Dimuat di Jateng Pos, Minggu 13 Agustus
Judul : Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan
Membawanya ke Bulan
Penulis : Ajeng Maharani
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal : 161 halaman
ISBN :
978-602-391-352-7
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara.
Kumpulan cerpen ini sedikit banyak
memuat tentang pengaruh kesalahan
orangtua dalam mendidik anak. Sehingga anak tumbuh menjadi sosok yang memiliki cara
pandang yang salah. Kadang yang lebih parah adakalanya anak itu menjalani hidup secara menyimpang. Buku ini terdiri dari 17 cerita yang mengemas
tentang luka, kesedihan, rasa putus asa dan tragedi-tragedi yang kerap terjadi
dalam diri dan kehidupan manusia. Di sini dengan lihai penulis mengeksekusi
cerita, sehingga kisah-kisah yang ditawarkan terasa menarik dan memikat.
Misalnya saja dalam kisah berjudul
“Dongeng tentang Ibu dan Seekor Laba-laba di Kamar Mandi” Mengisahkan tentang seorang anak yang setiap
hari melihat pertengkaran kedua orangtuanya.
Ibunya bilang kalau ayahnya sudah tidak mengingat lagi arti keluarga.
Ayahnya sudah tidak menyayangi mereka. Si anak tentu saja percaya. Apalagi
ayahnya juga kerap memarahinya jika dia berani bertanya ini-itu.
Suatu hari ibunya bersembunyi dalam
kamar. Namun sejak hari ibunya tidak pernah muncul lagi. Apa yang muncul
kemudian hanyalah seekor laba-laba. Hal inilah yang kemudian membuat si anak
berasumsi kalau ibunya telah berubah menjadi laba-laba, karena perbuatan
ayahnya.
Kisah lainnya, “Ia Tengah Menanti
Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan” cerpen ini dibuka dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan membuat pembaca mengernyitkan dahi
juga menumbuhkan rasa tertarik. “Apa benar Ibu ada di bulan, Ayah?” “Kapan
Tuhan akan mengirimkan
kereta uapnya untukku?” (hal 17-19). Di sini penulis mengisahkan tentang seorang
anak yang ingin menemui ibunya yang
telah meninggal. Namun karena suatu alasan, sang ayah tidak jujur dan tidak
pernah mengungkapkan kenyataan tentang kepergian si ibu. Hal ini-lah yang
kemudian membuat anak memiliki dogma yang salah. Dan dia tumbuh menjadi perempuan yang terus
terjebak pada kesalahan di masa lalu.
Tidak kalah menarik adalah cerpen
berjudul “Maysa Rindu Menyusu Pada Batu” mengisahkan tentang Maysa, gadis kecil
yang memiliki keyakinan kalau ibu kandungnya adalah batu. Karena itulah yang
mamanya katakan, setiap kali mamanya marah. “Jangan cengeng. Mama ini sibuk,
jangan ganggu Mama dengan suara tangisan seperti itu. Bising. Dasar anak batu,
tidak pernah bisa diajak bicara.” (hal
122).
Setelah kejadian itu, keesokan harinya, Maysa mengambil keputusan
untuk tidak pulang ke rumah. Dia
memutuskan untuk mencari ibunya—ibu batu tepatnya. Jika dia bisa menemukan
ibunya, Maysa sangat ini tidur dipangkuan ibunya sambil mendengarkan dongeng.
Dia juga ingin menanam bunga-bunga di kebun, ingin melukis gunung dan matahari,
memasak dan mandi bersama. Selain itu, yang paling Maysa inginkan adalah dia
ingin dipeluk dan menyusu pada ibunya.
Selain beberapa cerpen yang sudah dipaparkan, tentu saja
masih banyak cerpen yang menarik dan memikat. Di antaranya, Sesudah Mbah Darto
Bunuh Diri, Hikayat Perempuan yang Sekarat, Kesedihan Kita, Imron Ingin
Membunuh Bapak dan banyak lagi. Hampir
sebagian besar, pada buku ini kita akan dihadapkan bagaimana anak-anak menghadapi kesedihan dan luka yang
pernah diterohken keluarganya—baik ibu atau ayah. Selain menggambar kesedihan anak. Di sini
penulis juga mengeksplore tentang perempuan dan perihal sex yang menyimpang.
Kisah-kisah dalam buku kumpulan
cerpen ini diceritakan dengan sangat memikat. Karena penulis dengan ide-ide
yang gila dan tidak terduga, mengantarkan pada sebuah labirin—menyibak isi
kepala perempuan dan anak-anak yang jarang diangkat oleh penulis lain. Apalagi
diksi yang dipakai penulis juga menarik.
Keunggulan lainnya adalah alenia
pembuka yang menarik dan judul
tulisannya—yang meski terkesan cukup panjang, namun di sanalah daya tarik
cerpen yang ditulisnya. Hanya saja untuk beberapa bagian, ending cerita cukup
mudah ditebak. Namun begitu hal itu tidak mengurangi kenikmatan dalam membaca
buku ini.
Membaca ini, banyak renungan
inspiratif yang bisa kita petik untuk pembelajaran. Di mana dalam mendidik anak
kita harus total. Dalam artian selalu jujur bagaimana pun keadaannya. Kita
harus membangun komunikasi yang baik dengan anak agar tidak terjadi salah
paham. Dan dalam mendidik, tidak semestinya memakai kekerasan, tapi dengan
kasih sayang dan ketegasan.
Srobyong, 28 Juli 2017
No comments:
Post a Comment