Sunday 21 December 2014

[Cerpen] Cinta Empat Musim


Cinta Empat Musim




Kazuhana El Ratna Mida

             5 Januari 2014.

Aku menatap langit biru. Membayangkan waktu ketika kita menampaki sejuta cerita yang masih aku rindu. Di sini, di tanah ini kita ukir perjalanan  syahdu. Di pohon palem besar kita saling beradu. Mengungkapkan sejuta kasih yang kita miliki. Meleburnya dalam ruang rindu.

            Kau sang mentari yang menyinari hati. Menawarkan janji indah yang masih terpatri. Semoga kau selalu ingat akan pesan cinta yang kau buat. Aku masih menunggu. Hingga detik ini sampai kita kembali beradu.

            “Janji yang kita buat untuk kembali bertemu di bawah pohon palem ini, kamu masih ingatkan?” aku  bertanya pada langit terang membayangkan kamu mendengar.

            Aku mengehela nafas. Aku sudah bercakap denganmu melalui mentari. Kini aku harus kembali pada dunia yang aku tekuni. Bekerja!

            “Semoga kamu baik-baik saja di sana.” Doaku lalu kembali menatap langit biru.

****

            Segera setelah persiapan, aku berangkat kerja, aku melesat meninggalkan rumah yang sudah sepi sejak tadi. Tugas sebagai guru kini menantiku. Ah senangnya bisa berkumpul dengan anak-anak yang mempunyai banyak perbedaan karakter dan pola pikir.

            “Bu Julia!” teriak anak murid ketika melihat aku yang sudah sampai di gerbang sekolah. Mereka menghambur menyambut kedatanganku.

            “Pagi, anak-anak, bagaimana tidurnya tadi malam, pasti nyenyak ya?” tanyaku dan kutatap mereka satu persatu. Seberkas rindu kini kembali menggelayuti.

            Mereka mengangguk dan tersenyum. Kemudian aku segera memulai pelajaran hari ini.

            Menjadi guru memang sudah sesuai dengan cita-citaku. Tapi entah kenapa kisah cintaku tak semulus jalan mimpiku. Empat musim sejak aku kenal  dengan dia, namun belum ada tanda-tanda hadiah buah kasih cinta kami. Amanah Tuhan belum mengampiri. Mungkin aku masih harus menunggu. Menunggu waktu yang tepat dari Rabbu Izzati.

****

Musim kemarau. Di semester enam, tahun 2012. Itu adalah awal perjumpaan kami. Di taman  kampus, dia menyapaku yang sedang asik menekuni buku.

“Hai, kamu Julia,’kan? Aku Guntur.” Ucapnya dengan mengulurkan tangan.

Entah dari mana dia tahu tentang aku waktu itu, namun tetap saja aku tak menolak perkenalan itu. kutatap dia yang tinggi besar dengan wajah kharisma yang membuatku terpana.

“Bagaiman kamu bisa tahu namaku?” akhirnya kulontarkan pertanyaan yang sebenarnya, sangat klise itu. Tapi aku penasaran.

“Semua mahasiswa pasti kenal kamu Julia, kamu mahasiswi penuh prestasi sih,” ucapnya dengan senyum mengembang.

“Masak, tapi, aku merasa tidak pernah melihat kamu di kampus?” aku balik tanya. Dia terasa asing. Karena biasanya aku selalu mengenal wajah-wajah mahasiswa di sini.

“Aku memang mahsiswa pindahan, nanti kita akan sering bertemu,” ucapnya santai.

Pantas saja ternyata anak pindahan.

“Dan lagi, mungkin kita akan bersaing,” dia menatapku.

“Maksudnya?” aku semakin tidak paham dengan mas Guntur yang tiba-tiba datang lalu mengatakan akan menjadi saingan.

“Aku mendengar banyak cerita tentangmu, jadi aku meresa tertantang dan penasaran,” ucapnya menjelaskan.

Aku hanya ber—o panjang. Okelah terseraha dia. Aku juga suka tantangan.

Sejak hari itu, aku memang jadi sering berteman denganya. Mau bagaimana lagi dia memang selalu membuntutiku. Dia memilih duduk dekat dengaku. Ketika aku memilih menghabiskan waktu di perpustakaan pun dia tidak mau ketinggalan.

“Kenapa sih, kamu selalu mengikutiku?” tanyaku disela aku membaca.

“Aku suka saja. Kalau dekat denganmu, siapa tahu aku bisa tahu rahasia trik yang kamu punya.”

Penjelasan yang aneh menurutku. Tapi peduli amat. Ada untungnya juga dia menempel padaku. Karena sejak itu tidak ada yang berani mengganguku, apalagi mengirim surat cinta untuku. Dia dikira pacarku.

****

Musim hujan, setelah wisuda kelulusan. kedekatan kami semakin membuncah. Jika dulu dia hanya mengikutiku karena penasaran dan ingin mengalahkan presatasi yang aku punya. Kini dia ada untukku untuk selalu menghibur dan membantu.

