Judul
: Ke Raudhah. Aku ‘kan
Kembali
Penulis : Sari Meutia
Penyunting : Budhyastuti R.H
Penerbit : Penerbit Mizania
Cetakan : Pertama, Agustus 2016
Halaman : 163 hlm
ISBN : 978-602-418-057-7
Penulis :
Ratnani Latifah, Penikmat buku dan penyuka literasi, alumni Universitas Islam
Nahdlatul Ulama Jepara
Bisa mengunjungi tanah suci untuk menjalankan
ibadah haji dan umrah merupakan mimpi
bagi setiap umat Islam di dunia. Bisa dibilang kedua ibadah tersebut merupakan
ibadah yang mulia dan istismewa. Karena hanya
bisa dikerjakan ketika berada di Makkah dan Madinah. Ibadah haji hanya bisa dikerjakan pada bulan Dzulhijjah. Dan dengan menjalankan
ibadah haji akan menyempurnakan rukun Islam ke lima. Beruntunglah orang-orang
yang mendapat panggilan dari-Nya bisa menjalankan ibadah haji dan umroh.
Ketika menjalakan ibadah haji atau
pun umrah diperlukan banyak bekal yang harus disiapkan. Seperti masalah materi
dan fisik yang kuat. Namun ternyata
tidak hanya bekal fisik dan materi saja yang dibutuhkan saja. Ada sisi-sisi
lain yang harus dipersiapkan ketika menjalankan ibadah haji dan umrah. Apa saja
sisi-sisi lain yang perlu dipersiapkan? Penulis mencoba mengungkapkannya dalam
buku setebal 163 ini. Sebuah buku yang
disusun dari perjalanan penulis ketika berkesempatan menjalankan ibadah haji
dan umrah. Insya Allah buku ini akan
membantu membuka tabir-tabir yang kadang terlupakan dan membantu untuk
menyempurnakan ibadah haji dan umroh dengan lebih baik.
Dimuat di Jateng Pos, Minggu 4 September 2016 |
Dalam menjalankan ibadah haji
seyogyanya jamaah tidak hanya dibekali ilmu haji yang benar namun juga
pengajaran akhlak yang sederhana. (hal. 15) Akhlak yang dimaksud di sini adalah
tentang adanya toleransi bagi para jamaah haji.
Misalnya tentang anjuran selalu menjaga kebersihan di mana pun. Mau
berbagi tempat atau makanan bagi yang membutuhkan. Mendahulukan yang lebih tua
di dalam pesawat atau bus atau antrian makan dan toilet. Mengingat Ibadah haji itu tentang ibadah
ruhaniah yang berarti hati harus bersih untuk mendapat rahmat-Nya.
Dalam hal ini penulis memberikan
contoh konkrit tentang beberapa kisah yang menunjukkaan kesucian Madinah yang
bisa dibaca pada halaman empat puluh dua. Bahwa sebagai jamaah haji atau
peziarah tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak baik atau tidak pantas,
apalagi melakukan perbuatan buruk. Jika terlanjur berkata tidak baik, hendaknya
segera meminta ampun dengan beristighfar. (hal. 43)
Sikap lain yang harus dimiliki
jamaah haji adalah tidak egois dan mau tertib. Bisa mengunjungi rumah kekasih
Allah memang suatu keberuntungan dan
biasanya dalam posisi tersebut ada sebuah pengharapan agar bisa berbibadah
lebih lama di sana. Namun perlu
disadari kita tidak sendirian di
sana. Banyak jamaah haji lain yang juga ingin beribadah di sana. (hal. 55)
Perlu kita sadari menjalankan ibadah
haji adalah salah satu sarana untuk mendapatkan pahala dan rahmat Allah. Namun jika selama menjalankan ibadah haji
kita masih melakukan perbuatan tercela bagaimana nilai ibadah haji kita di
depan Allah? Itulah kenapa ketika ingin
menjalankan ibadah haji seyogyanya selain mempersiapkan materi cukup untuk
keberangkatan, fisik yang kuat untuk menjalankaan segala ibadah haji—dari
Ihram, Thawaf, Sai, Tahallul dan Wuquf di Arafah, hal mendasar lain yang perlu
dimiliki para jamaah haji adalah mengelola hati yang baik,
mempraktikkan akhlakulkarimah.
Rasulullah bersabda, “Barang
siapa menunaikan haji dengan tidak rafats (jima’ dan berkata kotor) dan tidak
berlaku fasiq, maka dia akan kembali bagikan saat dilahirkan ibunya. (tanpa
dosa.)” (HR. Mutaffaq ‘alaih)
Sebuah buku yang sangat inspratif.
Dipaparkan dengan bahasa yang renyah serta santai membuat asyik untuk dinikmat.
Dilengkapi dengan lay out yang manis menjadi nilai tambah kelebihan buku
ini. Beberapa kekurangan yang ada tidak
mempengaruhi kenikmatan membaca buku ini. Recomended.
Srobyong, 30 Agustus 2016
Dimuat di Jateng Pos, Minggu 4 September 2016 |
Covernya cantik banget :D
ReplyDeleteIya Mbak Hana, terima kasih sudah mampir ^_^
ReplyDelete