Dimuat di Kabar Madura, Rabu 30 Mei 2018
Judul : 17 Tahun Itu Bikin Pusing!
Penulis : Maya Lestari GF
Penerbit : Pastel Books
Cetakan : Pertama, Januari 2018
Tebal : 220 halaman
ISBN : 978-602-6716-08-8
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumni Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
Mengambil tema remaja, novel ini termasuk kategori
ringan. Gaya bahasanya sederhana, sehingga asyik dibaca tanpa perlu berpikir
keras. Eksekusi cerita pun tidak diragukan lagi. Manis dan menghentak. Penulis
asal Padang yang memang sudah memiliki jam terbang tinggi dalam karir
menulisnya, menghadirkan kisah yang sederhana, namun sangat menyentuh dari
berbagai sisi. Dalam buku ini kita akan dihibur dengan kisah perjuangan para remaja
yang ingin diakui kemampuannya. Tentang mimpi, persaingan, jurnalistik,
persahabatan, dan tidak ketinggalan bumbu cinta yang semakin membuat kisah ini
seru.
Bagi Andriana Tasanee—atau kerap dipanggil
Nana—menjadi pemred Majalah Finia di sekolahnya, Visi Andalas adalah mimpinya
sejak SMP. Karena dengan menduduki jabatan itu berbagai kesempatan emas akan
dia dapat. Dari acara bergengsi seperti
festival film, sastra, sampai aneka kegiatan remaja berprestasi. Bisa mengikuti
forum editor di Sumbar. Serta tidak ketinggalan adalah jabatan itu bisa membuka
pintu masuk Perguruan Tinggi terkemuka di negeri ini (hal 11).
Untuk mendapat jabatan itu, dia harus bersaing
dengan Amanda Rusli. Sosok yang sejak awal tidak pernah dia sukai, karena gadis
itu selalu menempel pada Sani, sahabatnya—yang diam-diam Nana sukai. Nana yang
awalnya sudah sangat yakin bahwa dirinya akan menjadi pemenang, ternyata
kenyataan yang ada malah sebaliknya. Dia
kalah. Amanda-lah yang terpilih sebagai pemred Majalah Finia.
Kenyataan itu tentu saja membuat Nana kecewa.
Apalagi dia tahu bahwa sahabatnya, Sani ternyata lebih memilih memberikan hak
suaranya pada Amanda dibanding dirinya. Di sini Nana merasa dikhianati. Tapi
tetap saja dia tidak bisa mengubah keputusan yang ada.
Tidak hanya gagal menjadi pemred, karena kejadian yang
tidak terduga, Nana harus menerima detensi membersihkan toilet, dan bahkan
masuk di Finia sebagai siswi paling malang dan berakhir dimusuhi seantero
sekolah. Dia dinggap sebagai orang yang
tidak bisa menerima kekalahan dan iri dengan prestasi Amanada.
Beruntung dia memiliki sahabat seperti Sonia, yang
selalu setia dan terus memberi dukungan pada Nana. “Orang-orang hebat selalu
menemui masa-masa gelap dalam hidupnya. Dikalahkan. Ditinggalkan. Tapi, yang
bikin mereka beda adalah enggak berhenti. Mereka tetap berjuang mencapai
cita-cita. Semakin kuat dijatuhkan ke lantai, semakin tinggi pantulannya.
Enggak usah pikiran kata orang. Fokus saja ke impianmu.” (hal 60).
Selain itu ada pula kakaknya, Rifat yang tidak segan
memberi nasihat pada adiknya agar mau intropeksi diri. Belajar dari berbagai
kejadian yang telah menimpanya dan mulai
memperbaiki diri.
“Satu-satunya cara untuk berhasil adalah dengan
menaklukkan diri sendiri. Buatlah prestasi setinggi mungkin, tapi tetaplah
rendah hati! Jangan harap kamu bisa sukses suatu hari nanti, jika kamu selalu
keras kepala. Bagaimanapun, orang-orang berhasil selalu punya ciri khusus :
rendah hati dan enggak kenal kata menyerah.” (hal 87-88).
Pada titik itu, akhirnya Nana mulai membuka
pikirannya. Dia mulai berdamai dengan diri sendiri dan siap berjuang lagi demi
meriah impiannya—tetap menulis dan bergelut dalam dunia jurnalistik. Meski
tanpa Finia dia masih bisa menunjukkan kemampuanya. Meski pada jalan itu, Nana
masih harus berhadapan dengan Amanda. Karena entah kenapa gadis itu selalu
berusaha menghalang-halangi jalan Nana.
Apik, menarik dan menginspirasi. Diceritakan dengan
sudut pandang orang pertama, membuat saya ikut merasakan bagaimana posisi dan
perasaan Nana. Settingnya pun apik dengan latar sekolah Visi Andalan yang luar
biasa. Dan bisa saya bilang novel ini sangat manusiawi. Karena dalam kisah ini
penulis tidak membuat tokoh utama sebagai sosok yang sempurna. Dan untuk bumbu cinta di sini, meski
sangat standar tapi tetap bikin gregetan.
Membaca novel ini saya banyak belajar tentang dunia
jurnalistik. Selain itu saya belajar untuk menjadi pribadi yang sabar dan bisa
menahan diri. “Orang hebat adalah
orang yang bisa menahan amarah. Orang yang tetap bisa berpikir jernih saat
keadaan tidak berjalan seperti yang diharapkan.” (hal 129). Selain itu dari kisah ini, kita diajari untuk
menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dalam meraih cita-cita. Kita harus
yakin selalu ada jalan untuk meraihnya, jika kita mau berjuang.
Srobyong, 20 Februari 2018
mengulas buku..
ReplyDeletewow, sebuah pekerjaan yang tidaklah mudah bagi saya..
Terima kasih Mas. bari belajar nulis resensi :D
Delete