Dimuat di Kabar Madura, Jumat 11 Mei 2018
Judul : Hatta : Aku Datang Karena
Sejarah
Penulis : Sergius Susanto
Penerbit : Qanita
Cetakan : Pertama, Januari 2018
Tebal : 364 halaman
ISBN : 978-602-402-096-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Univeritas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“..., setelah DPR yang dipilih rakyat mulai bekerja
dan konstituante menurut pilihan rakyat sudah tersusun, sudah tiba waktunya
bagi saya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Segera, sesudah
konstituante dilantik, saya akan meletakkan
jabatan itu secara resemi.” (hal 13).
Dibuka dengan prolog yang menarik, buku yang
membahas tentang kehidupan salah satu proklamator Indonesia—Mohammad Hatta,
buku ini sangat patut dibaca bagi semua kalangan. Sergius Susanto menghidupkan
kisah perjalanan kehidupan Hatta lewat jalinan
kata yang lugas, renyah dan
aktual. Kita diajak mengenal lebih dekat sosok yang kerap disebut sebagai Gandhi
of Indonesia, karena gaya berpolitik Hatta itu selalu mengedepankan perdamaian.
“Penderitaan seharusnya membukakan mata pada makna
kemanusiaan. Tapi mengapa orang-orang istana justru gemar menciptakan kesakitan
pada rakyat banyak?” (hal 23).
Sedari awal terjun dalam organisasi politik, Hatta
sudah siap dengan berbagai konsekuensi yang akan dia dapat. Termasuk ketika dia
dijebloskan di penjara Belanda. Lalu tidak berselang lama, dia dibuang di
Digul, Banda Niera, Penjara Glodok hingga Pulau Bangka. Namun semua perlakuan
jahat yang dilakukan Belanda, tidak membuat semangat juang Hatta surut. Dia
malah semakin terpacu untuk melakukan pergerakan.
Bersama Syahrir, Hatta bahkan membangun sebuah
organisasi yang diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia—PNI yang bertujuan mengumpulkan kekuatan
baru lewat pikiran dan mental
anggotanya. Dia yakin dengan pendidikan akan mampu membukakan mata hati
terhadap banyak aspek dalam kehidupan ini (hal 163).
“Rakyat kita
tertalu lama ‘dididik’ tentang cita-cita umum dan dendang persatuan. Cara didik
yang keliru mengajarkan asas mana yang harus dipakai. Karenanya, kita wajib
memajukan pendidikan baru dengan asas yang terang.”
(hal 214).
Pandangan ini sangat berbeda dengan Soekarno yang lebih mengedepankan pada
mobilisasi masa. Namun begitu, karena
memiliki tujuan yang sama untuk lepas dari penjajah, mereka pun saling bahu
membahu dalam pergerakan. Hingga akhirnya mereka berdiri bersama untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Mereka pun kemudian ditunjuk sebagai
presiden—Soekarno dan wakil presiden—Mohammad Hatta.
Hanya saja, setelah menjabat sebagai wakil presiden selama sebelas
tahun, tiba-tiba Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan
tersebut. Dia memilih menjadi rakyat biasa. Dia sudah tidak kuasa lagi melihat
berbagai penyelewengan wewenang di istana.
“Kita selalu menggembar-gemborkan, bahwa negara kita
berdasarkan pancasila, tetapi di mana keadilan, perikemanusiaan dan demokrasi
yang sebenarnya. Apa yang terjadi? Di
masa lalu orang-orang pergerakan berjuang untuk mematahkan penindasan dan
kezaliman kolonial Belanda. Kini, pemerintah yang merdeka justru mengunci ranah
kekebesan rakyatnya. Adakah demokrasi, kalau orang merasa takut, harus tutup
mulut, kritik tidak diperbolehkan, sehingga berbagai hal yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan berlaku leluasa?” (hal 296).
Membaca buku ini seperti memasuki langsung masa
lalu, tentang perjalanan Bung Hatta selama masa pergerakan. Semangat juang Bung
Hatta nampak jelas terpancar melalui kisah ini. Dialah sosok pahlawan yang
bersahaja, adil, peduli dengan
pendidikan rakyatnya juga menghargai kedamaian.
Buku ini secara tidak langung menjawab berbagai rasa
penasaran saya tentang kehidupan Bung Hatta, yang memang dalam berbagai
literatur jarang dibahas. Bahkan dalam buku materi sejarah. Berbanding terbalik
dengan Soeharto yang mana sudah sangat banyak buku yang membahas kisah hidup,
perjuangan juga pemikiran dari berbagai sisi.
Secara keseluruhan buku ini memang sangat asyik
dinikmati. Bahasa renyah dan tidak sukar dipahami. Hanya saja saya merasa ada
bagian yang tidak runtut, bahkan terkesan loncat-loncat, sehingga membuat saya
cukup kaget dengan pergantian lokasi atau cerita yang tiba-tiba. Namun lepas
dari kekurangannya buku ini tetap rekomendasi untuk dibaca.
Melalui kisah ini, kita dapat meneladi sikap hidup
Bung Hatta yang sangat menginsprisai. Kita diajak menjadi pribadi yang tidak
mudah putus asa, juga gemar membaca. Kita juga diajak untuk bersatu dan
berjuang bersama untuk mencapai satu tujuan.
“Karena itu,
setiap perpecahan, dalam bentuk apa pun, sangat ditentang. Hanya melalui persatuan
putra-putra Indonesia kita dapat mencapai tujuan.”
(213).
Srobyong, 8 Maret 2018
No comments:
Post a Comment