Thursday 10 August 2017

[Resensi] Terorisme dan Kisah Pencarian Jati Diri

Dimuat di Analisa Medan, Rabu 9 Agustus 2017


Judul               : Boys Beyond The Light
Penulis             : Astrid Tito dan T. Akbar Maulana.
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, Agustus 2016
Tebal               : 212 hal
ISBN               : 978-602-03-3216-1
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

“Mengapa terorisme seakaan identik dengan Islam? Sedangkan kekerasan bisa dijumpai di seluruh benua dan juga dilakukan oleh umat lain.”  (hal 204).


Novel ini terinspirasi dari sebuah film dokumenter, yang merupakan kisah nyata tentang perekrutan pemuda Indonesia untuk bergabung dengan RIIS—Republic of Islam Iraq Syiria, lewat jaringan sosial media. Dalam novel ini kita diajak mengenal 4 pemuda dengan cita-cita berbeda namun bertemu pada medan sama yang tidak terduga.

Ada Galih, seorang anak konglomerat Jakarta. Apa pun yang dia inginkan, akan sangat mudah dia dapatkan. Kecuali satu, perhatian kedua orangtuanya. Di mana mereka terlalu sibuk dengan berbagai bisnis hingga tak memiliki sedikit waktu untuk dirinya. Hal ini-lah yang kadang membuat Galih tidak suka. Satu hal yang dia syukuri, bahwa dia memiliki seorang kakak yang baik hati, yang selalu setia menemaninya.

Ada pula Abay  yang berasal dari Susoh, Aceh Barat Daya. Dia adalah siswa beprestasi baik dalam ilmu akademik juga olahraga. Selain itu dia juga menghafal Al-Quran.  Hal itulah yang kemudian mengantar Abay belajar di Turki. Selanjutnya ada Bagas—kakaknya Galih.  Sebagaimana Abay, Bagas juga seorang pemuda yang pintar. Hanya saja permasalahan keluarga telah membuatnya menjadi sosok berbeda. Dia ingin bebas. Dia tidak mau dikekang dengan segala harapan ayah dan ibunya.

Terakhir ada Teguh, kakak kelas Abay. Masa lalu yang kelam, membuat Teguh memilih jalan tidak terduga. Jalan yang dia yakini sebagai jalan paling benar dan memang harus dia lakukan. Dendam merasuk kuat dalam sanubarinya.

Bermula dari alasan yang bertolak belakang, mereka pada akhirnya bertemu dalam organisasi RIIS. Tapi di sisi-lah kisah mulai semakin menarik. Galih yang memang memilih jalan itu karena mengikuti jejak sang kakak, lama-lama mulai tidak menyukai pilihannya ini. Apalagi puncaknya ketika dia diminta sebagai anggota yang melakukan bom bunih diri (hal 147).

Hal itu pun terjadi kepada Abay, dia yang awalnya ikut bergabung karena, ingin terlihat gagah di hadapan wanita yang pernah dicintainya, merasa tidak siap dan tidak setuju dengan adanya bom bunuh ini. Bagaimana pun bunuh diri adalah tindakan yang dilarang agama. Belum lagi apa yang akan terjadi dengan ibu dan adiknya jika dia nekat melakukan hal gila ini?

Abay dan Galih pun menyusun rencana untuk melarikan diri. Sayangnya, Teguh mencium gelagat itu. Dia tidak terima anak buahnya melakukan pengkhianatan.  Pertempuran sengit pun tidak bisa dihindari.  Mereka saling baku hantam untuk mempertahankan kepercayaan masing-masing. Teguh yang meyakini, jihad seperti inilah yang terbaik dan pastinya akan diridai Allah yang akan mengantar ke surga.

Dan keyakinan itu berbanding terbalik dengan Galih dan Abay.  Selama mereka ikut berjuang, pertempuran hanyalah menyisakan duka, membuat banyak pihak  kehilangan keluarga dan saudara. 
Dulu memang Abay sempat memiliki pemikiran yang sama dengan Teguh. Namun setalah diam-diam bisa menghubungi ibunya, banyak pencerahan yang akhirnya Abay dapat. Dia merenung dan merenung.  Di mana dia meyakini, jihad tidak harus melalui peperangan. Tapi bisa dengan ilmu pengetahuan bahkan berbakti kepada orangtua. Jihad yang saat ini dia lakukan, hanyalah imbas  dari geopolitik dunia.  

Kehidupan Abay dan Galih pun dipertaruhkan dalam pelarian ini. Akankan mereka selamat atau kembali untuk mendapat hukuman berat.  Tapi sebuah suara letusan pada akhirnya menjawab semua pertanyaan itu.

Sebuah novel yang menarik dan menginspirasi.  Dipaparkan dengan gaya bahasa yang renyah, dan pemilihan pov yang menarik—diceritakan bergantian dari sudut pandang Galih dan Abay.   Dan beberapa kekurangannya tidak menutup kenikmtan dalam membaca.

Novel ini  menunjukkan bagaimana empat pemuda yang mencoba mencari jati diri dalam balutan terorisme. Mereka tanpa adanya bimbingan dari orang dewasa, mudah terseret dan terpengaruh. Banyak pembelajaran yang bisa kita ambil dari novel ini. Tentang Islam, politik, pengaruh ideologi dan banyak lagi.  Juga ada  beberapa sindiran yang sangat telak. Di antaranya,  “Dari mana kamu tahu akan masuk surga? Kamu telah mengambil alif fungsi Allah sebagai Tuhan.” (hal 103).

Srobyong, 10 April 2017 

No comments:

Post a Comment