Friday, 8 June 2018

[Resensi] Potret Remaja yang Tidak Mudah Menyerah Meraih Mimpi

Dimuat di Kabar Madura, Rabu 30 Mei 2018



Judul               : 17 Tahun Itu Bikin Pusing!
Penulis             : Maya Lestari GF
Penerbit           : Pastel Books
Cetakan           : Pertama, Januari 2018
Tebal               : 220 halaman
ISBN               : 978-602-6716-08-8
Peresensi         : Ratnani Latifah. Alumni Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara

Mengambil tema remaja, novel ini termasuk kategori ringan. Gaya bahasanya sederhana, sehingga asyik dibaca tanpa perlu berpikir keras. Eksekusi cerita pun tidak diragukan lagi. Manis dan menghentak. Penulis asal Padang yang memang sudah memiliki jam terbang tinggi dalam karir menulisnya, menghadirkan kisah yang sederhana, namun sangat menyentuh dari berbagai sisi. Dalam buku ini kita akan dihibur dengan kisah perjuangan para remaja yang ingin diakui kemampuannya. Tentang mimpi, persaingan, jurnalistik, persahabatan, dan tidak ketinggalan bumbu cinta yang semakin membuat kisah ini seru.

Bagi Andriana Tasanee—atau kerap dipanggil Nana—menjadi pemred Majalah Finia di sekolahnya, Visi Andalas adalah mimpinya sejak SMP. Karena dengan menduduki jabatan itu berbagai kesempatan emas akan dia dapat. Dari acara bergengsi  seperti festival film, sastra, sampai aneka kegiatan remaja berprestasi. Bisa mengikuti forum editor di Sumbar. Serta tidak ketinggalan adalah jabatan itu bisa membuka pintu masuk Perguruan Tinggi terkemuka di negeri ini (hal 11).

Untuk mendapat jabatan itu, dia harus bersaing dengan Amanda Rusli. Sosok yang sejak awal tidak pernah dia sukai, karena gadis itu selalu menempel pada Sani, sahabatnya—yang diam-diam Nana sukai. Nana yang awalnya sudah sangat yakin bahwa dirinya akan menjadi pemenang, ternyata kenyataan yang ada malah sebaliknya.  Dia kalah. Amanda-lah yang terpilih sebagai pemred Majalah Finia.

Kenyataan itu tentu saja membuat Nana kecewa. Apalagi dia tahu bahwa sahabatnya, Sani ternyata lebih memilih memberikan hak suaranya pada Amanda dibanding dirinya. Di sini Nana merasa dikhianati. Tapi tetap saja dia tidak bisa mengubah keputusan yang ada.

Tidak hanya gagal menjadi pemred, karena kejadian yang tidak terduga, Nana harus menerima detensi membersihkan toilet, dan bahkan masuk di Finia sebagai siswi paling malang dan berakhir dimusuhi seantero sekolah.  Dia dinggap sebagai orang yang tidak bisa menerima kekalahan dan iri dengan prestasi Amanada.

Beruntung dia memiliki sahabat seperti Sonia, yang selalu setia dan terus memberi dukungan pada Nana. “Orang-orang hebat selalu menemui masa-masa gelap dalam hidupnya. Dikalahkan. Ditinggalkan. Tapi, yang bikin mereka beda adalah enggak berhenti. Mereka tetap berjuang mencapai cita-cita. Semakin kuat dijatuhkan ke lantai, semakin tinggi pantulannya. Enggak usah pikiran kata orang. Fokus saja ke impianmu.” (hal 60).

Selain itu ada pula kakaknya, Rifat yang tidak segan memberi nasihat pada adiknya agar mau intropeksi diri. Belajar dari berbagai kejadian yang telah menimpanya dan  mulai memperbaiki diri.

“Satu-satunya cara untuk berhasil adalah dengan menaklukkan diri sendiri. Buatlah prestasi setinggi mungkin, tapi tetaplah rendah hati! Jangan harap kamu bisa sukses suatu hari nanti, jika kamu selalu keras kepala. Bagaimanapun, orang-orang berhasil selalu punya ciri khusus : rendah hati dan enggak kenal kata menyerah.” (hal 87-88).

Pada titik itu, akhirnya Nana mulai membuka pikirannya. Dia mulai berdamai dengan diri sendiri dan siap berjuang lagi demi meriah impiannya—tetap menulis dan bergelut dalam dunia jurnalistik. Meski tanpa Finia dia masih bisa menunjukkan kemampuanya. Meski pada jalan itu, Nana masih harus berhadapan dengan Amanda. Karena entah kenapa gadis itu selalu berusaha menghalang-halangi jalan Nana.  

Apik, menarik dan menginspirasi. Diceritakan dengan sudut pandang orang pertama, membuat saya ikut merasakan bagaimana posisi dan perasaan Nana. Settingnya pun apik dengan latar sekolah Visi Andalan yang luar biasa. Dan bisa saya bilang novel ini sangat manusiawi. Karena dalam kisah ini penulis tidak membuat tokoh utama sebagai sosok yang sempurna.  Dan untuk bumbu cinta di sini, meski sangat  standar tapi tetap  bikin gregetan.

Membaca novel ini saya banyak belajar tentang dunia jurnalistik. Selain itu saya belajar untuk menjadi pribadi yang sabar dan bisa menahan diri. “Orang hebat  adalah orang yang bisa menahan amarah. Orang yang tetap bisa berpikir jernih saat keadaan tidak berjalan seperti yang diharapkan.” (hal 129).  Selain itu dari kisah ini, kita diajari untuk menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah dalam meraih cita-cita. Kita harus yakin selalu ada jalan untuk meraihnya, jika kita mau berjuang.

Srobyong, 20 Februari 2018 

2 comments:

  1. mengulas buku..
    wow, sebuah pekerjaan yang tidaklah mudah bagi saya..

    ReplyDelete