Thursday, 17 March 2016

[Review] Belajar Arti Ketulusan dan Persahabatan dari Novel



Judul               : Bunga Lara
Penulis             : Nay Kiara
Penyunting      : ShaBi Dan
Penerbit           : LovRinz Publishing
Cetakan           : Pertama, 2015
Halaman          : vi + 191 hlm
ISBN               : 978-602-04849-02-7

Endorsement

Ketika sahabat memintamu untuk menikahi untuk menikahi lelaki yang pernah membuatmu hampir bunuh diri, apa yang akan kamu lakukan? Ini novel tentang cinta, persahabatan dan pergaulan yang terjaga. ~Asma Nadia, Penulis 49 Buku Best Seller~

Kisah ini menyadarkan betapa hidup itu penuh kejutan. Seringkali terasa pahit. Membaca novel ini seolah ikut terbawa haru biru nasib-nasib tokoh-tokohnya, sekaligus belajar arti bersabar dan ikhlas serta bagaimana memupuk harapan. ~Arumi E, Penulis Novel Tahajud Cinta di Kota New York dan Hatiku Memilihmu~

~*~

Novel ini menceritakan tentang persahabatan antara dua insan—Rara dan Bunga dengan perbedaan karakter yang cukup mencolok. Mereka memang sama-sama hijaber tapi penampilan mereka cukup kontras—bertolak belakang. Jika Bunga termasuk penganut paham berkerudung lebar, tidak dengan Rara. Dia memakai jilbab namun tetap tampil casual.  Namun mereka tetap klop dan dekat.

Sebenarnya Rara pun sebenarnya dulu pernah berprasangka buruk dengan muslimah macam Bunga, tapi setelah perkenalannya dengan gadis baik itu, Rara baru tahu selama ini dia salah. Jadilah dia malah menjadi sahabat kental itu. Rara bahkan menjadi pembela bagi Bunga yang masih diperlakukan kurang sopan dan suka dicerca.

Masalah terjadi ketika setelah libur kuliah, mendadak Bunga dikabarkan tak sadarkan diri karena disangka melakukan percobaan bunuh diri. Tentu saja hal itu membuat Rara mencak-mencak. Kenapa sahabatnya itu dituduh melakukan perbuatan hina seperti itu? Di mata Rara, Bunga adalah sosok muslimah yang selalu bersahaja, solehah,  baik hati dan selalu pemaaf.  Bunga selalu shalat malam dan puasa senin-kamis. (hal. 24)

Tak terima dengan tuduhan, itu Rara mulai menyelidik apa yang terjadi dengan sahabatnya ketika dia tidak di Bogor. Penyelidikannya itu mempertemukan Rara dengan seorang mahasiswa Ilmu Komputer—David, masih keturunan bule.

Rara sempat mencurigai David, tapi nyatanya cowok itu cukup baik dan malah membantu Rara dalam menjaga Bunga dalam proses penyembuhan. Dan lambat laun mereka pun semakin dekat. David orangnya santai dan asyik.   Rara pun mencoret David dari daftar kecurigaan. Rara kemudian membidik teman-teman ceweknya juga mungkin teman Bunga sendiri, yang notabene dulu suka mengolok-olok Bunga. 

Atau mungkin ada mahasiwi yang tidak suka melihat kedekatannya Bunga dengan Lim hingga melakukan fitnah kejam pada sahabatnya? Memang Lim adalah mahasiswa yang cukup populer dan dikagumi para mahasiswi. Bahkan dia juga merasa  nyaman jika bersama Lim. Dan kebetulan karena satu organisasi Bunga cukup dekat dengan Lim.

Namun lagi-lagi kecurigaan Rara tidak terbukti. Dia pun akhirnya fokus membantu proses penyemuhan Bunga. Mungkin ketika sahabatnya sadar nanti dia akan menemukan jawaban yang sebenarnya. Tapi jawaban yang diterima Rara ketika Bunga sadar malah seperti godaman palu. Jadi selama ini dugaannya benar? Rara sungguh bingung dengan kenyataan yang dihadapinya. Lalu langkah apa yang kemudian akan diambil Rara? Siapa orang di balik kejadian bunuh diri yang menimpa Bunga?

Novel ini diceritakan dengan gaya yang cukup berbeda. Ada beberapa pesan yang bisa diambil dari kisah ini.  Yaitu ajakan untuk selalu bersabar, menjaga ucapan—lisan, bersikap tulus, serta berbaik sangka. Hanya saja masih ditemukan beberapa typo dan  ada beberapa bagian dalam novel ini yang masih terkesan loncat-loncat. Dan pemaparan tokoh berlum terlalu kuat.   

Lepas dari itu semua novel ini memiliki keunikan sendiri dan patut dibaca. Ada quote yang saya suka dari novel ini, mengajarkan arti kesabaran. “Ujian tidak hanya dalam kehidupan, tapi juga dalam sekolah atau kuliah. Jika menghadapi ujian kuliah saya sudah merasa berat bagaimana menghadapi ujian hidup yang pastinya akan lebih dari itu.” (172)

Srobyong, 17 Maret 2016



No comments:

Post a Comment