Wednesday 17 February 2021

Resensi - Novel Psikologis; Menganalisis Sebuah Kebohongan


Judul                : Mitomania : Sudut Pandang

Penulis             : Ari Keling

Penerbit          : Indiva Media Kreasi

Cetakan           : Pertama, Januari 2021

Tebal               : 256 halaman

ISBN                 : 978-623-253-028-7

Harga              : 65.000

Peresensi         : Ratnani Latifah

“Kebohongan yang dilakukan itu tidak baik karena bisa menimbulkan masalah yang lebih besar, menjadi lebih rumit, atau malah membuat masalah baru.” (hal 145-146).

Pernahkah kita menyadari bahwa kebiasaan berbohong ternyata bisa menjadi sebuah penyakit yang mengerikan? Novel yang terpilih sebagai ‘Novel Favorit’ dalam Kompetisi Menulis Novel Remaja Indiva 2019 ini menyibak tentang fakta menarik kebiasaan berbohong.

“Saya menduga kalau Kefi mengidap salah satu penyakit bohong patologis, yaitu mitomania,dan sepertinya  ini yang akut.” (hal 133).

Bisa kita bayangkan apa itu penyakit bohong patologis mitomania? Dengan menarik penulis menceritakan masalah ini dengan latar cerita masa remaja, yang lucu, seru dan tidak terduga.  Kita akan diajak menganalisis kebohongan yang telah dilakukan oleh salah satu murid di SMA Jaya Nusantara.

Kefindra—yang lebih sering disapa Kefi mengaku bahwa selama bersekolah di SMA Jaya Nusantara, ia telah mengalami bulliying—ia mendapat kekerasan verbal, non verbal bahkan secara fisik—oleh Amanda, Lisa dan Morgan. Karena masalah itu, Kefi melaporkan perundungan itu kepada guru Bimbingan  dan Konseling, Pak Joni. Ia menjelaskan secara singkat bagaimana proses perundungan yang ia alami dan menunjukkan bukti legam di pipinya.

Untuk menindak lanjuti pelaporan Kefi, akhirnya Pak  Joni memanggil Amanda, Lisa dan Morgan untuk menyelesaikan masalah. Namun pengakuan yang dipaparkan Kefi, bisa dibantah oleh Amanda, Lisa dan Morgan.

Inilah tantangan yang harus dipecahkan oleh Pak Joni, selalu guru Bimbingan dan Konseling, juga Pak Beni, selaku kepala sekolah. Mereka harus menganalisis cerita dari empat muridnya untuk menemukan siapa sebenarnya murid  mereka yang telah berbohong. Dan kenapa harus sampai melakukan hal semacam itu? Karena dari cara mereka bercerita Pak Joni mencurigai bahwa bisa jadi di antara muridnya ada yang mengalami penyakit kejiwaan akut.

Wow! Menarik dan seru. Ide penulis sangat keren. Saya sudah cukup sering membaca novel remaja, tetapi jarang   penulis yang mengangkat tema  seperti ini. Biasanya kisah novel remaja lebih pada kisah percintaan—dari kesalahpahaman atau pertengkaran lalu berbuah jatuh cinta. Ups.  Namun tidak dengan novel ini, meski genre remaja, tetapi ceritanya benar-benar out of the box. Ada memang selipan kisah cintanya, tapi itu bukanlah point yang diutamakan dalam kisah ini.

Dipaparkan menggunakan alur maju mundur, semakin membuat cerita ini menarik dan penasaran. Meski kebenarannya memang cukup cepat ditemukan, tetapi masalah-masalah lain yang disiapkan penulis pun tidak kalah memukau. Membaca novel ini kita akan diberi banyak kejutan yang tidak terduga—siapa pelakunya dan juga latar belakang masalahnya.

Membaca cerita dan sudut pandang Kefi, Amanda, Lisa dan Morgan secara bergantian, akan membuat kita ikut menebak. Siapa sebenarnya si biang masalah. Mengingat biasanya seorang korban bulliying cenderung penakut dan mudah gugup. Akan tetapi masalahanya selama melihat dan mengamati gerak tubuh keempat murid tersebut, Pak Joni dan Pak Beni sungguh bingung. Karena keempatnya bercerita dengan sungguh-sungguh dan penuh kejujuran. Tidak ada tanda-tanda kebohongan.

