Saturday 20 May 2017

[Resensi] Perjuangan Sunan Gunung Jati dalam Penyebaran Islam

Dimuat di Koran Jakarta, Selasa 2 Mei 2017 

Judul               : Suluk Gunung Jati
Penulis             : E. Rokajat Asura
Penerbit           : Imania
Cetakan           : Pertama, September 2016
Tebal               : 327 halaman
ISBN               : 978-602-7926-26-4
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.

Syaikh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati merupakan salah satu dari  walisongo yang berjuang di tanah Jawa—khususnya di daerah Cirebon, Jawa Barat. Dia lahir 1448 Masehi. Ayahnya bernama Syarif Abdullah—merupakan seorang dari Kesultanan Mamluk Mesir dan disinyalir masih keturunan dari Nabi Muhammad saw. Sedang ibunya adalah Nyimas Rarasantang yang merupakan keturunan  dari Raja Pajajaran—Prabu Siliwangi.  

Sejak kecil Syarif sudah menonjol dalam pengetahuan agama, kecerdasan dan luasnya wawasan.  Dan dia juga memiliki akhlak yang baik. Dia belajar ilmu agama di Makkah, Baghdad, Gujarat dan Palestina (hal 63).  Selain itu dia juga belajar pada Sunan Ample di  Pesantren Ample Denta dan  di Pesantren Amparanjati berguru kepada Syaikh Datuk Kahfi atau yang lebih dikenal dengan sebuta Syaikh Nurjati.

Sebenarnya sebelum memutuskan menyiarkan agama Islam di pulau Jawa, Syaikh Syarif Hidayatullah ini telah ditunjuk sebagai penerus ayahnya di Mesir. Namun jiwa pembelajar dan keinginan kuat untuk menyampaikan ajaran agama sejauh yang bisa dijangkau, membuatnya menyerahkan jabatan itu kepada adiknya—Syarif Nurullah. Sedangkan dirinya sendiri memulai perjalanan untuk menuju pulau Jawa sekaligus tempat kelahiran ibundanya (hal 136-137).

Maka di tahun 1470 Syarif Hidayatullah memulai perjalanannya. Dalam perjuangannya ini tantangan terbesar yang harus Sunan Gunung Jati tanggung adalah kenyataan kalau eyangnya sendiri belum memeluk Islam.

Sebagaimana diketahui, munculnya Islam belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat.  Khususnya bagi orang-orang pedalaman dan kerajaan-kerjaan yang masih memegang teguh budaya Hindu-Budha. Oleh karena itu saat akan memulai dakwahnya dengan kerendahan hati, Sunan Gunung Jati menemui eyangnya—Prabu Siliwangi untuk meminta izin.

“Kau boleh menyebarkan ajaran baru di sini, tetapi jangan dengan paksaan. Jangan sampai karena beda bahasa dalam sesembahan, darah tumpah ke bumi. Bumi dan langit tak akan merestui kepada siapa saja yang datang untuk saling menghinakan.” (hal 179).

Pesan itu-lah yang Sunan Gunung Jati pegang dengan erat. Dalam menyebarkan agama Islam, dia memilih metode lemah lembut dan kekeluargaan. Kearifan budi dan akhlak itu-lah yang pada akhirnya membuat banyak masyarakat mulai mengikuti ajaran Sunan Gunung Jati.  Apalagi sejak Sunan Gunung Jati diamanahi untuk melanjutkan kepemimpinan di Pesantren Amparanjati, setelah Syaikh Nurjati meninggal. 

Hanya saja berjalannya hari, Sunan Gunung Jati menyadari dalam memperjuangkan Islam, ternyata tidak hanya bisa memakai cara lemah lembut. Karena banyak orang-orang  dari kerajaan Hindu-Budha yang mulai merasa terganggung dengan Islam yang mulai berkembang pesat.  Baik itu dari pihak Majapahit juga kerajan di Pajajaran. Apalagi sejak Sunan Gunung Jati membangun hubungan baik dengan kesultanan Demak.  Mereka berusaha menjatuhkan pengaruh Islam dengan berbagai cara.

Maka perang pun tidak bisa dihindari. Tahun 1489 terjadi perang terbuka melawan Majapahit (hal 236).  Perkembangan Islam juga memiliki dampak tidak menyenangkan di hati Prabu Siliwangi. Padahal dia dulu sudah mengingatkan Sunan Gunung Jati agar sampai tidak terjadi pertumpahan darah dalam penyebaran Islam.  Kesedihan pun juga dirasakan oleh Sunan Gunung Jati. Dia tidak menyangka harus terjebak untuk berhadapan dengan kakeknya sendiri. Tapi kebenaran harus tetap ditegakkan (hal 281).

Salah satu ajaran  yang disampaikan Sunan Gunung Jati adalah “Aku titip tajug—masjid kecil dan fakir miskin, jika salat harus khusyuk dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat, jika puasa harus kuat seperti tali busur, ibadah harus istiqamah dan takutlah hanya kepada Allah.”  Selain itu Sunan Gunung Jati selalu mengingatkan untuk menjaga hati dari rasa iri, dengki,  buruk sangka, sombong dan selalu semangat dalam berjuang.

Buku ini memaparkan perjuangan seorang ulama dalam menyiarkan  agama Islam di tanah Jawa—khusunya Jawa Barat. Inspiratif dan memotivasi.

Srobyong, 28 April 2017 

5 comments: