Dimuat di Radar Sampit, Minggu 16 April 2017
Judul : Dilan 1990
Penulis : Pidi Baiq
Penerbit : Pastel Books
Cetakan : Delapan, September 2016
Tebal : 346 hlm
ISBN :
978-602-7870-86-4
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama,
Jepara.
Cinta selalu asyik untuk dikulik dan
dijadikan cerita. Dan masa putih abu-abu juga tidak kalah menarik untuk
dijadikan latar cerita. Karena konon katanya, masa SMA itu masih paling seru dalam
usaha pencarian jati diri. Di masa itu
banyak kisah seru tentang usaha mengukuhkkan keberadaan untuk diakui—baik itu
diakui sebagai murid berprestasi, murid paling gaul, paling cantik bahkan
paling populer. Masa SMA adalah gudang penuh kisah yang sayang untuk
dilewatkan.
Kisah dibuka dengan kemunculan sosok
Milea yang baru saja pindah sekolah ke Bandung. Ketika pertama kali tiba di
sekolah barunya, dia bertemu seorang murid yang menurutnya aneh. Bagaimana
tidak? Cowok itu kali berpertama bertemu
bukannya mengajak kenalan tapi malah menawarkan untuk meramal (hal 20).
Sampai kemudian akhirnya Milea tahu
bahwa cowok yang menyapanya itu bernama Dilan yang terkenal sebagai anak yang
suka berbuat onar—dia adalah ketua genk motor. Banyak teman-temannya yang mengingatkan dia
untuk menjaga jarak dan hati-hati kepada Dilan.
Di sisi lain, sejak awal Dilan
memang sudah membidik Milea. Dengan gaya yang tidak biasa dia mencoba mendekati
teman barunya itu. Dimulai menawarkan ramalan, mengirimi surat, menawari untuk
diantarkan pulang dan banyak lagi kelakuan aneh yang dilakukan Dilan untuk
menarik hati Milea.
Sebenarnya Milea tidak terlalu
tertarik dengan Dilan. Apalagi di Jakarta sendiri dia sudah memilki
kekasih—Beni yang sangat menyayanginya. Hanya saja lambat laun Milea merasa
Dilan itu berbeda dari cowok yang pernah dia kenal. Berbicara dengan Dilan membuatnya merasa
riang dan ringan. Dan lagi setelah
semakin dekat dengan Dilan, Milea menyadari kalau Dilan tidak senakal apa yang
dibicarakan teman-temannya.
Maka tanpa bisa ditolak di hati
Milea pun akhirnya tumbuh benih-benih kasih pada Dilan. Mereka semakin sering
menghabiskan waktu bersama. Hanya saja dia bingung harus bagaimana mengakhiri
hubungannya dengan Beni. Sampai sebuah kejadian membuka peluang itu (hal 96). Hanya
saja tidak semudah itu. Kisahnya dengan Dilan bisa dikatakan tidak begitu berjalan
lancar. Ada masa pasang dan surut.
Beni juga tidak ingin mengakhiri
hubungan mereka dan masih berusaha meminta maaf pada Milea. Lalu tidak ketinggalan ada Nandan teman
sekelas Milea yang juga menaruh hati padanya. Kang Adi guru privat Milea yang
juga tidak kalah gencar mendekati Milea.
Di sisi lain di pihak Dilan, ada Susi yang mengaku sebagai teman dekat Dilan.
Bahkan Milea melihat mereka berboncengan.
Membaca novel ini serasa kembali ke
masa putih abu-abu. Kisah diramu dengan menyenangkan, lucu dan seru. Apalagi
dalam gaya bercerita penulis menggunaan gaya bahasa yang unik dan bisa dibilang
tidak ada yang menyamai. Renyah juga
nyeleneh. Namun dari bahasa itulah yang menjadi kekuatan lebih pada novel
ini. Hanya saja dalam novel ini masih
ditemukan beberapa kesalahan tulis. Namun tetap tidak mengurangi kisah itu
sendiri.
Selain mengusung tema cinta remaja
pada umumnya, dalam novel ini ada pula selipan-selipan pembelajaran yang bisa
direnungkan, juga sindiran halus yang tersirat.
Bahwa kita tidak bisa menilai orang hanya dari covernya saja—tampilan
luar. Kita juga dianjurkn untuk
menghormati orang lain. “Hormatilah orang lain kalau ingin dihormati.” (hal 177).
Tidak ketinggalan adalah masalah
bagaimana hubungan yang baik antara anak dan orangtua. “Orangtua seharusnya
bisa memahami anak-anak, bukan sebaliknya. Jangan anak-anak yang dipaksa harus
memahami orangtua. Anak-anak belum mengerti apa-apa, meskipun tentu saja harus
kita berikan pemahaman.” (Hal 185).
Srobyong, 11 Maret 2017
No comments:
Post a Comment