Friday, 12 May 2017

[Resensi] Kolonial Pengaruhi Kuliner Indonesia

Dimuat di Radar Madura, Minggu 30 April 2017 

Judul               : Jejak Rasa Nusantara; Sejarah Makanan Indonesia
Penulis             : Fadly Rahman
Penerbit           : Gramedia
Cetakan           : Pertama, November 2016
Tebal               : xxii + 360 hlm
ISBN               : 978-602-03-3521-6
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama. Jepara

Sebagaimana kita ketahui, makanan adalah kebutuhan pokok yang harus terpenuhi guna memperoleh sumber energi. Namun dalam buku Jejak Rasa Nusantara, makanan ternyata tidak hanya terfokus pada kebutuhan perut. Tapi memuat sejarah yang jarang  diketahui. Di mana ternyata sejarah makanan Indonesia ini tidak lepas dari pengaruh kolonial para pendatang yang berkunjung ke Indonesia di masa silam. Bukan hanya tentang cita rasa, serta pengolahan tapi juga tentang tatacara penyajiannya.

Fadly Rahman memaparkan dalam aspek kuliner atau hasil masakan  Indonesia ini, banyak didapati akulturasi budaya antara pendatang dari berbagai bangsa dengan penduduk setempat. Pada abad ke-10 M masakan Indonesia sudah dipengaruhi oleh Tionghoa, India dan Arab.  Baru memasuki abad ke- 16 sampai 18 M Eropa—Benua Amerika dan Eropa nenanamkan pengaruhnya di Indonesia yang dalam sejarah global disebut Columbian exchange (hal 6).

Dari India kita dikenalkan dengan berbagai jenis bumbu masak. Seperti Bawang atau bakung (Crinium asiaticum), ketumbar (Coriandrum sativum), jintan (Cuminum cyminum) dan jahe (Zingiber officinale). Bahan-bahan ini berkembang di Asia Tenggara, khusunya Sumatra (hal 19). 

Sedangkan dari Tionghoa kita dikenalkan dengan dasun atau bawang putih (Allium Sativum) dan kedelai (Glycine soja). Tidak ketinggalan adalah teknik dalam memasak dengan wajan untuk membuat mie hingga masalah pertanian. Seperti pembudiyaan beras, kedelai, kacang tanah, tebu, hingga  jenis pembuatan minuman fermentasi getah manis sadapan pohon palma, pembuatan gula aren.  Masih dari Tionghoa juga, disinyalir tahu pada mulanya juga salah satu bentuk akulturasi dengan negeri bambu itu. Sebagaimana dalam Prasasti Watukura dari Jawa Timur kata tahu dalam prasasti itu diserap dari bahasa Hokkian atau dialek Selatan (Hainan), tau-hu (hal 20).

Tidak hanya dalam masalah bumbu, pengaruh budaya yang dibawa para pendatang khususnya kolonial, juga merubah masalah selera makanan. Sebagaiman yang dipaparkan Raffles, bahwa Jawa adalah “vegetable kingdom”. Berbagai jenis tanaman dikonsumsi untuk kebutuhan  pangan dan makaanan penduduk seperti padi, jagung, kacang tebu, merica, cabai jawa, kumukus, kelapa, petai, jengkol, pucang, kemiri, sukun, akar umbi-umbian, sagu, gandum dan kentang (hal 59). 

Tapi pada perkembangannya, Indonesia yang awalnya fokus pada pembudidayaan tanaman, saat itu mulai melirik pembudidayaan ternak. Di sinilah selera memakan daging dimulai.  Pada masa awal para pribumi lebih mempercayai bahwa makan daging kerbau itu lebih baik dan mewah, karena kerbau biasanya disajikan untuk para raja, namun setelah ada pengaruh dari barat, mereka akhirnya mengenal tentang sapi juga unggas.

Perkembangan selanjutnya, selain memberi pengaruh pada citarasa makanan, kolonial juga memberi pengaruh pada masalah pemberian nama makanan yang sedikit banyak diambil dari serapan bahasa barat. Seperti frikadel menjadi perkedel, smoor menjadi semur, biefstuk menjadi bistik, soep menjadi sup.

Tidak ketinggalan ada pula bentuk akulturasi  dalam pola penyajian makanan. Di mana jika dulu di Indonesia ketika makan hanya berlaskan daun dan memakai tangan untuk menyuapkan nasi, kebiasaan itu berubah dengan memakai sendok dan piring. Serta makanan mulai disiapkan di meja.
Suka atau pun tidak suka masa kolonial memberikan banyak pengaruh dalam pengembangan berbagai jenis makanan dan kebiasaan makan baru di Hindia-Belanda. Perkembangan itu berlangsung melalui berbagai praktik budidaya pangan, ilmu makanan, dan gastronomi (hal 185).

Membaca buku ini kita akan diajak mengenang kembali masa pemerintah kolonial dalam sudut pandang yang berbeda. Karena di sini kita bukan diajak mengenal tentang ragam kejahatan yang pernah ditorehkan pada bangsa Indonesia, tapi bagaimana berjalannya waktu yang sedikit banyak menjadi penghubung tentang perkembangan makanan di Indonesia.  Sebuah buku yang menarik dan menyenangkan. Penulis melengkapinya dengan lampian dan bukti autentik tentang akulturasi yang terjadi antara budaya kilonial dan Indonesia. Sebuah buku patut diapresiakan untuk semua kalangan.

Srobyong, 28 Maret 2017 

2 comments:

  1. wah terimakasih rekomendasinya
    klo gak salah saya pernah dengar lagu belanda yg ada kata2 nasi goreng dkk
    pengaruh ke budaya makan juga ada ya
    meski orang indonesia jarang yang konsisten makan dalam satu meja
    harus dibeli nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Iya saya juga baru tahu pas baca buku ini. Jadi nambah wawasan banget membaca buku ini :)

      Monggo-monggo silahkan diburu

      Delete