Wednesday 16 August 2017

[Resensi] Pengaruh Kesalahan Orangtua dalam Mendidikan Anak

Dimuat di Jateng Pos, Minggu 13 Agustus


Judul               : Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan
Penulis             : Ajeng Maharani
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : Pertama, Mei 2017
Tebal               : 161 halaman
ISBN               : 978-602-391-352-7
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Kumpulan cerpen ini sedikit banyak memuat tentang pengaruh kesalahan orangtua dalam mendidik anak. Sehingga anak tumbuh menjadi sosok yang memiliki cara pandang yang salah. Kadang yang lebih parah adakalanya anak itu  menjalani hidup secara menyimpang.  Buku ini terdiri dari 17 cerita yang mengemas tentang luka, kesedihan, rasa putus asa dan tragedi-tragedi yang kerap terjadi dalam diri dan kehidupan manusia. Di sini dengan lihai penulis mengeksekusi cerita, sehingga kisah-kisah yang ditawarkan terasa menarik dan memikat.

Misalnya saja dalam kisah berjudul “Dongeng tentang Ibu dan Seekor Laba-laba di Kamar Mandi”  Mengisahkan tentang seorang anak yang setiap hari melihat pertengkaran kedua orangtuanya.  Ibunya bilang kalau ayahnya sudah tidak mengingat lagi arti keluarga. Ayahnya sudah tidak menyayangi mereka. Si anak tentu saja percaya. Apalagi ayahnya juga kerap memarahinya jika dia berani bertanya ini-itu. 

Suatu hari ibunya bersembunyi dalam kamar. Namun sejak hari ibunya tidak pernah muncul lagi. Apa yang muncul kemudian hanyalah seekor laba-laba. Hal inilah yang kemudian membuat si anak berasumsi kalau ibunya telah berubah menjadi laba-laba, karena perbuatan ayahnya.

Kisah lainnya, “Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan”  cerpen ini dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan  yang akan membuat pembaca mengernyitkan dahi juga menumbuhkan rasa tertarik. “Apa benar Ibu ada di bulan, Ayah?”  “Kapan  Tuhan  akan mengirimkan kereta  uapnya  untukku?” (hal 17-19).   Di sini penulis mengisahkan tentang seorang anak yang  ingin menemui ibunya yang telah meninggal. Namun karena suatu alasan, sang ayah tidak jujur dan tidak pernah mengungkapkan kenyataan tentang kepergian si ibu. Hal ini-lah yang kemudian membuat anak memiliki dogma yang salah.  Dan dia tumbuh menjadi perempuan yang terus terjebak pada kesalahan di masa lalu.

Tidak kalah menarik adalah cerpen berjudul “Maysa Rindu Menyusu Pada Batu” mengisahkan tentang Maysa, gadis kecil yang memiliki keyakinan kalau ibu kandungnya adalah batu. Karena itulah yang mamanya katakan, setiap kali mamanya marah.  “Jangan cengeng. Mama ini sibuk, jangan ganggu Mama dengan suara tangisan seperti itu. Bising. Dasar anak batu, tidak pernah bisa diajak bicara.” (hal 122).

Setelah kejadian itu,  keesokan harinya, Maysa mengambil keputusan untuk tidak  pulang ke rumah. Dia memutuskan untuk mencari ibunya—ibu batu tepatnya. Jika dia bisa menemukan ibunya, Maysa sangat ini tidur dipangkuan ibunya sambil mendengarkan dongeng. Dia juga ingin menanam bunga-bunga di kebun, ingin melukis gunung dan matahari, memasak dan mandi bersama. Selain itu, yang paling Maysa inginkan adalah dia ingin dipeluk dan menyusu pada ibunya. 

Selain beberapa cerpen yang sudah dipaparkan, tentu saja masih banyak cerpen yang menarik dan memikat. Di antaranya, Sesudah Mbah Darto Bunuh Diri, Hikayat Perempuan yang Sekarat, Kesedihan Kita, Imron Ingin Membunuh Bapak dan banyak lagi.  Hampir sebagian besar, pada buku ini kita akan dihadapkan bagaimana  anak-anak menghadapi kesedihan dan luka yang pernah diterohken keluarganya—baik ibu atau ayah.  Selain menggambar kesedihan anak. Di sini penulis juga mengeksplore tentang perempuan dan perihal sex yang menyimpang.

Kisah-kisah dalam buku kumpulan cerpen ini diceritakan dengan sangat memikat. Karena penulis dengan ide-ide yang gila dan tidak terduga, mengantarkan pada sebuah labirin—menyibak isi kepala perempuan dan anak-anak yang jarang diangkat oleh penulis lain. Apalagi diksi yang dipakai penulis juga menarik.

Keunggulan lainnya adalah alenia pembuka yang menarik dan  judul tulisannya—yang meski terkesan cukup panjang, namun di sanalah daya tarik cerpen yang ditulisnya. Hanya saja untuk beberapa bagian, ending cerita cukup mudah ditebak. Namun begitu hal itu tidak mengurangi kenikmatan dalam membaca buku ini. 

Membaca ini, banyak renungan inspiratif yang bisa kita petik untuk pembelajaran. Di mana dalam mendidik anak kita harus total. Dalam artian selalu jujur bagaimana pun keadaannya. Kita harus membangun komunikasi yang baik dengan anak agar tidak terjadi salah paham. Dan dalam mendidik, tidak semestinya memakai kekerasan, tapi dengan kasih sayang dan ketegasan.

Srobyong, 28 Juli 2017 

No comments:

Post a Comment