Wednesday, 24 August 2016

[Resensi] Pengorbanan, Persahabatan dan Kasih Sayang


Judul               : Two Souls
Penulis             : Elvira Natali
Editor              : Ruth  Priscilia. A
Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : Pertama, Juni 2016
Halaman          : 232 hlm
ISBN               : 978-602-03-2676-4
Peresensi         : Ratnani Latifah, penikmat buku dan penyuka literasi Almuni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.

Memiliki sebuah kelebihan yang bisa digunakan untuk menyelamatkan orang lain memang sebuah anugerah. Namun siapa sangka ternyata jika kelebihan yang digunakan terus menerus,  lambat laun bisa saja mencelakakan diri sendiri. Lalu  haruskah kelebihan itu tetap digunakan untuk menolong orang lain?

Membaca novel ini penulis mengajak pembaca untuk belajar arti pengorbanan, persahabatan dan kasih sayang. Mengambil genre fantasi, membuat novel ini menarik. Mengingat untuk penulis Indonesia sendiri masih jarang mengambil tema ini.  Kelebihan lainnya adalah  selain memasukkan bumbu fantasi, penulis tetap memberikan porsi genre lain seperti romance, persahabatan, musik  dan keluarga dengan pas.

Novel ini berkisah tentang Arlesta yang ternyata memiliki kekuatan luar biasa—dia adalah seorang Victer—keturunan Dewa Dionyus yang mampu membangkitkan jiwa-jiwa dari kematian.  Hanya saja setiap dia menyelamatkan orang dari kematian, maka usianya Arlesta akan berkurang empat tahun.  Mengetahui dia memiliki kekuatan ini Arlesta berharap bisa menghidupkan ayahnya. Sayangnya kekuatannya itu tidak berlaku bagi keluarganya sendiri.  Maka setelah ayahnya meninggal dia tinggal bersama Tante  Teresa yang sudah dia anggap ibu sejak kecil juga sahabat kedua orangtuanya.

Tante Teresa memiliki  toko kue  bernama Heavenly Cakes—yang kedepannya akan menjadi kafe juga. (hal. 21) Setelah kelulusan kuliahnya, Arlesta memutuskan membantu bisnis Tante Teresa sebelum dia mendapat pekerjaan.  Dan siapa sangka dari membantu mengurusi Heavenly Cakes, Arlesta malah bisa tertemu sahabatnya di zaman  sekolah dasar—Sandra.  Dari pertemuaannya dengan Sandra, Arlesta malah ditawari untuk bekerja sebagai salah satu guru bahasa Inggris khusus untuk para guru di Adagio Music Institute. (hal. 81)

Kehidupan Arlesta yang awalnya damai-damai saja mendadak menjadi penuh warna.  Pertemuannya kembali dengan Sandra ternyata membuka kesempatannya untuk berkenalan dengan Nick—pianis tampan yang entah kenapa sangat familiar di mata Arlesta. Cowok itu entah kenapa bisa membuatnya membuka diri setelah lama menutup hati sejak kepergian Roger—mantap pacarnya.

Namun sebuah kenyataan lain bahwa Sandra juga mencintai Nick, membuat Arlesta bimbang. Tentu saja dia tidak ingin menghancurkan persahabatannya dengan Sandra hanya karena urusan cowok. Hatinya bergumam, “Ia tak berhak atas cinta seorang cowok yang disukai sahabatnya sendiri.” (hal. 154)

Arlesta pun berusaha menjauhi Nick demi Sandra.  Pertengkaran antara Arlesta dan Nick pun tak dapat terhindarkan. Nick menuntut penjelasan kenapa Arlesta tak bisa menerima cintanya. Sedangkan Arlesta memilih menghindar. Awal petaka yang kemudian membuat Arlesta menyesal. Nick mengalami kecelakaan saat bermain arung jeram. (hal. 2018)   Arlesta sungguh terpukul. Hanya saja kali ini dia tidak bisa menyelamatkan Nick dengan kekuatannya seperti yang dilakukannya pada Tante Teresa, Koni—kucingnya atau Mia—sahabatnya dulu. Entah apa yang terjadi.

Dipaparkan dengan bahasa yang renyah membuat novel ini asyik untuk dinikmati. belum lagi kejutan-kejutan yang diberikan penulis dari awal kisah hingga menuju ending. Meski ada beberapa bagian yang mudah tertebak, namun tentu saja hentakan pada akhir naskah akan membuat pembaca kaget dengan apa yang disiapkan penulis.

Tak banyak kesalahan tulis dalam novel ini. Hanya beberapa bagian saja yang terasa agak loncat-loncat. Tapi lepas dari itu buku ini recomended untuk dibaca.  Selain mengajarkan untuk menjadi pribadi yang rela berkoban, menjaa persahabatan, novel ini juga mengajarkan untuk selalu berusaha dalam menjalani hidup penuh liku tanpa mudah putus asa dan tidak gegabah dalam menyikapi masalah. “Apa pun yang terjadi dalam hidup, teruslah berjalan ke depan,  bahkan dengan melawan arus sekali pun. Namun juga jadilah tenang dan jernih dalam menyikapi masalah. Tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan, apalagi hanya demi menuruti ego.” (hal. 53)

Srobyong, 19 Agustus 2016 

Dimuat di Radar Sampit, Minggu 21 Agustus 2016



No comments:

Post a Comment