Dimuat di Jateng Pos, Minggu 7 Mei 2017
Judul : Catatan Hati Pejuang Kanker
Penulis : Priska Siagian
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Pertama, Agustus 2016
Tebal : xxxvii + 148 hlm
ISBN : 978-602-03-2875-1
Peresensi : Ratnani Latifah. Alumna Universitas
Islam Nahdlatul Ulama, Jepara.
Kanker adalah penyakit mematikan yang
dilawan semua orang. Berdasarkan riset, setiap tahunnya ada 8,2 juta orang di
seluruh dunia meninggal karena kanker. Oleh sebab itu, jika divonis menderita kanker,
hampir semua orang indentik menganggap kesempatan hidup di dunia akan segera
berakhir. Hal ini-lah yang kemudian membuat sebagian para penderita kanker
merasa takut dan putus asa.
Buku ini mencoba memaparkan agar
tidak takut dengan penyakit kanker. Ketika
kanker menggerogoti, seyogyanya harus diatasi dengan kepala dingin. Yakni yakin,
bahwa kanker itu bisa disembuhkan. Ada kisah Halida. Dia menderita kanker payudara stadium 3B. Namun dia sama sekali tidak merasa takut dan
khawatir ketika dokter memberinya vonis tentang penyakitnya. Dia menanggapinya
dengan tenang. Dia percaya, kesempatan hidup orang yang sehat dan orang yang
sakit itu sama. Umur itu urusan Tuhan
dan semua menunggu antrean untuk dipanggil. Selama belum dapat giliran, tentu
harus berusaha (hal 3).
Hal inilah yang membuat Halida
memiliki semangat juang tinggi dalam melakukan berbagai pengobatan. Di tahun
2011 Halida memutuskan terbang ke
Guangzhou untuk berobat di FUDA Cancer
Hospital. Di sana dia mendapat perawatan yang lebih ramah. Dia tidak perlu
dikemoterapi sistematik—kemoterapi yang diambil melalui pil atau suntikan jaruh
ke pembuluh darah dan otot. Karena cara itu bisa membuat obat merusak setiap
sel sehat di seluruh tubuhnya.
Di FUDA dia dirawat menggunakan kemoterapi
lokal—langsung mengalirkan obat kemoterapi ke pembuluh darah kanker sehingga
tidak ada “makanan” lain yang didapat sel kanker (hal 5-6). Halida melakukan
enam kali kemoterapi, satu kali cryosurgery,
dan operasi pengangkatan payudara. Semua dia lalui dengan penuh semangat juga
sabar. Sampai kemudian dia melakukan PET TC—pemeriksaan untuk melihat sel-sel kanker berhasil
dikalahkan atau tidak. Dan ternyata dia dinyatakan telah bersih 100 persen dari
sel-sel kanker.
Kisah lainnya berasal dari Litasari
Kawita. Pertama mendapati dirinya mengidap kanker pankreas, Lita sangat kaget.
Dia terus bertanya sudah stadium berapa, apakah sudah menyebar dan harus
melakukan operasi. Dia sangat paham karena dulunya sang ibu juga terjangkit
kanker. Dia pun langsung teringat dengan
kematian yang seolah mengetuk pintu dengan keras (hal 17).
Dalam keadaan itu Lita sempat
mengalami kebuntuan dalam usaha pengobatannya. Tumor pankreasnya Ca 19-9 juga melompat
tajam. Awalnya hanya sekitar 200-an, dan meski sudah melakukan kemoterapi
delapan kali, tapi hasilnya malah berada di atas 1000. Baru pada pertengahan
Mei 2013, Lita mengetahui tentang rumah sakit FUDA dan melakukan pengobatan di
sana dengan melakukan cryosurgery—teknologi invasif minimal, penggunaan
suhu ekstrim untuk mematikan jaringan yang sakit—di sini berarti sel-sel
kanker.
Di sini dia mengetahui kalau kanker
pankreasnya sudah memasuki stadium 4 dan telah menyebar ke hati (hal 24). Namun
Lita tetap berusaha melakukan yang terbaik untuk pengobatannya, hingga kemudian
tumor marker-nya turun 30 persen. Hal itu membuatnya semakin berusaha
keras, dia tidak takut melawan kanker.
Tidak kalah menarik kisah Shelly
Mahara. Dia masuk berusia 18 tahun tapi sudah terjangkit kanker ovarium stadium
4. Dokter memvonis batas usianya tinggal
tiga bulan. Tapi Shelly tidak percaya begitu saja. Dia meyakini jalan hidupnya masih panjang. Di
sini dia berjuang keras untuk mengalahkan penyakit itu. Dia harus menjalani dua metode kemoterapi
sekaligus. Yaitu kemoterapi lokal dan kemoterapi konvensional. Perjuangan
Shelly pun terbayar, sejak memulai pengobatan Maret 2006 lima bulan kemudian
dia dinyatakan bebas kanker (hal 78).
Selain tiga kisah ini masih ada enam kisah inspiratif lainnya. Bagaimana
perjuangan para penyintas kanker dalam usaha meraih kesembuhan. Mereka
mengajarkan sakit itu bukan untuk ditangisi dan terpuruk dalam kesedihan. Tapi
harus dilawan dengan usaha berobat tidak lupa ditambah berdoa kepada Tuhan.
Karena bagaimana pun masalah kematian hanya Tuhan-lah yang tahu. Sebuah buku yang sangat inspiratif.
Srobyong, 1 April 2017
Nyimaak
ReplyDeleteMonggo Mbak. Semoga bermanfaat
Delete