Secara keseluruhan novel ini sangat menarik. Hanya saja  novel ini lebih terasa tell-nya, karena memang cukup banyak bagian narasi. Mengingat di sini kita seakan-akan menjadi pendengar dari cerita dari para tokoh.  Namun begitu hal itu tidak mengurangi keseruan dalam upaya memecahkan masalah yang ada.  Setiap membalik halaman kita akan bertanya-tanya  siapa yang salah dan apa latar belakang seseorang bisa memiliki penyakit kejiwaan?

“Penyebab  seseorang bisa mengidap mitomania akut ini yang pertama ... kegagalan dalam percintaan, pekerjaan, pertemanan, dan studi bisa menjadi pemicu seseorang berusaha menghindari dari masalah-masalah itu, sehingga dia menjadi pembohong patologis untuk  melarikan diri dari semua yang dialaminya itu. Bisa juga karena faktor kegagalan dalam hidupnya, terkhusus masalah keluarga, di mana semua orang berharap mempunyai keluarga yang harmonis. Terus ... kurang kasih sayang, rasa tidak puas, dan rendah diri juga bisa menjadi penyebab seseorang mengidap mitomania.” (hal 144).

Lepas dari semuanya, saya hanya merasa kurang sreg dengan masalah panggilan seorang ibu pada anaknya dengan panggilan “Dik?” bukankah harusnya, “Nak?”

“Dik, sedang apa?” tanyanya sambil menutup kembali pintu berwarna cokelat itu. (hal 162).

Dari segi salah tulis novel ini cukup bersih. Kayaknya saya hanya menemukan satu kesalahan soal penulisan yang harusnya ditulis kataè tapi ditulis kaya.

“Jadi, cerita fakta itu bercampur dengan khayalanannya,” kaya Pak Joni kembali menganalisis. è Kata  (Tapi itu nggak terlalu menganggu dengan jalannya cerita). (hal 40).

Bagi yang suka misteri psikologis, saya sarankan untuk membaca novel ini.  Apalagi dari novel ini kita akan menemukan banyak sekali pembalajaran hidup, motivasi dan inspirasi. Di sini kita belajar bahwa cara mendirik anak dan keluarga yang harmonis itu akan berpengaruh pada sikap dan kondisi jiwa anak. Lahir dalam keluarga broken home, memiliki orangtua yang sering melakukan kekerasan itu ternyata bisa memicu kondisi psikologi yang buruk bagi anak.

Oleh sebab itu, bagi orangtua sebelum memilih berpisah seyogyanya harus memikirkan bagaimana dampaknya kepada anak. Kalau pun jalan terbaik memang pisah, sebaiknya anak tetap diberi kasih sayang sebagaimana mestinya.  Karena rasa kurang kasih sayang pun berpengaruh pada jiwa anak. Sosok ayah dan ibu tetap selalu dibutuhkan anak—di mana pun dan kapan pun. Novel ini jleb banget soal masalah parenting. Setidaknya setelah membaca ini kita harus mulai belajar soal parenting juga.

Selain itu, melalui novel ini kita bisa belajar bahwa kita tidak boleh terlalu memanjakan anak dan menggunakan kekuasaan untuk menyelesaikan masalah. Di sini penulis menyindir soal masalah kedudukan orangtua yang sering membuat seseorang merasa sombong—contohnya dari sikap Amanda.

Kita pun diingatkan untuk menjadi orangtua yang bijaksana dengan tidak memaksakan kehendak—sebagaimana sikap Bu Amira, ibunya Kefi.  Orangtua harus bijak dan bertanggung jawab.  Lalu ada pula sentilan agar kita tJangan menjadi pembohong, berani mengakui kekalahan, jangan sombong dan banyak lagi.

Lebih dari itu, pengetahuan kita pun semakin bertambah karena kita jadi mengetahui soal mitomania.

“Mitomania akut ini adalah kebohongan patologis paling ekstrem. Karena penderitanya menganggabungkan fakta dan fantasi. Bisa jadi, dia menceritakan kebohongan mengenai sesuatu yang dikhayalkan atau diimpikannya. Dia menganggap kebohongannya itu adalah sebuah fakta, sehingga dia enggak bisa membedakan mana fiktif dan kenyataan.” (hal 133).

Srobyong, 17 Februari 2021


 

4 comments:

  1. Replies
    1. Iya Mbak. seru kita diajak penulis untuk ikut menjawab misteri itu sendiri. Menebak siapa yang berbohong dan apa alasannya.

      Delete
  2. ide novel ini yang menarik dan berbeda dengan novel remaja umumnya.
    btw, salam kenal. senang bisa berkunjung kesini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul sekali Mbak. Idenya unik.

      Salam kenal kembali Mbak. Selamat datang di rumah sederhanya saya. ^_^

      Delete