(Dokumen pribadi)
“Merangkai kata, agar semua momen yang pernah terhadi, tetap terpatri
tak hilang digulung waktu.”
Bermula dari
kemenangan saya yang tidak terduga—di mana saya menjadi salah satu pemenang
lomba meresensi buku karya Tere Liye “Matahari” yang diadakan Gramedia sekitar
akhir bulan di tahun 2016, Maka
kesempatan menjejakkan langkah di kota lumpia terbuka lebar.
Sungguh ...
awalnya saya tidak menduga akan terpilih menjadi salah satu pemenang. Mengingat
lomba resensi ini, saya yakin akan banyak pesaingnya. Dan ketika saya intip
beberapa resensi yang dilombakan, semua tulisannya sangat bagus-bagus.
Tapi hari itu—tepatnya
22 November 2016, ketika hasil lomba diumumukan, dan membaca nama saya ada di
sana, rasanya ... wow, hati ini seperti mau meledan. Antara percaya dan tidak
percaya, juga rasa syukur karena kerunia Allah. Hei ... saya ini masih unyu
banget dalam masalah resensi, masih belajar. Jadi ketika menyabet juara kedua
itu sesuatu banget. Apalagi yang mengadakan adalah penerbit besar macam
Gramedia. Maka tidak ada yang lebih
patut saya lakukan selain syukur kepada Allah, bukan? Kala itu hadiah yang akan
saya dapat adalah voucher gramedia sebesar Rp 750.000,- dan paket novel GPU.
Nah, sebagai
seorang yang gila buku, pastinya hadiah itu sangat menggiurkan bukan? Begitu pula
dengan saya. Saya
sangat tidak sabar untuk menghabiskan voucher tersebut. J
Tapi masalahnya
adalah, fakta sedih yang harus saya terima, bahwa di Jepara memang masih belum ada Gramedia. Jika ingin memakai voucher, maka sudah barang
pasti saya harus ke ibu kota Jawa Tengah, biar voucher tidak hangus percuma.
Maka saya pun
mengajak adik saya—Al Ghazali dan siap berburu buku bersama. Kami berangkat
pagi dengan bersepeda motor, mengarungi jalan berdebu dari Mlonggo ke Semarang.
Lelah tentu saja. Tapi harga itu rasanya terbayar ketika kami sudah sampai di
lokasi tujuan dan bisa memanjakan mata, mengambil buku-buku yang kami taksir.
Berhubung sudah
di Semarang, maka sekalian saja kami meluangkan sedikit waktu untuk menapaki
keindahan kota ini.
Kami pun
memutuskan mengunjungi “Lawang Sewu” setelah seharian berkeliling di Gramedia
mencari buku. Tahu dong, kalau lawang sewu adalah bangunan tua yang sudah
berdiri sejak zaman Belanda. Dan dulu merupakan gedung Nederlands-Indische Spoorweg
Maatschappij atau NIS. Dan setelah merdeka gedung ini dibuat sebagai kantor Djawatan
Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Dan
konon katanya, lawang sewu itu memiliki aura mistis yang kuat. Bahkan lawang sewu termasuk salah satu
tempat terhoror se-Asia.
[Dokumen pribadi]
Tapi, berhubung
kami datangnya siang, tentu saja rasa horor yang sering saya dengar tidak
begitu terasa. Tapi tidak masalah, karena di sana, tetap menyimpan keindahan
ruang, yang pastinya bisa buat diabadikan juga buat foto narsis. Eh xixii :D
[Dokumen pribadi] |
Bagaimana tidak, bangunan yang memiliki banyak pintu dan jendela ini sangat artistik. Nggak rugi jika bertandang ke sini. Tapi selain itu, di sana kita juga bisa belajar tentang sejarah kereta api.
[Dokumen pribadi]
Selanjutnya setelah
dari Lawang Sewu, kami langsug lanjut ke Klenteng Sam Po Kong. Konon katanya
tempat ini adalah petilasan dari Laksamana Ceng Ho. Bangunan ini ternyata menyimpan
kolaborasi unsur China dan Islam. Karena Laksamana Ceng Ho, dikabarkan sudah
memeluk Islam ketika sampai di Semarang.
[Dokumen pribadi]
[Dokumen pribadi] |
Sayangnya di
sini, saya hanya sebentar, karena memburu waktu pulang. Mengingat hari sudah
semakin sore. Sedang saya harus segera balik ke Jepara, agar tidak sampai
ke-malaman. Yah ... semoga di lain waktu
bisa kembali bertandang ke sini dan lebih dalam mengulik tempat bersejarah ini.
[Dokumen pribadi]
Srobyong, 1 Mei
2018
wah hebat ya jadi pemenang resensi novel matahari..
ReplyDeletehadiahnya bisa jalan-jalan . foto-fotonya keren banget.
Alhamdulillah Mbak, terima kasih. Kebetulan terpilih.
DeleteYah lumayan, sambil mencairkan voucher, jadi jalan-jalan juga :)