Sunday 21 December 2014

[Cerpen Horor] Tolong Aku

Judul :Tolong aku


Oleh :Kazuhana El Ratna Mida

“Tolong, aku, tolong, aku,” suara itu beberapa hari ini sungguh menganggu konsentrasi belajar Lucia. Dia jadi merasa kena teror dan ingin pindah saja.
Bagaimana tidak, suara yang terdengar itu sungguh menyayat hati dan membuat bulu kudu merinding sekali. Tidak hanya sekali dua hari yang Lucia anggap halusinasi, tapi itu sudah hampir seminggu lebih dia merasa ada teror suara yang membuat dia bergidik ngeri.

Anehnya, tak seorang pun di rumah mendengarnya. Sehingga sekuat apa pun dia mencoba meyakinkan, malah dia yang dianggap berbohong. Huch! Menyebalkan. Lucia meruntuk sendiri.

Sekarang dia kembali ke kamarnya yang berada di lantai tiga. Rumah ini memang baru saja dibeli keluarganya dengan harga yang cukup murah.

“Tolong, aku, kumohon,” rintihan itu semakin terdengar jelas di telinga. Lucia langsung menutup telinganya dengan earphone. Kalau dia terus mendengarkan suara itu bisa-bisa tugasnya tidak bisa kelar. Padahal besok sudah harus diserahkan.

Lucia pun sekarang sudah tenggelam dengan musik yang dia dengar, sambil mengerjakan tugas mulutnya komat-kamit menyanyikan lagu Super Junior kesukaannya. Paling tidak, ketakutan yang sedari tadi dia rasa sekarang hilang.

Namun, tiba-tiba hembusan angin menegakkan bulu kudunya. Lucia yakin tadi, dia sudah menutup jendela dan tirai kamarnya. Tapi, kenapa sekarang malah terbuka? Lucia segara beranjak untuk menutupnya. Mungkin dia lupa.

Setelah menutup tirai, Lucia kembali duduk dan berkutat dengan tugasnya, dia tenggelam pada kesibukannya. Namun, hawa dingin kembali menyusup ke relung tubuhnya.

Mata Lucia membelalak melihat jendela yang kembali terbuka.

“Kenapa jendelanya terbuka sendiri?” Lucia mulai merasa takut akan fenomena ini. Lebih baik dia tidur, dari pada terus dipermainkan di sini.
Lucia sudah berada di depan jendela, dengan tergesa dia mencoba menutupnya, namun pandangannya tiba-tiba terpusat pada sosok wanita berpakaian putih yang berdiri di bawah pohon rambutan di depan rumah.

Lucia mengucek-ucek matanya, mungkinkah dia salah lihat? Sekali lagi dia mengintip memastikan.

Lucia menelan ludah melihat wanita itu malah kini menatapnya.

“Tolong, tolong aku, Lucia. Tolong.”

Lucia terkesiap, segera dia menutup jendela kamarnya dan langsung ambruk ke kasur, dia menaikkan selimut hingga menutupi wajah.
“Tolong, aku, tolong aku,” suara itu kembali terngiang di telinga Lucia.

“Kumohon, jangan ganggu, aku,” pinta Lucia yang semakin ketakutan. Dia memejamkan mata hingga akhirnya suara itu hilang dalam pendengarannya.

****
Pagi harinya Lucia menceritakan kejadian semalam pada keluarganya, tapi tak satu pun yang mempercayainya. Dan mengangap dia terlalu hebat dalam imajinasi, mengingat hobinya yang suka nonton movie.

“Ini serius, Bu. Aku mendengarnya,” Lucia meyakinkan.

“Mungkin kau sedang bermimpi, Sayang. Sudah-sudah jangan berpikir macam-macam. Sekarang sarapan, dan segera berangkat sekolah,” ucap Ibu memutuskan.

“Kenapa tidak ada yang mempercayaiku?” gerutu Lucia cukup keras. Dia meninggalkan ruang makan, dan berlalu begitu saja.

****
“Kamu, kenapa Lucia? Kok pagi-pagi sudah menekuk wajah begitu? Tugas kamu belum selesai, ya?” cerocos Mila, teman sebangkunya.

“Bukan masalah itu …,” ucap Lucia sedikit menggantung.

“Lalu?” Mila penasaran.

Lucia pun menceritakan segala hal yang dialaminya. Dari suara aneh juga penampakan wanita yang semalam mendatanginya.

“Benarkah? Mengerikan sekali, Lucia. Aku jadi merinding,” Mila berkomentar.

“Mending kamu cerita pada orang tuamu,” saran Mila.

“Masalahnya itu, Mil. Mereka tidak ada yang percaya dan hanya menganggapku bohong hasil imajinasiku yang luar biasa.”Lucia semakin muram.

Obrolan berhenti ketika guru mereka sudah datang. Kini, mereka sudah serius mengikuti pelajaran, setelah tugas tadi dikumpulkan.

Sedang asyik mengikuti pelajaran, kembali suara itu terdengar. Suara yang mengusik ketenangan Lucia. Kenapa dia sampai mengikuti ke sekolah? Lucia tidak habis pikir.
Dia melihat kesekeliling, teman-temannya, mereka sepertinya tidak ada yang mendengar suara itu. Lucia menelan ludah, sepertinya memang hanya dia yang dihantui.

Dia memejamkan mata sebentar, barang mengambil nafas sekalian, berharap nanti ketika dia membuka mata, suara itu hilang. Namun, yang terjadi malah cukup membuat dia berpacu dengan jantungnya.

“Aakh!” jerit Lucia tiba-tiba. dia kaget melihat wanita itu menyembul tepat dihadapannya hanya berupa kepala.

“Ada apa, Lucia?” Mila menatap bingung ke arah teman sebangkunya.

