Dimuat di Analisa Medan, Rabu 9 Agustus 2017
Judul :
Boys Beyond The Light
Penulis : Astrid Tito dan T. Akbar Maulana.
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : 212 hal
ISBN : 978-602-03-3216-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
“Mengapa terorisme seakaan identik
dengan Islam? Sedangkan kekerasan bisa dijumpai di seluruh benua dan juga
dilakukan oleh umat lain.” (hal 204).
Novel ini terinspirasi dari sebuah film
dokumenter, yang merupakan kisah nyata tentang perekrutan pemuda Indonesia
untuk bergabung dengan RIIS—Republic of Islam Iraq Syiria, lewat
jaringan sosial media. Dalam novel ini kita diajak mengenal 4 pemuda dengan
cita-cita berbeda namun bertemu pada medan sama yang tidak terduga.
Ada Galih, seorang anak konglomerat
Jakarta. Apa pun yang dia inginkan, akan sangat mudah dia dapatkan. Kecuali
satu, perhatian kedua orangtuanya. Di mana mereka terlalu sibuk dengan berbagai
bisnis hingga tak memiliki sedikit waktu untuk dirinya. Hal ini-lah yang kadang
membuat Galih tidak suka. Satu hal yang dia syukuri, bahwa dia memiliki seorang
kakak yang baik hati, yang selalu setia menemaninya.
Ada pula Abay yang berasal dari Susoh, Aceh Barat Daya. Dia
adalah siswa beprestasi baik dalam ilmu akademik juga olahraga. Selain itu dia
juga menghafal Al-Quran. Hal itulah yang
kemudian mengantar Abay belajar di Turki. Selanjutnya ada Bagas—kakaknya
Galih. Sebagaimana Abay, Bagas juga
seorang pemuda yang pintar. Hanya saja permasalahan keluarga telah membuatnya
menjadi sosok berbeda. Dia ingin bebas. Dia tidak mau dikekang dengan segala
harapan ayah dan ibunya.
Terakhir ada Teguh, kakak kelas
Abay. Masa lalu yang kelam, membuat Teguh memilih jalan tidak terduga. Jalan
yang dia yakini sebagai jalan paling benar dan memang harus dia lakukan. Dendam
merasuk kuat dalam sanubarinya.
Bermula dari alasan yang bertolak
belakang, mereka pada akhirnya bertemu dalam organisasi RIIS. Tapi di sisi-lah
kisah mulai semakin menarik. Galih yang memang memilih jalan itu karena
mengikuti jejak sang kakak, lama-lama mulai tidak menyukai pilihannya ini.
Apalagi puncaknya ketika dia diminta sebagai anggota yang melakukan bom bunih
diri (hal 147).
Hal itu pun terjadi kepada Abay, dia
yang awalnya ikut bergabung karena, ingin terlihat gagah di hadapan wanita yang
pernah dicintainya, merasa tidak siap dan tidak setuju dengan adanya bom bunuh
ini. Bagaimana pun bunuh diri adalah tindakan yang dilarang agama. Belum lagi
apa yang akan terjadi dengan ibu dan adiknya jika dia nekat melakukan hal gila
ini?
Abay dan Galih pun menyusun rencana
untuk melarikan diri. Sayangnya, Teguh mencium gelagat itu. Dia tidak terima
anak buahnya melakukan pengkhianatan.
Pertempuran sengit pun tidak bisa dihindari. Mereka saling baku hantam untuk
mempertahankan kepercayaan masing-masing. Teguh yang meyakini, jihad seperti
inilah yang terbaik dan pastinya akan diridai Allah yang akan mengantar ke
surga.
Dan keyakinan itu berbanding
terbalik dengan Galih dan Abay. Selama
mereka ikut berjuang, pertempuran hanyalah menyisakan duka, membuat banyak
pihak kehilangan keluarga dan
saudara.
Dulu memang Abay sempat memiliki
pemikiran yang sama dengan Teguh. Namun setalah diam-diam bisa menghubungi
ibunya, banyak pencerahan yang akhirnya Abay dapat. Dia merenung dan
merenung. Di mana dia meyakini, jihad
tidak harus melalui peperangan. Tapi bisa dengan ilmu pengetahuan bahkan
berbakti kepada orangtua. Jihad yang saat ini dia lakukan, hanyalah imbas dari geopolitik dunia.
Kehidupan Abay dan Galih pun
dipertaruhkan dalam pelarian ini. Akankan mereka selamat atau kembali untuk
mendapat hukuman berat. Tapi sebuah
suara letusan pada akhirnya menjawab semua pertanyaan itu.
Sebuah novel yang menarik dan
menginspirasi. Dipaparkan dengan gaya
bahasa yang renyah, dan pemilihan pov yang menarik—diceritakan bergantian dari
sudut pandang Galih dan Abay. Dan
beberapa kekurangannya tidak menutup kenikmtan dalam membaca.
Novel ini menunjukkan bagaimana empat pemuda yang
mencoba mencari jati diri dalam balutan terorisme. Mereka tanpa adanya
bimbingan dari orang dewasa, mudah terseret dan terpengaruh. Banyak
pembelajaran yang bisa kita ambil dari novel ini. Tentang Islam, politik, pengaruh
ideologi dan banyak lagi. Juga ada beberapa sindiran yang sangat telak. Di
antaranya, “Dari mana kamu tahu akan
masuk surga? Kamu telah mengambil alif fungsi Allah sebagai Tuhan.” (hal
103).
Srobyong, 10 April 2017
No comments:
Post a Comment