Friday 5 May 2017

[Resensi] Kisah di Masa SMA dan Inspirasi di Dalamnya

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 16 April  2017


Judul               : Dilan  1990
Penulis             : Pidi Baiq
Penerbit           : Pastel Books
Cetakan           : Delapan, September 2016
Tebal               : 346 hlm
ISBN               : 978-602-7870-86-4
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Cinta selalu asyik untuk dikulik dan dijadikan cerita. Dan masa putih abu-abu juga tidak kalah menarik untuk dijadikan latar cerita. Karena konon katanya, masa SMA itu masih paling seru dalam usaha pencarian jati diri.  Di masa itu banyak kisah seru tentang usaha mengukuhkkan keberadaan untuk diakui—baik itu diakui sebagai murid berprestasi, murid paling gaul, paling cantik bahkan paling populer. Masa SMA adalah gudang penuh kisah yang sayang untuk dilewatkan.

Kisah dibuka dengan kemunculan sosok Milea yang baru saja pindah sekolah ke Bandung. Ketika pertama kali tiba di sekolah barunya, dia bertemu seorang murid yang menurutnya aneh. Bagaimana tidak? Cowok  itu kali berpertama bertemu bukannya mengajak kenalan tapi malah menawarkan untuk meramal (hal 20).

Sampai kemudian akhirnya Milea tahu bahwa cowok yang menyapanya itu bernama Dilan yang terkenal sebagai anak yang suka berbuat onar—dia adalah ketua genk motor.  Banyak teman-temannya yang mengingatkan dia untuk menjaga jarak dan hati-hati kepada Dilan.

Di sisi lain, sejak awal Dilan memang sudah membidik Milea. Dengan gaya yang tidak biasa dia mencoba mendekati teman barunya itu. Dimulai menawarkan ramalan, mengirimi surat, menawari untuk diantarkan pulang dan banyak lagi kelakuan aneh yang dilakukan Dilan untuk menarik hati Milea.

Sebenarnya Milea tidak terlalu tertarik dengan Dilan. Apalagi di Jakarta sendiri dia sudah memilki kekasih—Beni yang sangat menyayanginya. Hanya saja lambat laun Milea merasa Dilan itu berbeda dari cowok yang pernah dia kenal.  Berbicara dengan Dilan membuatnya merasa riang dan ringan.  Dan lagi setelah semakin dekat dengan Dilan, Milea menyadari kalau Dilan tidak senakal apa yang dibicarakan teman-temannya.

Maka tanpa bisa ditolak di hati Milea pun akhirnya tumbuh benih-benih kasih pada Dilan. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Hanya saja dia bingung harus bagaimana mengakhiri hubungannya dengan Beni. Sampai sebuah kejadian membuka peluang itu (hal 96). Hanya saja tidak semudah itu. Kisahnya dengan Dilan bisa dikatakan tidak begitu berjalan lancar.  Ada masa pasang dan surut.

Beni juga tidak ingin mengakhiri hubungan mereka dan masih berusaha meminta maaf pada Milea.  Lalu tidak ketinggalan ada Nandan teman sekelas Milea yang juga menaruh hati padanya. Kang Adi guru privat Milea yang juga  tidak kalah gencar mendekati Milea. Di sisi lain di pihak Dilan, ada Susi yang mengaku sebagai teman dekat Dilan. Bahkan Milea melihat mereka berboncengan.

Membaca novel ini serasa kembali ke masa putih abu-abu. Kisah diramu dengan menyenangkan, lucu dan seru. Apalagi dalam gaya bercerita penulis menggunaan gaya bahasa yang unik dan bisa dibilang tidak ada yang menyamai.  Renyah juga nyeleneh. Namun dari bahasa itulah yang menjadi kekuatan lebih pada novel ini.  Hanya saja dalam novel ini masih ditemukan beberapa kesalahan tulis. Namun tetap tidak mengurangi kisah itu sendiri.

Selain mengusung tema cinta remaja pada umumnya, dalam novel ini ada pula selipan-selipan pembelajaran yang bisa direnungkan, juga sindiran halus yang tersirat.  Bahwa kita tidak bisa menilai orang hanya dari covernya saja—tampilan luar.  Kita juga dianjurkn untuk menghormati orang lain. “Hormatilah orang lain kalau ingin dihormati.” (hal 177).

Tidak ketinggalan adalah masalah bagaimana hubungan yang baik antara anak dan orangtua. “Orangtua seharusnya bisa memahami anak-anak, bukan sebaliknya. Jangan anak-anak yang dipaksa harus memahami orangtua. Anak-anak belum mengerti apa-apa, meskipun tentu saja harus kita berikan pemahaman.” (Hal 185).

Srobyong, 11 Maret 2017 

No comments:

Post a Comment