Saturday, 3 September 2016

[Review] Cacatan Perjalanan Hidup Seorang Gadis




Judul               : Seribu Kepak Sayap Patahmu
Penulis             : Elfi Ratna Sari
Penyunting      : Anggrek Lestari
Tata Letak       : Kudo
Penerbit           : LovRinz Publishing
Halaman          : vi + 279 hlm
Cetakan           : Pertama, Juli 2016



Buku ini merupakan pemenang lomba dari mega event yang diadakan LovRinz Publishing 2015 dalam kategori novel non-fiksi.  Mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang gadis asal pati. Tentang keluarga, mimpi dan keikhlasan. Diceritakan dengan gaya bahasa yang renyah membuat asyik untuk dibaca.

Terlahir sebagai anak terakhir membuat Elfi  memiliki sifat agak manja. Apa yang diharapkan selalu ingin dikabulkan.  Untungnya sang ibu dan sang bapak selalu berusaha memenuhi keinginan di kecil itu. Meski harus berbanting tulang asal gadis itu tersenyum riang mereka sudah bahagia.  Ditambah lagi  dia memiliki kakak yang sering dipanggil Mas Di—Juadi yang juga selalu menyayanginya.

Hanya saja kebahagiaan kecil harus  terengut ketika Elfi berusia tujuh tahun, dia harus menelan kegetiran hidup. Bapaknya meninggal karena terkena penyakit leukimia. (hal. 90) Pada masa itu, perekonomian keluarga yang memang sejak dulu sulit, namun perlahan naik akhirnya kembali terseok karena kepergian sang tulang punggung. Beruntung Elfi memiliki seorang ibu yang kuat, memiliki seripu kepak sayap yang selalu berusaha membahagiakan kedua anak mereka dengan segenap kemampuannya. Namun tetap saja hidup sebagai janda itu agak sulit.

Sampai pada suatu waktu seseorang datang menjadi ayah kedua bagi Elfi. Meski dia sempat marah dan tidak setuju, tergerusnya waktu Elfi menyadari bahwa dia tidak bisa menilai orang lain hanya dari luarnya. Bapak barunya itu sangat baik dan menyayanginya.   Dia pun mulai membuka diri.  Di masa itu Elfi sudah lulus Aliyah, sebenarnya dia ingin melanjutkan kuliah, hanya saja ternyata sang ibu tidak meridhai keinginannya. Katanya seorang perempun itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi nanti akan ribet, belum lagi ketika di pertengahan kuliah ada seseorang yang melamar Elfi. Apa yang harus dilakukan? Belum lagi bagaimana jika Juadi iri melihat Elfi bisa kuliah dan kakaknya tidak? Begitula pemikrian ibu Elfi.  (hal. 257) Merasa tidak ada harapan, akhirnya Elfi mencoba ikhlas melepaskan mimpi. Hanya untuk mimpi itu, karena selain berharap bisa melanjutkan kuliah Elfi masih memiliki mimpi lainnya. Apakah mimpi satu itu bisa diwujudkan Elfi?  

Selain pertanyaan itu sejatinya masih banyak teka-teki lain yang membuat penasaran dalam buku ini. Ada kisah cinta monyet Elfi, tentang fitnah kejam yang pernah menimpa, pengalamanya dalam dunia pekerjaan dan berbagai kisah lain yang menjadi bumbu menarik dalam buku ini.

Membaca buku ini saya merasa menyibak pengalaman hidup sendiri. Misalnya saja ketika melihat pergolakan batin Elfi ketika harus bekerja di Jepara menghadapi bos dengan sifat yang akan keras. Tapi memang begitulah dunia kerja, mungkin satu banding seribu ada atasan yang baik dan menghargai bawahannya. Istilahnya nguwongke uwong.

Tidak ada gading yang tidak retak. Dalam buku ini masih ditemukan beberapa typo, lalu  beberapa bagian yang terasa kurang karena serasa tidak tuntas dan berakhir gantung—seperti dalam kisah pencurian di Koperasi dan masalah pencurian.  Lepas dari itu kisah ini mengajarkan untuk selalu sabar dan ikhlas dalam menghadapi berbagai masalah. Serta mengajarkan untuk berbakti pada orangtua—khususnya seorang ibu. Karena bagaimana pun surga berada di telapak kaki ibu.
Beberapa quote menarik dalam dalam novel ini adalah

“Anak gadid tak pantas keluar rumah malam-malam.” (hal. 3)

“Mereka yang mencontek tentu akan malas belajar, menggantungkan diri pada teman yang pintar. Sedangkan menconteki, sama saja mendukung generasi malas belajar. Sayangnya, teman yang pelit berbagi jawaban kemungkinan akan dijauhi.” (hal. 127)

“Kekuatan Allah lebih besar daripada kekuatan setan.” (hal. 209)

“Jangan pernah memakan yang bukan hakmu.” (hal. 229)

“Bukankah Tuhan menciptakan kesedihan agar aku bersyukur saat kebahagiaan datang?  Dan Dia  menciptakan bahagia agar aku tak putus asa saat kesedihan tiba.  Aku percaya, Allah menciptakan keduanya  secara beriringan. (hal. 250)

Srobyong, 3 September 2016



No comments:

Post a Comment