Judul : Two Souls
Penulis : Elvira Natali
Editor
: Ruth Priscilia. A
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Juni 2016
Halaman : 232 hlm
ISBN : 978-602-03-2676-4
Peresensi : Ratnani Latifah, penikmat buku dan
penyuka literasi Almuni Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara.
Memiliki sebuah kelebihan yang bisa
digunakan untuk menyelamatkan orang lain memang sebuah anugerah. Namun siapa
sangka ternyata jika kelebihan yang digunakan terus menerus, lambat laun bisa saja mencelakakan diri
sendiri. Lalu haruskah kelebihan itu
tetap digunakan untuk menolong orang lain?
Membaca novel ini penulis mengajak
pembaca untuk belajar arti pengorbanan, persahabatan dan kasih sayang. Mengambil
genre fantasi, membuat novel ini menarik. Mengingat untuk penulis Indonesia
sendiri masih jarang mengambil tema ini.
Kelebihan lainnya adalah selain
memasukkan bumbu fantasi, penulis tetap memberikan porsi genre lain seperti
romance, persahabatan, musik dan
keluarga dengan pas.
Novel ini berkisah tentang Arlesta
yang ternyata memiliki kekuatan luar biasa—dia adalah seorang Victer—keturunan
Dewa Dionyus yang mampu membangkitkan jiwa-jiwa dari kematian. Hanya saja setiap dia menyelamatkan orang
dari kematian, maka usianya Arlesta akan berkurang empat tahun. Mengetahui dia memiliki kekuatan ini Arlesta
berharap bisa menghidupkan ayahnya. Sayangnya kekuatannya itu tidak berlaku
bagi keluarganya sendiri. Maka setelah
ayahnya meninggal dia tinggal bersama Tante
Teresa yang sudah dia anggap ibu sejak kecil juga sahabat kedua
orangtuanya.
Tante Teresa memiliki toko kue
bernama Heavenly Cakes—yang kedepannya akan menjadi kafe juga. (hal. 21)
Setelah kelulusan kuliahnya, Arlesta memutuskan membantu bisnis Tante Teresa
sebelum dia mendapat pekerjaan. Dan
siapa sangka dari membantu mengurusi Heavenly Cakes, Arlesta malah bisa tertemu
sahabatnya di zaman sekolah
dasar—Sandra. Dari pertemuaannya dengan
Sandra, Arlesta malah ditawari untuk bekerja sebagai salah satu guru bahasa
Inggris khusus untuk para guru di Adagio Music Institute. (hal. 81)
Kehidupan Arlesta yang awalnya
damai-damai saja mendadak menjadi penuh warna.
Pertemuannya kembali dengan Sandra ternyata membuka kesempatannya untuk
berkenalan dengan Nick—pianis tampan yang entah kenapa sangat familiar di mata
Arlesta. Cowok itu entah kenapa bisa membuatnya membuka diri setelah lama
menutup hati sejak kepergian Roger—mantap pacarnya.
Namun sebuah kenyataan lain bahwa
Sandra juga mencintai Nick, membuat Arlesta bimbang. Tentu saja dia tidak ingin
menghancurkan persahabatannya dengan Sandra hanya karena urusan cowok. Hatinya
bergumam, “Ia tak berhak atas cinta seorang cowok yang disukai sahabatnya
sendiri.” (hal. 154)
Arlesta pun berusaha menjauhi Nick
demi Sandra. Pertengkaran antara Arlesta
dan Nick pun tak dapat terhindarkan. Nick menuntut penjelasan kenapa Arlesta
tak bisa menerima cintanya. Sedangkan Arlesta memilih menghindar. Awal petaka
yang kemudian membuat Arlesta menyesal. Nick mengalami kecelakaan saat bermain
arung jeram. (hal. 2018) Arlesta
sungguh terpukul. Hanya saja kali ini dia tidak bisa menyelamatkan Nick dengan
kekuatannya seperti yang dilakukannya pada Tante Teresa, Koni—kucingnya atau
Mia—sahabatnya dulu. Entah apa yang terjadi.
Dipaparkan dengan bahasa yang renyah
membuat novel ini asyik untuk dinikmati. belum lagi kejutan-kejutan yang
diberikan penulis dari awal kisah hingga menuju ending. Meski ada beberapa
bagian yang mudah tertebak, namun tentu saja hentakan pada akhir naskah akan
membuat pembaca kaget dengan apa yang disiapkan penulis.
Tak banyak kesalahan tulis dalam
novel ini. Hanya beberapa bagian saja yang terasa agak loncat-loncat. Tapi
lepas dari itu buku ini recomended untuk dibaca. Selain mengajarkan untuk menjadi pribadi yang
rela berkoban, menjaa persahabatan, novel ini juga mengajarkan untuk selalu
berusaha dalam menjalani hidup penuh liku tanpa mudah putus asa dan tidak
gegabah dalam menyikapi masalah. “Apa pun yang terjadi dalam hidup, teruslah
berjalan ke depan, bahkan dengan melawan
arus sekali pun. Namun juga jadilah tenang dan jernih dalam menyikapi masalah.
Tidak boleh gegabah dalam mengambil keputusan, apalagi hanya demi menuruti ego.”
(hal. 53)
Srobyong, 19 Agustus 2016
Dimuat di Radar Sampit, Minggu 21 Agustus 2016 |
No comments:
Post a Comment