Monday, 14 May 2018

[Resensi] Penculikan Para Aktivis Pada Tragedi 1998

Dimuat di Harian Bhirawa, Jumat 27 April 2018 



Judul                : Laut Bercerita
Penulis              : Leila S. Chudori
Penerbit            : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan           : Pertama, Oktober 2017
Tebal                : x + 379 halaman
ISBN               : 978-602-424-694-5
Peresensi          : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Tragedi penculikan yang terjadi pada para aktivis di 1998, sampai saat ini masih menyimpan banyak kedukaan dan misteri. Khususnya bagi para keluarga korban penculikan. Karena sebagaimana fakta yang ada, dalam penculikan itu ada 1 korban meninggal, 9 korban dikembalikan dan 13 korban lainnya yang tidak diketahui nasibnya sampai sekarang. 

Mengambil latar kisah tersebut, Leila S. Chudori mampu membuat kita seperti melihat visualisasi kejadian yang benar-benar terjadi di masa itu. Kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh dalang penculikan itu, sungguh membuat kita miris.  Selain itu melalui buku ini kita juga dihadapkan tentang bagaimana keadaan keluarga korban, yang harus merasakan kepedihan yang tidak kalah menggetirkan. Tidak ada kepastian keadaan korban, tidak ada makam dan pencarian yang sia-sia.

Novel ini sendiri berkisah tentang Biru Laut yang berbagung dan aktif dalam organisasi Winarta dan Wirasena. Bersama teman-teman seperjuangannya; Sunu, Daniel, Alex, Dana, Widi, Naratama, Gusti, Kinan, Bram, Gala, Julius, Narendra, Coki dan banyak lagi, dia  mengecam kepemimpinan di orde baru karena sangat diktator.  Di mana berbagai kekejaman terjadi membuat rakyat makin sengsara. Pemerintah melarang beredarnya buku-buku, majalah dan surat kabar yang berani mengkritisi pemerintahan atau berhaluan  kiri untuk diterbitkan.  Untuk itulah mereka berjuang untuk mendapatkan kembali,  hak berserikat, berkumpul dan berpendapat dibatasi bahkan dirampas secara paksa. 

Dimulai dari kegiatan berkumpul dan diskusi, mereka kemudian melakukan aksi pemberontakan di Blanguan. Akan tetapi ternyata kegiatan mereka terciduk olen intel, hingga mereka kemudian diburu dan disiksa.  Di tahun 1996 sendiri, organisasi Winarta dan Wirasena dianggap sebagai organisasi terlarang. Namun begitu, mereka tidak gentar dan terus melanjutkan perjuangan.

“Kita tak ingin selama-lamanya berada di bawah pemerintahan satu orang selama puluhan tahun. Hanya di negara diktatorial satu orang bisa memerintah begitu lama ...seluruh Indonesia dianggap milik keluarga dan kroninya. Mungkin kita hanya nyamuk-nyamuk pengganggu bagi mereka. Kerikil dalam sepatu mereka. Tapi aku tahu satu hal : kita harus mengguncang mereka. Kita harus mengguncang masyarakat yang pasif, malas dan putus asa agar mereka ikut memperbaiki negeri yang sungguh korup dan berantakan ini, yang sangat tidak menghargai kemanusiaan ini.” (hal 182).

Namun pergerakan mereka mulai pudar, ketika satu persatu anggota Winarta dan Wirasena pada bulan Maret diculik dan dikurung di bawah tanah. Setiap hari mereka diinterogasi agar mau membuka mulut tentang siapa dalang di balik gerakan mereka. Jika tidak mau menjawab atau memberi jawaban salah, mereka harus merasakan berbagai siksaan. Dari diinjak, dipukul, ditendang, disundut, diikat terbalik,  distreum, digantung hingga diletakkan di atas balok es dan direndam dalam bak (hal 254).

Meski begitu kekejaman mereka tidak membuat para aktivis takut.“Jangan sampai kita tenggelam pada kekelaman. Kelam adalah lambang kepahitan, keputus-asaan, dan rasa sia-sia. Jangan pernah membiarkan kekelaman menguasai kita, apalagi menguasai Indonesia.” (hal 225).

Selain membahas penculikan para aktivis, penulis juga memaparkan tentang bagaimana kondisi keluarga korban aktivis yang diculik. Mereka harus merasakan kesedihan yang berkepanjangan tanpa kepastian tentang keadaan anak atau suadaranya dan pencarian yang tidak pernah berujung.

Bersama Aswin, Asmara Jati—adik Laut, membangun Komisi Orang Hilang (hal 245). Mereka  mencoba mengingatkan pemerintah untuk sadar dan bertanggungjawab dengan kejadian itu. Salah satunya  melakukan aksi kamisan di depan Istana Negara. Novel ini adalah potret kekejaman yang pernah terjadi di Indonesia. Tentang perjuangan para aktivis yang ingin membebaskan Indonesia dari kekejaman pemerintah diktator untuk menjadi negera demokrasi. Juga usaha untuk memperjuangakan hak asasi manusia—baik untuk berpendapat, berkumpul dan berserikat.

Sebuah buku yang sangat menarik dan patut diapresiasi. Meski ada beberapa bagian yang kurang konsisten dalam penggunaan kata sapaan (hal 220),  serta penulisan aku dan saya (hal  274), novel yang memakai alur maju mundur ini sangat menarik untuk diikuti.  Buku ini menyadarkan kita tentang pentingnya perjuangan dan tidak mudah putus asa, serta sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai cobaan.

Srobyong, 2 April 2018 

No comments:

Post a Comment