Dimuat di Radar Madura, Minggu 30 April 2017
Judul : Jejak Rasa Nusantara; Sejarah
Makanan Indonesia
Penulis : Fadly Rahman
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, November 2016
Tebal : xxii + 360 hlm
ISBN : 978-602-03-3521-6
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama. Jepara
Sebagaimana kita ketahui, makanan
adalah kebutuhan pokok yang harus terpenuhi guna memperoleh sumber energi.
Namun dalam buku Jejak Rasa Nusantara, makanan ternyata tidak hanya
terfokus pada kebutuhan perut. Tapi memuat sejarah yang jarang diketahui. Di mana ternyata sejarah makanan
Indonesia ini tidak lepas dari pengaruh kolonial para pendatang yang berkunjung
ke Indonesia di masa silam. Bukan hanya tentang cita rasa, serta pengolahan tapi
juga tentang tatacara penyajiannya.
Fadly Rahman memaparkan dalam aspek
kuliner atau hasil masakan Indonesia
ini, banyak didapati akulturasi budaya antara pendatang dari berbagai bangsa
dengan penduduk setempat. Pada abad ke-10 M masakan Indonesia sudah dipengaruhi
oleh Tionghoa, India dan Arab. Baru memasuki
abad ke- 16 sampai 18 M Eropa—Benua Amerika dan Eropa nenanamkan pengaruhnya di
Indonesia yang dalam sejarah global disebut Columbian exchange (hal 6).
Dari India kita dikenalkan dengan
berbagai jenis bumbu masak. Seperti Bawang atau bakung (Crinium asiaticum),
ketumbar (Coriandrum sativum), jintan (Cuminum cyminum) dan jahe (Zingiber
officinale). Bahan-bahan ini berkembang di Asia Tenggara, khusunya Sumatra (hal
19).
Sedangkan dari Tionghoa kita
dikenalkan dengan dasun atau bawang putih (Allium Sativum) dan kedelai (Glycine
soja). Tidak ketinggalan adalah teknik dalam memasak dengan wajan untuk membuat
mie hingga masalah pertanian. Seperti pembudiyaan beras, kedelai, kacang tanah,
tebu, hingga jenis pembuatan minuman
fermentasi getah manis sadapan pohon palma, pembuatan gula aren. Masih dari Tionghoa juga, disinyalir tahu
pada mulanya juga salah satu bentuk akulturasi dengan negeri bambu itu.
Sebagaimana dalam Prasasti Watukura dari Jawa Timur kata tahu dalam
prasasti itu diserap dari bahasa Hokkian atau dialek Selatan (Hainan), tau-hu
(hal 20).
Tidak hanya dalam masalah bumbu,
pengaruh budaya yang dibawa para pendatang khususnya kolonial, juga merubah
masalah selera makanan. Sebagaiman yang dipaparkan Raffles, bahwa Jawa adalah “vegetable
kingdom”. Berbagai jenis tanaman dikonsumsi untuk kebutuhan pangan dan makaanan penduduk seperti padi,
jagung, kacang tebu, merica, cabai jawa, kumukus, kelapa, petai, jengkol,
pucang, kemiri, sukun, akar umbi-umbian, sagu, gandum dan kentang (hal
59).
Tapi pada perkembangannya, Indonesia
yang awalnya fokus pada pembudidayaan tanaman, saat itu mulai melirik
pembudidayaan ternak. Di sinilah selera memakan daging dimulai. Pada masa awal para pribumi lebih mempercayai
bahwa makan daging kerbau itu lebih baik dan mewah, karena kerbau biasanya
disajikan untuk para raja, namun setelah ada pengaruh dari barat, mereka
akhirnya mengenal tentang sapi juga unggas.
Perkembangan selanjutnya, selain
memberi pengaruh pada citarasa makanan, kolonial juga memberi pengaruh pada
masalah pemberian nama makanan yang sedikit banyak diambil dari serapan bahasa
barat. Seperti frikadel menjadi perkedel, smoor menjadi semur, biefstuk menjadi
bistik, soep menjadi sup.
Tidak ketinggalan ada pula bentuk
akulturasi dalam pola penyajian makanan.
Di mana jika dulu di Indonesia ketika makan hanya berlaskan daun dan memakai
tangan untuk menyuapkan nasi, kebiasaan itu berubah dengan memakai sendok dan
piring. Serta makanan mulai disiapkan di meja.
Suka atau pun tidak suka masa kolonial
memberikan banyak pengaruh dalam pengembangan berbagai jenis makanan dan
kebiasaan makan baru di Hindia-Belanda. Perkembangan itu berlangsung melalui
berbagai praktik budidaya pangan, ilmu makanan, dan gastronomi (hal 185).
Membaca buku ini kita akan diajak
mengenang kembali masa pemerintah kolonial dalam sudut pandang yang berbeda.
Karena di sini kita bukan diajak mengenal tentang ragam kejahatan yang pernah
ditorehkan pada bangsa Indonesia, tapi bagaimana berjalannya waktu yang sedikit
banyak menjadi penghubung tentang perkembangan makanan di Indonesia. Sebuah buku yang menarik dan menyenangkan.
Penulis melengkapinya dengan lampian dan bukti autentik tentang akulturasi yang
terjadi antara budaya kilonial dan Indonesia. Sebuah buku patut diapresiakan
untuk semua kalangan.
Srobyong, 28 Maret 2017
wah terimakasih rekomendasinya
ReplyDeleteklo gak salah saya pernah dengar lagu belanda yg ada kata2 nasi goreng dkk
pengaruh ke budaya makan juga ada ya
meski orang indonesia jarang yang konsisten makan dalam satu meja
harus dibeli nih
Sama-sama, Iya saya juga baru tahu pas baca buku ini. Jadi nambah wawasan banget membaca buku ini :)
DeleteMonggo-monggo silahkan diburu