Judul :
My Perfect Doll
Penulis : Frisca Marth
Editor :
Tri Kuncoro P.H.
Penerbit : Buku Oryzaee
Cetakan : Pertama, 2016
Halaman : xii + 370 hlm
ISBN : 978-602-73305-5-9
Menjadi wanita yang tidak lagi
sempurna bukanlah pilihannya. Hanya saja
semua itu sudah menjadi suratan takdir bagi dirinya dan tak bisa dihindari. Bahkan
karena ketidaksempurnaan yang melekat pada dirinya, membuat wanita itu
kehilangan mimpi dan terjebak pada sebuah hubungan menyakitkan yang tidak
pernah dia duga.
Novel ini menceritakan tentang Davina Laurencia yang harus menerima
takdir menikah dengan Devon Hendrico Jonthan,
sejak kecelakan yang merenggut segala
kesempurnaan hidup yang sempat dimiliki. Ayah Devon yang kebetulan menabrak Davina
merasa sangat bersalah, sehingga menuntut anaknya—Devon untuk menikahi Davina agar menjaga wanita itu yang
kini tak bisa lagi berjalan, sebagai wujud tanggungjawab.
Namun bagi Devon menikah dengan
Devina itu bencana. Kenapa harus dia yang bertanggung jawab atas kecacatan
Davina padahal dirinya pun kehilangan orang yang paling disayanginya—sang ayah.
“Karena kau, aku kehilangan satu-satunya anggota keluargaku. Tapi anehnya aku
harus bertanggujawab atas kecacatanmu!.” Selamanya dia akan membenci Devina. Dan dia
akan berusaha membuat Davina menuntut cerai dari dirinya. (hal. 12)
Davina memang sedih jika mengingat
segala tingkah polah Devon yang secara terang-terangan menganggap dirinya
musuh. Membencinya dengan sangat
kentara. Menyakiti Davina dengan suka bergonta ganti wanita. Tapi Davina mencoba bertahan demi sebuah
permintaan dari Alfredo Jonathan—ayah Devon.
Davina tetap memperlakukan Devon
dengan baik. Menyiapkan sarapan untuk suaminya, menyiapkan pakaian dan selalu
menunggu kepulangannya. Davina akan setia duduk di tepian jendela menunggu
Devon.
Hanya saja sikap Devon tak pernah
sekalipun lunak pada Davina. Dia kerap membentak dan mencaci maki Davina yang hanya bisa berada di kursi roda. Jika Devon bersikukuh bersikah seperti itu,
Davina juga tetap bersikukuh selalu memperlakukan Devon dengan baik. Dia bahkan
merawat suaminya dengan telaten ketika sakit. (hal. 33) Tapi bagi Devon, Davina hanyalah sebuah boneka
baginya—tidak lebih.
Sampai kemudian sosok Joshua datang
dan membawa Davina menjauh dari
hidupnya. Sebuah kenyataan yang
sejatinya sejak lama Devon tunggu. Namun entah kenapa dia merasa kehilangan
sosok boneka yang sering disakitinya—wanita yang tampak selalu tegar dan selalu
mengalah. Devon menjadi kacau dan Davina sendiri baru
menyadari sejak kehadiran Joshua, bahwa
mau tidak mau harus dia harus mengambil
keputusan yang terbaik demi kebaikan
semua orang.
Sebuah novel yang sangat menghibur
dan enak untuk dinikmati. Kisahnya diceritakan
dengan gaya bahasa santai dan renyah. Kejutan-kejutan
kecil yang ada dalam pergantian bab menjadi tambahan poin tersendiri. Memang
sih ada beberapa bagian yang bisa ditebak. Tapi ternyata penulis tetap memiliki
kejutan lain yang tidak terduga.
Serta ada beberapa pesan yang
termaktub dalam beberapa quote dalam novel ini.
“Tidak ada gunanya menyimpan dendam.” (hal. 179) Seseorang harus ikhlas. “Kematian
seseorang sudah diatur Tuhan.” (hal. 182) Serta dalam mencinta seseorang itu harus ikhlas.
“Cinta bukan persoalan fisik yang sempurna, melainkan hati dan penerimaan
seutuhnya.”
Hanya saja masih ada beberapa
kesalahan kepenulisan dan beberapa bagian yang saya rasa ada beberapa loncatan.
Setting-nya belum merasuk dalam feel cerita. Masih terasa
hanya samar-samar. Juga pemilihan nama Devon dan Davina jadi suka
sering beribet karena agak mirip. Tapi lepas dari semua itu, novel ini tetap
asyik dibaca. Apalagi pada penikmat genre romance. Sikap Devon yang evil
dan kebaikan Joshua, pasti akan membuat pembaca gregetan. Juga sikap Davina
yang terlalu baik pake banget.
Aku rasa
ini quote yang cukup manis
“Hati wanita tak ubahnya bagaikan kristal. Sekali, kau menghancurkannya, aka akan sangat
sulit bagimu membuatnya utuh kembali. Tapi, percayalah, jika kau bersabar dan
melakukannya dengan cara yang benar, meski tidak kembali utuh sepenuhnya,
setidaknya perjuanganmu tidak akan sia-sia.”
(hal. 190)
Srobyong, 3 Juni 2016
No comments:
Post a Comment