Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 27 April 2018
Judul : Laut Bercerita
Penulis : Leila S. Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : x + 379 halaman
ISBN : 978-602-424-694-5
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Tragedi penculikan yang terjadi pada para aktivis di
1998, sampai saat ini masih menyimpan banyak kedukaan dan misteri. Khususnya
bagi para keluarga korban penculikan. Karena sebagaimana fakta yang ada, dalam
penculikan itu ada 1 korban meninggal, 9 korban dikembalikan dan 13 korban
lainnya yang tidak diketahui nasibnya sampai sekarang.
Mengambil latar kisah tersebut, Leila S. Chudori
mampu membuat kita seperti melihat visualisasi kejadian yang benar-benar
terjadi di masa itu. Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh dalang
penculikan itu, sungguh membuat kita miris.
Selain itu melalui buku ini kita juga dihadapkan tentang bagaimana
keadaan keluarga korban, yang harus merasakan kepedihan yang tidak kalah menggetirkan.
Tidak ada kepastian keadaan korban, tidak ada makam dan pencarian yang sia-sia.
Novel ini sendiri berkisah tentang Biru Laut yang
berbagung dan aktif dalam organisasi Winarta dan Wirasena. Bersama teman-teman
seperjuangannya; Sunu, Daniel, Alex, Dana, Widi, Naratama, Gusti, Kinan, Bram,
Gala, Julius, Narendra, Coki dan banyak lagi, dia mengecam kepemimpinan di orde baru karena
sangat diktator. Di mana berbagai
kekejaman terjadi membuat rakyat makin sengsara. Pemerintah melarang beredarnya
buku-buku, majalah dan surat kabar yang berani mengkritisi pemerintahan atau
berhaluan kiri untuk diterbitkan. Untuk itulah mereka berjuang untuk
mendapatkan kembali, hak berserikat,
berkumpul dan berpendapat dibatasi bahkan dirampas secara paksa.
Dimulai dari kegiatan berkumpul dan diskusi, mereka
kemudian melakukan aksi pemberontakan di Blanguan. Akan tetapi ternyata
kegiatan mereka terciduk olen intel, hingga mereka kemudian diburu dan
disiksa. Di tahun 1996 sendiri,
organisasi Winarta dan Wirasena dianggap sebagai organisasi terlarang. Namun
begitu, mereka tidak gentar dan terus melanjutkan perjuangan.
“Kita tak ingin selama-lamanya berada di bawah
pemerintahan satu orang selama puluhan tahun. Hanya di negara diktatorial satu
orang bisa memerintah begitu lama ...seluruh Indonesia dianggap milik keluarga
dan kroninya. Mungkin kita hanya nyamuk-nyamuk pengganggu bagi mereka. Kerikil
dalam sepatu mereka. Tapi aku tahu satu hal : kita harus mengguncang mereka. Kita
harus mengguncang masyarakat yang pasif, malas dan putus asa agar mereka ikut
memperbaiki negeri yang sungguh korup dan berantakan ini, yang sangat tidak
menghargai kemanusiaan ini.” (hal 182).
Namun pergerakan mereka mulai pudar, ketika satu
persatu anggota Winarta dan Wirasena pada bulan Maret diculik dan dikurung di
bawah tanah. Setiap hari mereka diinterogasi agar mau membuka mulut tentang
siapa dalang di balik gerakan mereka. Jika tidak mau menjawab atau memberi
jawaban salah, mereka harus merasakan berbagai siksaan. Dari diinjak, dipukul,
ditendang, disundut, diikat terbalik,
distreum, digantung hingga diletakkan di atas balok es dan direndam
dalam bak (hal 254).
Meski begitu kekejaman mereka tidak membuat para
aktivis takut.“Jangan sampai kita tenggelam pada kekelaman. Kelam adalah
lambang kepahitan, keputus-asaan, dan rasa sia-sia. Jangan pernah membiarkan
kekelaman menguasai kita, apalagi menguasai Indonesia.” (hal 225).
Selain membahas penculikan para aktivis, penulis
juga memaparkan tentang bagaimana kondisi keluarga korban aktivis yang diculik.
Mereka harus merasakan kesedihan yang berkepanjangan tanpa kepastian tentang
keadaan anak atau suadaranya dan pencarian yang tidak pernah berujung.
Bersama Aswin, Asmara Jati—adik Laut, membangun
Komisi Orang Hilang (hal 245). Mereka
mencoba mengingatkan pemerintah untuk sadar dan bertanggungjawab dengan
kejadian itu. Salah satunya melakukan
aksi kamisan di depan Istana Negara. Novel ini adalah potret kekejaman yang
pernah terjadi di Indonesia. Tentang perjuangan para aktivis yang ingin
membebaskan Indonesia dari kekejaman pemerintah diktator untuk menjadi negera
demokrasi. Juga usaha untuk memperjuangakan hak asasi manusia—baik untuk
berpendapat, berkumpul dan berserikat.
Sebuah buku yang sangat menarik dan patut
diapresiasi. Meski ada beberapa bagian yang kurang konsisten dalam penggunaan
kata sapaan (hal 220), serta penulisan
aku dan saya (hal 274), novel yang
memakai alur maju mundur ini sangat menarik untuk diikuti. Buku ini menyadarkan kita tentang pentingnya
perjuangan dan tidak mudah putus asa, serta sabar dan tabah dalam menghadapi
berbagai cobaan.
Srobyong, 2 April 2018
No comments:
Post a Comment