“Jul, kamu itu harus lebih menjaga kesehatan dong, jangan memaksa jika tubuhmu tidak kuat,” marah dia padaku yang kini terbaring lemah.

“Kalau memang tidak tahan dengan hujan, kenapa malah diterjang?”

“Iya, maaf, habis aku tidak enak menolak permintaan teman,” aku sungguh menyesal.

“Dan masalah hujan-hujan, hari sudah petang, aku takut sendirian di jalan, jadi kuterjang saja biar cepat sampai rumah,” jelasku apa adanya.

“Kenapa tidak mengubungiku Jul, biara aku jemputkan bisa,” dia masih nampak marah. Dia sepertinya sungguh khawatir.

“Maaf, Handphone aku tertinggal di rumah,” aku menunduk.

Peredabatan yang tidak ada selesainya. Mas Guntur akhirnya diam dan menatapku, lalu mengutarakan kekhawatiran jika sesuatu terjadi padaku. Makanya dia berharap aku lebih hati-hati dan sekarang harus istirahat biar cepat pulih.

“Iya, Mas Gunturku sayang,” ucapku dengan manja.

“Panggil apa tadi, kok tumben, ayo diulangi, aku pengen dengar,” pintanya.

“Tidak mau ah, kan tidak ada berita ulang,” aku meleletkan lidah.

Segera tangan kekar itu kini mengacak rambutku karena gemas.

“Julia, rasanya aku tidak rela jika harus meninggalkanmu, aku sangat menyukaimu,” ucapnya tiba-tiba.

“Memangnya kamu mau ke mana?”

Dia hanya dia dan memandang ke luar jendela.

“Kok diam sih tidak dijawab,” protesku.

“Itu sedandainya Julia, aku masih di sini. Aku akan selalu menemanimu, dan menjadi sandaranmu,” dia menggenggam tangaku. Kemudian berpamitan pulang.

Kutatap sosok tinggi besar yang telah berhasil meluluhkan hatiku. Ya, dia dengan mudahnya membuat aku jatuh cinta padanya. dia yang datang tiba-tiba sebagai saingan meraih presatasi, dan dia juga berhasil mengambil separuh hati ini. Hingga di bulan Maret  2013 kemarin kami menikah, dan kemudian berbulan madu di jepang bertepatan dengan musim semi di sana.

****
Aku tersadar dari lamunanku. Siang kini telah menjelang. Aku harus segera pulang. Waktu pembelajaran sudah selesai beberapa waktu lalu. Aku yang terlalu asik berkutat di meja kerja memasukan nilai evaluasi para murid, malah berakhir dengan lamunan tengtang Guntur kekasihku.

“Mas, aku sangat merindukanmu,” lirihku.

Lalu, kutinggalkan sekolah yang sudah sepi. 

Aku menapaki jalan setapak yang tak banyak keramainan yang menami kepulanganku.

Sampai di rumah aku disambut hangat oleh keluargaku. Meski aku tahu, wajah mereka tersirat  sendu. Mungkin karena memikirkan aku yang hingga sekarang belum memiliki momongan juga.  Tunggu saja kau akan mewujudkan harapan mereka.

****

Aku memasuki kamar. Kulihat photo yang terpampang di meja riasku. Aku dan mas Guntur dulu ketika berlibur menimati honey moon bersama di Jepang. Ah masa yang sangat aku nikmati. Bersama seseorang yang aku sukai di musim semi dengan mekarnya bunga sakura kesukaanku.

Aku duduk dengan dia di taman timur istana kerajaan di Tokyo, menyaksikan Mekarnya Sakura. Aku  dan dia tidak melewatkan Festifal Hanami yang selalu ramai dengan pesta dan berkumpulnya para warga menikmati indahnya sakura yang mekar dengan indah.

            “Cho kawai, Mas. Cantik sekali,” ucapku semakin mengagumi keindahan ini.

            “Secantik kamu Julia,” dia menatapku teduh. Membuat hati ini berdesir tak menentu.

            Guntur yang dulu sering menjahiliku, kini selalu bersifat romantic padaku. Selalu membuat hatiku berbunga mekar layaknya sakura.

            “Gombal deh,” aku memukul pundakya.

            Dia malah tersenyum dan menatapku dalam. Aku selalu terbius dengan tatapannya. Entahlah aku hanya mencintai satu orang yang sama sejak dia datang menyapa. Dialah suamiku—Mas Guntur. Dia selalu bisa membuatkau tenang meski kami harus sering terpisah kerena waktu. Bahkan ketika dia harus keluar negeri karen tuntutan pekerjaannya. Mas  Guntur meski dulu satu fakultas keguruan dia tak ingin menjadi guru, dia memilih terjun ke dunia jurnalistik yang membuat  dia bisa keliling dunia seperti mimpinya.