“Dia tadi ada di sini, Mil,” terang Lucia. Dia menutup muka merasa sangat ketakutan.

Melihat keadaan Lucia yang tidak begitu stabil, membuat Bu Indah menyuruh untuk istrahat di ruang UKS dulu. Biar tenang.

Lucia memilih merebahkan diri, dan menutup mata. Ah, kenapa hal seperti ini menimpanya. Sebelum dia pindah ke kompleks rumah yang sekarang, dia damai-damai saja.

*****
Lucia tidak percaya dengan apa yang dia lihat, pembantaian kini ada di depaan mata. Para wanita disiksa dengan bengis lalu dimutilasi seketika. Mungkinkah laki-laki iu sudah gila? dua wanita tergeletak di sana, sudah tak bernyawa.

Mereka wanita berbaju putih yang pernah dilihatnya di rumah, dan wanita yang hadir mengagetkannya di sekolah.

“Itulah akibat, dari kalian yang berani melawanku, hahahah,” pria itu terawa menang, dia meninggalkan kedua wanita itu dengan senyum mengembang.

Lucia mengatur detak jantungnya yang tak beraturan. Dia seperti melihat tayangan pembunuhan secara nyata. Pelan dia mencoba melihat siapa para korban di sana.

Lucia menutup mulut. Apa yang terjadi kenapa mereka bisa dibunuh dengan keji? Di saat dia tengah kebingungan, tiba-tiba pria itu muncul lagi dengan peralatan lengkap untuk mengubur dua wanita tadi.

Mereka dikubur tepat di bawah kasur Lucia yang sekarang ini.

“Jadi,  karena itu, mereka selalu menghantuiku? Tapi kenapa? Aku tidak kenal dengan pria itu?” Lucia bergumam sendiri.

“Hanya kau yang bisa membantu kami,” suara itu tiba-tiba mengagetkan Lucia hingga dia membuka mata lagi.

“Tolong, kami, Lucia, kumohon,” lirih suara itu.

“K-a-l-i-an?” tanya Lia tergagap.

Wanita berbaju putih itu terdiam dan hanya memandang Lucia lekat. Pun dengan hantu wanita yang hanya berbentuk kepala.

“Bantu, aku, ya,” pintanya wanita berbaju putih penuh harap.

“Tolonglah !”

Lucia pun luluh, dan akhirnya mau membantu. Dia mendengar dengan seksama cerita yang hantu wanita itu tuturkan.

Lucia baru tahu namanya adalah Lala dan yang satu Nurma. Mereka meninggal sekitar satu bulan lalu, di rumah yang Lucia tempati sekarang.

****
Sesampai di rumah, Lucia segera masuk ke kamarnya, dia menggeser kasurnya, dan memang menukan gundukan tanah di sana.

“Kau, mau apa, Lucia?” kaget sang Ibu yang memergoki ulahnya.

“Lucia, mau mengungkap kejahatan yang tertunda, kejahatan yang dilimpahkan para orang yang tak bersalah, hingga mereka harus gentayangan karena tak terima akan fitnah. Kebenaran harus ditegakkan,” ucap Lucia berapi-api.

“Kamu ngomong apa sih, Lucia. Ibu tidak paham, sudah, ah. Jangan berimajinasi yang berlebihan,” sang Ibu menyuruh Lucia segera meninggalkan aktivitasnya.

“Ini benaran, Bu. Lucia tidak bohong,” dia meyakinkan Ibunya.
Tanpa mengindahkan permintaan ibunya, Lucia terus menggali gundukan tanah yang ada di bawah kasurnya.

Di sana Lucia benar menemuka dua mayat wanita seperti yang pernah dilihatnya. Dia memanggil kepolisian untuk segera mengungkapkan kejahatan Hendy—laki-laki yang sejatinya membunuh mereka.
Kejahatan Hendy pun akhirnya terkuak. Lala dan Nurma bukan mati karena bunuh diri seperti kabar yang diberitakan, tapi dibunuh Hendy yang memang mengincar kekayaan Nurma yang baru saja mendapat warisan dari orang tuanya. sedang Lala yang tak sengaja mengetahui kejahatan itu, akhirnya juga kena dampak mati di tangan Hendy.

“Terima kasih, Lucia. Sekarang kami bisa tenang,” ucap Lala dan Nurma yang kemudian hilang tak lagi nampak di pelupuk matanya.

**** Sebulan setelah itu, Lucia merasa tenang tapi, di bulan berikutnya, dia kembali mendapat teror lagi.

“Pergi! Pergi! Aku tidak mau ikut kamu!” teriak Lucia marah.

Dia melempar apa saja yang ada di depannya supa wanita yang sedari tadi dihadapannya hilang.

“Kenapa tidak mau? bukankah kita satu jiwa yang harus selalu bersama, Lucia. Aku Lifia saudara kamu,” ucap wanita bergaun merah.

“Tidak! Aku tidak mengenalmu!” pekik Lucia. Dia menutup telinga agar tak mendengar ocehan Lifia yang ke mana-mana.

Dan batas kesabaran Lucia pun sudah pada puncakknya.

Lucia tidak tahan dan memilih menyendiri, mendekam di kamar yang sepi agar tak diganggu lagi. Di rumah terapi para pemilik dua jiwa yang tak bisa dikendalikan lagi.


Epilog

Kebenaran yang tertunda, kini telah terungkap ternyata Lucia seorang gadis perkepribadian ganda, Dia yang merasa tidak dipercaya keluarganya, sehingga dia menciptakan satu lagi jiwa untuk menemani kesepian yang dirasa. Juga kebohongan yang dia lakukan agar mendapat perhatian orang tuanya, tentang Lala dan Nurma.


Srobyong, 15 Desember 2014

No comments:

Post a Comment