Dimuat di Lampung Post, 6 Mei 2018
Ratnani
Latifah
Hari
ini di sekolah Talita ada pelatihan menulis untuk anak sekolah dasar. Talita
yang memang sudah sejak dulu suka menulis, langsung semangat dengan adanya
pelatihan tersebut. Dengan saksama dia memerhatikan apa saja yang perlu
dilakukan jika ingin menulis sebuah cerita, juga bagaimana cara mengirimkannya
ke koran. Talita juga tidak lupa
mencatat hal-hal yang dia rasa penting.
Talita
memang baru kelas enam sekolah dasar, tapi karena sejak kecil, dia sudah terbiasa
dibelikan orantuanya berbagai macam buku cerita, Talita jadi mulai tertarik untuk membuat cerita sendiri.
Dia memiliki mimpi, semoga suatu hari tulisannya bisa dimuat di koran atau di majalah
kesukaannya.
Sesampainya
di rumah, setelah berganti pakaian, makan dan shalat, Talita mencoba mempraktikan apa yang dia
pelajari tadi. Dia duduk di kursi belajarnya dan mulai menulis.
“Duch
... kok sulit banget, sih.” Keluh Talita
setelah setengah jam berusaha menulis, tapi belum ada satu pun kalimat yang dia
tulis.
Dia
menatap kertasnya yang kosong. Entah kenapa idenya tiba-tiba buntu. Padahal
tadi setelah kelas pelatihan, Talita sudah menemukan banyak ide di kepalanya.
Akhirnya,
Talita memutuskan untuk istirahat dulu. Dia memilih membaca majalah bobo yang
baru dia beli. Dia mau belajar cara menulis yang baik dan disukai redaktur
majalah.
Malam
harinya, setelah belajar, Talita kembali mencoba menulis. Dan kali ini dia
berhasil menulis dua cerita.
“Asyik
... akhirnya berhasil.” Talita berucap dengan girang.
Talita
langsung semangat untuk menyalin tulisan itu ke komputer. Dia akan mengirim tulisannya itu pada salah
satu koran.
“Semoga
kali ini cerpenku dimuat.” Doa Talita sungguh-sungguh.
Selama
ini, Talita memang sangat rajin menulis cerita dan dikirim ke berbagai koran,
tapi ternyata belum ada satu pun naskahnya yang berhasil tayang. Meski begitu, Talita belum menyerah juga. Setiap
hari jika ada waktu, Talita pasti akan menulis atau membaca.
Seperti
pagi ini, ketika jam pelajaran Matematika kosong, Talita memanfaatkan waktunya
dengan menulis.
“Kamu
serius ingin jadi penulis?” tanya Luluk teman satu bangku Talita di sekolah.
“Tentu
saja. Kalau tidak mana mungkin aku ikut pelatihan kemarin?” ucap Talita dengan
tersenyum.
“Kamu
keren, Ta. Masih kecil kamu sudah punya mimpi.” Luluk mengacungkan ibu jarinya.
“Trus
bagaimana? Sudah ada tulisan kamu yang dimuat di koran?” Luluk penasaran.
Selama ini Talita memang sering bercerita padanya. Luluk juga sering membaca
cerita-cerita buatan Talita.
“Belum
ada.” Talita menggeleng lemah.
“Sepertinya tulisanku belum terlalu bagus.” Lanjut Talita.
“Siapa
bilang tulisan kamu jelek? Aku baca tulisanmu bagu-bagus, Ta. Aku saja tidak
bisa menulis seperti itu.”
“Kamu
harus semangat terus, Ta. Aku yakin kamu bisa. Kamu harus seperti laba-laba,
Ta.”
“Laba-laba?”
Talita mengerutkan dahinya.
“Kenapa
harus seperti laba-laba?” Talita sungguh bingung dengan perumpaan sahabatnya
itu.
Bukannya
menjawab Luluk malah tertawa, membuat Talita semakin bingung.
“Nggak
seru ah, kalau aku jawab. Itu buat pr kamu saja, Ta.” Luluk tertawa semakin
lebar.
“Coba kamu amati laba-laba. Nanti kamu pasti
paham.” Luluk tersenyum jahil.
“Dan siapa tahu, malah bisa jadi
ide kamu untuk menulis cerita.” Lanjut Luluk.
Penasaran dengan apa yang dikatakan
Luluk, Talita pun mulai memerhatikan laba-laba, bahkan ketika dia sampai di
rumah.
Kenapa dia harus
seperti laba-laba? Talita terus bertanya dalam hati.
Talita duduk di meja belajarnya
bersiap untuk belajar, sebelum menulis cerita. Saat sedang asyik berpikir
itulah, tiba-tiba dia mendengar suara keluhan ibunya.
“Aduh ... laba-laba ini tidak ada
lelahnya, ya? Sepertinya baru kemarin dibersihkan, tapi dia sudah membangun
rumah baru.”
Seketinya itu Talita langsung
tertawa. Sekarang dia paham kenapa Luluk berkata seperti itu.
“Laba-laba itu memiliki sifat tidak
mudah menyerah. Meski rumahnya dirusak berkali-kali, tapi laba-laba kembali
merajut rumahnya lagi dan lagi.” Gumam
Talita.
“Dan aku harus terus menulis lagi
dan lagi, meski gagal dan belum diterbitkan di koran.” Talita tersenyum.
Tiba-tiba dia mendapat ide baru
untuk tulisannya. “Terima kasih Luluk.”
Gadis berkepang itu, segera mengetik naskahnya.
Tapi baru beberapa paragraf, dia
mendengar suara ibunya memanggil, meminta dia ke ruang depan.
“Wah ... selamat, Sayang. Kamu
hebat sekali.”
Ibunya menyodorkan sebuah paket
yang baru datang pos, yang ternyata berisi majalah anak, yang di sana tertera
sebuah cerita karya Talita AN berjudul “Boneka dari Ibu”.
Srobyong, 10 Maret 2018
No comments:
Post a Comment