Judul : Faith and the City
Penulis : Hanum Salsabile Rais & Rangga Almahendra
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Desember 2015
Halaman : 227 hlm
ISBN :
978-602-03-2433-3
“Ini kesempatan menimba ilmu
jurnalistik tingkat dewa, Mas. Kesempatan tidak datang dua kali.” (hal. 47).
Kesempatan memang tidak bisa diduga kapan akan datang menghampiri.
Dan bagi para pemimpi, kesempatan yang ada di depan mata itu harus digenggam
erat, jangan sampai terlepas. Apalagi
kesempatan itu ditawarkan di New York. Negara dengan sejuta pesona, juga
sebagai pusat hubungan penting internasional. New York memiliki pengaruh besar terhadap perdagangam,
keuangan, media, seni, budaya, mode, riset, penelitian dan hiburan dunia.
Hanum tidak pernah menyangka ketika
dia mendapat tawaran dari Andy Cooper untuk bekerja di Global New York TV (GNTV). “Ribuan orang jatuh bangun demi
kesempatan menjadi reporter junior di GNTV. Melewati hampir 10 fase
seleksi, dan akhirnya hanya satu yang akan diambil.” (hal 26).
Ini adalah kesempatan dan Hanum
tidak akan melewatkannya. Tanpa berdiskui dengan Rangga, Hanum langsung
mengiyakan tawaran itu. Padahal saat itu dia dan Rangga tengah berada di bandara JFK—John F. Kennedy New York untuk chek-in. Karena rencana
awal mereka adalah kembali ke Wina.
Tentu saja kejadian itu membuat Rangga berang. Bagaimana mungkin Hanum
memutuskan permasalahannya tanpa meminta persetujuan dirinya? Padahal seorang
istri harusnya meminta izin dalam segal hal pada suaminya dulu.
Di GNTV Hanum dipasangkan dengan
Sam. Dia disuruh membuat program TV
tentang muslim di Amerika. Tapi dengan
catatan acara itu harus memiliki rating lebih baik dari acara lain. Sekaligus
membuat TV lain jeblok. “Insights Muslism. Kau harus mewawancarai kehidupan
mereka, apa perkara mereka, bagaimana perasaan mereka dengan banyak fenomena
yang memojokkan Islam akhir-akhir ini.” (hal 39).
Kehidupan Hanum pun mulai teralih
pada dunia kerjanya. Dia berangkat pagi, pulang malam. Waktunya hanya
didedikasikan untuk menunjukkan pada Cooper,
bahwa dirinya, bukanlah jurnalis kacangan. Dia memiliki kemampuan, bukan
hanya keberuntungan. Berbagai upaya dia
lakukan. Semua demi rating dan share (hal 62). Hanum ditantang oleh nafsunya sendiri, ketika
idealismenya mulai tergerus. Pada titik karirnya itu, Hanum bahkan sampai
mengabaikan nurani juga Rangga.
Melihat istrinya yang mulai berubah,
tentu saja membuatn Rangga khawatir. Dia harus menyadarkan istrinya. Hanya
saja, usaha Rangga gagal, Hanum malah semakin masuk ke dalam pusaran pesona New
York yang nampak gemerlap dengan iming-iming mimpi yang sejak dulu
didambakannya.
Ketika Rangga menergurnya, Hanum
selalu mengatakan, kalau itu demi sebuah kesempatan untuk mengubah dunia. “Misi
mengubah dunia? Fine! Itu mulia sekali. Tapi kau mengubah dunia dengan
cara mengubah hubungan dengan suamimu sendiri. Kamu nggak sadar? Kamu telah
dimanfaatkan oleh dunia yang tidak memberimu apa-apa. Bahkan melupakan orang
yang sudah memberimu apa-apa ....” (hal 130).
Rangga pun sadar, mereka mulai tidak sejalan.
Novel ini dipaparkan dengan gaya
bahasa yang lugas. Ceritanya pun cukup kompleks dengan berbagai konflik yang
diuraikan penulis. Tentang masalah keluarga, lalu sebuah ambisi dalam menaklukkan mimpi di New
York demi sebuah kair, yang ternyata selalu
bertentangan nurani. Tidak ketinggalan tentang sebuah keyakinan yang berusaha
dikenalkan pada dunia. Di sini Hanum di
tantang untuk memilih jalan mana yang harus direngkuhnya.
Selain itu, novel ini juga mengenalkan
tentang cara kerja dunia jurnalistik. Khususnya dalam pertelevisian. Bahwa
kadang kala ada sisi gelap yang membuat para jurnalis, mengesampingkan
nurani demi memperoleh rating dan
share.
Hanya saja masih ditemukan beberapa
kesalahan dalam kepenulisan dalam novel ini, serta ada sebuah adegan yang agak
tidak pantas dilihat dari kacamata Islam. Namun sedikit banyak hal tersebut
tidak mengurangi kenikmatan dalam membaca.
Novel ini menarik, ditambah lagi
banyak pelajaran yang bisa diambil dari kisah ini. Seperti anjuran bagi seorang istri untuk
menghormati suaminya. Ketika akan mengambil keputusan sepantasnya harus meminta
izin terlebih dahulu pada sang suami. Atau masalah dalam menyikapi diri, ketika
terjebak pada ambisi dan nurani. Dan jangan
menjadikan agama sebagai kedok dalam usaha meraih mimpi. Serta perlunya
menghargai waktu.
Waktu memiliki
cara paling akurat untuk menunjukkan apa
yang paling berharga dalam hidup kita
(hal 142).
Srobyong, 30 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment