Selain membahas tentang sejarah, novel ini juga
menggambarkan tentang sindiran pada gubernur. “Aku memang gubernur, tetapi
aku tidak berdiri sendiri. Di belakangku ada sekian pasal peraturan istana yang
harus kutaati.” (hal. 145) Dalam kutipan ini menyiratkan bahwa, meski dia
seorang gubernur, dia tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Tapi malah diatur
oleh para menterinya. Dia menjadi boneka Ibu Suri. Apa yang diputuskan bukan
untuk kesejahteraan rakyat, namun hanya untuk kepentingan istana.
Dikemas dengan bahasa yang renyah sehingga
asyik untuk dinikmati. Banyak kata-kata yang bisa dipetik pelajaran dari kisah
yang dipaparkan dalam novel ini. Lalu Twist ending yang tidak terduga,
mengokohkan kelihaian penulisnya dalam mengemas cerita. Hanya saja masih ada
beberapa kesalahan kepenulisan. Lepas dari kekurangan yang ada, novel ini recomended
untuk dibaca.
Spesifisikasi Buku
Spesifisikasi Buku
Judul : Lotus Feet Girl
Penulis : Wiwid Prasetyo
Editor : Cahyadi H. Prabowo
Penerbit : Metamind, Creative Imprint of Tiga Serangkai
Cetakan : Pertama, Februari 2015
Halaman : viii + 296 halaman
ISBN : 978-602-72097-1-8
[Ratnani Latifah, Penikmat buku dan literasi, tinggal di Jepara]
[Dimuat di Radar Sampit. Edisi, Minggu, 7 Februari 2016]
hwahhh bagus bagus inih mbak ceritanya hhee
ReplyDeleteIya cerita berlatar belakang tarisi China kuno ^^
DeleteIya cerita berlatar belakang tarisi China kuno ^^
Delete