            Entah bagaimana ceritanya mungkin karena sejak di kampus dia sudah aktif dengan organisasi jurnalistik hingga mudah bagi dia masuk. Lagi pula dia memang sudah terlihat professional dengan bakatnya. Aku kalah dalam bakat. Jadilah setelah kami menjalin hubungan pernikahan dengan jarak jauh. Aku tidak bisa meninggalkan profesi guruku. Dia pulang dua bulan sekali untuk menemaniku.

            “Aku janji  padamu, ketika ulang tahumu datang aku akan pulang membawa kejutan. Jadi tunggu aku ya,” pintanya penuh harap. Di hari terakhir dia akan kembali bertugas.

            Tanpa berpikir panjang aku langsung mengiyakan. Aku pasti menunggu. Hati ini sudah terlanjur terpatri denganya. Menunggu musim dingin di Jepang, pertanda dia akan pulang.

            “Aku pasti menunggumu Mas.” Ucapku sambil menatap fotonya.

            Bulan berganti bulan, aku selalu sabar menunggu dia pulang. Meski keluargaku seolah tidak percaya dan menyuruhku untuk menyerah. Itu tidak mungkin, aku sudah janji. Dan aku yakin dia tidak akan ingkar janji. Tingga beberapa bulan lagi, maka penantiaku akan segera terjawab. Keluarga kecilku akan terwujud nyata.

            “Kamu yakin Jul, dia kan datang?” tanya Astri kakakku.

            Aku mengangguk mantap.

            “Dia akan datang Kak, memenuhi janjinya untuk menemaniku segera,” aku tersenyum manis, tak sabar hari itu tiba.

            Mereka pun akhirnya memberi kesempatan bagiku untuk membuktikan janji Mas Guntur yang selalu aku umbar pada keluarga.

            Desember, hari ulang tahunku akan segera datang. Dan mas Guntur juga akan segera pulang. Aku mempersiapkan semuanya. Sedikit pesta sederhana untuk menyambut kepulangannya.

            Aku beharap-harap cemas. Berjalan mondar mandir menunggu dia muncul di depan pintu rumah.

            “Mas, kamu pasti datangkan?” aku berucap sendiri dalam penantian.

            “Aku sudah memasakan makan kesukaanmu,”ucapku lagi.

            Satu jam, dua jam berlalu Guntur tak juga mucul. Ada ketakutan yang tiba-tiba menyergapku. Mungkinkah ada sesuatu hingga membuat dia terlambat.

            “Semoga pikiranku salah Ya Allah,” doaku lirih.

            Empat jam berlalu aku masih setia menunggu. Aku yakin mas Guntur tidak akan membohongiku.

            “Jul, sudahlah Guntur tidak akan pulang,” kak Astri menghampiriku.

            “Tidak mungkin Kak, dia sudah berjanji,” aku mencoba menjelaskan.

            Kak Astri menatapku penuh iba. Entah kenapa dia tidak percaya denganku.

            “Jul, ikut dengan Kakak ya,” dia meraih tanganku.

            Aku akhirnya mengikuti langkah kakakku. Aku termangu, kemudian duduk lemas tak lagi ada daya untuk menopang hidupku.
            Aku yakin ini pasti mimpi, tidak mungkin mas Guntur tega meninggalkan aku sendiri.

Aku menatap gundukan tanah dihadapanku bertulis nama Guntru Nugraha. Meninggal tanggal 11  November  2013.

            Pikiranku melayang pada kecelakaan satu bulan silam. Penerbangan Jepang Indonesia, kejutan kecil yang katanya ingin dia berikan. Dia sempat menelepon memberitahukan bahwa dia bisa pulang lebih cepat dari janji yang diberikan. Kecelakaan yang merenggut suamiku untuk selamanya. Yang masih aku rindukan hingga sekarang.   
     
            “Mas aku masing merindukanmu,” lirih air mata ini mulai membesahi pipi ini. Mungkin inilah kenapa keluargaku selalu menatapku dengan sedih. Melihat aku yang begitu patah arang dan menyiksa diri karena ditinggalkan oleh suami. Tidak mau mengakui bahwa dia telah berpulang.

            “Jul, jangan menyiksa diri, ikhlaskan dia ya, rawat buah kasih yang diamanahkan padamu,” kak Atika memelukku.

            Aku menanggis sesenggukan.

Lalu di awal tahun baru, aku pun membuka lembaran baru. Kuelus lembut perut buncit yang kurasakan Guntur kecil yang menendangku.

“Mas, aku sudah ikhlas, doakan aku bisa merawat calon jabang bayi kita.” Doaku di makamnya. Di bawah pohon palem tempat yang sama ketika kita saling sapa. Di pagi hari sebelum aku berangkat kerja.

“Doakan aku juga Mas, agar menjadi Ibu yang baik untuk anak kita.”

10 November 2014

No comments:

Post a Comment