Thursday, 4 May 2017

[Resensi] Merangkai Kenangan Sang Ibu

Dimuat di Tribun Jateng, Minggu 16 April 2017 

Judul               : Ya Allah Aku Rindu Ibu
Penulis             : Irfa Hudaya
Penerbit           : Kana Books
Cetakan           : Pertama, Desember 2016
Tebal               : xiii + 254 hlm
ISBN               : 978-602-60440-1-3
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdaltu Ulama, Jepara.

Diambil dari kisah nyata membuat buku ini sangat merasuk ke dalam hati. Membuat siapa saja yang membacanya akan teringat dengan sosok ibu; pahlawan wanita yang sangat menginspirasi. Setiap kisah yang dipaparkan benar-benar membuat kita seolah bersitatap dengan ibu kita sendiri, mengalami setiap jengkal kisah yang telah dipaparkan penulis. Sebuah buku yang sangat inspiratif dan memotivasi agar selalu menyayangi dan menghormati ibu.

Kisah dibuka dengan kenangan Irfa semasa kecil. Dia merasa tersisih—tidak dipedulikan ibunya, karena kesibukan sang ibu yang saat itu merawat neneknya yang tengah sakit jantung. Hal itu kadang membuat Irfa bertingkah. Dari meminta makan yang sama sekali tidak dilahap sampai berusaha mengatur ibu dengan khasa rajukan anak-anak (hal 8).  Tapi ibunya dengan sabar selalu melakukan yang terbaik untuk dirinya.

Ada juga kisah ketika dia mulai nakal dan bernani melakukan hal-hal yang dilarang ibunya. Saat itu dia hanya mencoba membuktikan apakah wejangan-wejangan yang dikatakan ibunya benar apa tidak. Bahwa jika mencuri tangannya akan dipotong. Jika tidak mau salat, maka, akan dimasukkan neraka.  Hal inilah yang akhirnya membuat pola pikir Irfa salah. Dia sempat mengira bahwa Allah itu jahat. Sampai dia mendengarkan kisah-kisah dari sang kakek yang membuatnya sadar kalau apa yang dikatkan ibunya memang benar. namun dikatakan dengan cara yang salah.

Tidak ketinggalan ada juga kisa ketika Irfa mulai remaja, merasakan cinta pertama dan masalah haid dan keinginannya berjilbab.  Kisahnya seru dan juga menginspirasi. Sesekali kita diajak untuk tertawa, namun sesekali kita akan diajak belajar tentang arti hidup dan bagaimana bersikap kepada orangtua juga tentang pentingnya ikatan keluarga (hal 39).

Namun dari sekian perjalanan hidup yang paling membuat Irfa semakin dewasa adalah ketika ayahnya jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Itu adalah pengalaman yang paling membuat dia kaget tapi juga belajar menjadi sosok yang mandiri. Sejak itu dia memahami bagaimana perasaa ibunya. Terlebih ketika akhirnya Irfa menikah dan memiliki anak. Di sanalah segala kisah yang pernah dialaminya sejak kecil bersama sang ibu mulai memenuhi kepalanya.

Dia menyadari bahwa apa yang dilakukan ibunya sejak kecil pada dirinya adalah usaha agar membuat dirinya menjadi sosok yang kuat mandiri dan bertanggungjawab. Ibu adalah motivator, guru, dan sahabat yang selalu hadir dalam berbagai situasi.  Sayangnya ketika dia menyadari semua itu ... keadaan ibunya sudah mulai memburuk. 

Irfa belajar banyak dari ibunya. Bahwa tidak ada orangtua yang tidak menyayangi anaknya. Dan seorang ibu harus bijak dalam mendidik anaknya. Karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Meski memang sesekali bisa jadi mereka bertengkar. Namun itu hanyalah warna sementara, karena bagaimana pun kita lahir dari rahim ibu dengan penuh perjuangan.

Hal yang paling Irfa ingat adalah wejangan dari sang ibu dalam menatap kehidupan dunia, menghadapi sikap orang lain pada kita yang kadang suka iri atau menggunjing.  Juga perihal nasihat sang ibu ketika Irfa masih menyimpan kemarahan karena ulah tetangganya.

“Menyimpan dendam itu yang sakit cuma kamu sendiri. Orang lain nggak tahu. Kamu Cuma menghabiskan tenagamu. Jangan menyimpan duri di hatimu.” (hal 246).  Irfa belajar dari ibunya untuk menjadi sosok yang lebih sabar dan pemaaf.

Membaca buku ini tanpa sadar akan membuat kita ikut terjebak pada kenangan dengan orangtua masing-masing. Menyentuh dan menginspirasi. Kisah  dipaparkan dengan gaya yang asyik dan renyah.  Hanya saja masih ada ditemukan beberapa kesalahan tulis. Namun tetap tidak mengurangi keasyikan cerita. Yang lebih unik lagi adalah dengan memasukkan unsur lokalitas jawa yang kental. Saya sangat suka. Bagi yang bukan orang jawa, tenang saja ada catatan kaki terjemahan yang siap mengajak kita memahami maknanya. Buku yang patut dibaca dan diapresiasikan. Wajib dibaca agar tahu bagaimana cara bersikap yang baik untuk ibu dan ayah.


Srobyong, 12 Maret 2017 

No comments:

Post a Comment