Sunday 21 December 2014

[Cerpen] Bingkisan Rindu di Ujung Tahun


Judul :Bingkisan Rindu di Ujung Tahun

Oleh :Kazuhana El Ratna Mida/ Ratna Hana Matsura

Meski harus menelan pil pahit bernama kenyataan, Lira tak mau terpuruk. Dia tetap menebar senyum, melakukan segala aktivitas seolah musibah itu telah berlalu. Ya, biarlah kehidupan sudah ada yang mengatur. Jika saat ini dia terkena musibah, mungkin kejaiban menanti di waktu lainnya.

****
Seperti biasa, Lira mengawali hari dengan menyiram koleksi tanaman yang dimilikinya. Mulutnya komat-kamit bersenandung lagu-lagu yang digemarinya.

“Kau, tidak apa-apa, Ra?” suara seseorang mengagetkan Lira yang tengah asyik dengan aktivitasnya.

“Ya, Mbak. Lihatlah! Lira sehat saja, kan?” dia tesenyum menatap Mona—kakaknya.

“Kamu istirahat saja. Biar mbak yang merawat tanamanmu,” jelas Mona.

“Lira, bisa, kok Mbak. Tenang saja. Lagian sudah pekerjaan setiap hari,” lagi-lagi Lira tersenyum.

“Tapi, Lira,” Mona—kakaknya masih ngotot.

“Mbak, jangan perlakukan Lira seperti itu. Lira tidak mau,” dia menggeleng.

“Kalau Mbak terus seperti itu, Lira malah jadi sedih, dan malah rindu akan masa lalu,” Lira menatap entah ke mana.

“Jadi, bantu Lira untuk tegar. Anggap Lira masih seperti dulu. Lira yang energik, tak bisa diam,” dia memohon.

Mona mengalah. Dia benar-benar kagum dengan Lira. Adik bungsunya yang selalu tegar. Dengan segala musibah bertubi-tubi yang dia terima, tapi dia masih tetap tersenyum ceria menikmati kehidupan seperti biasa.

Satu tahun bukan waktu yang lama, ketika dia mendapat pukulan telak yang seolah memusnahkan segala cita-citanya. Di saat dia harusnya bisa mengamalkan ilmu dari Universitas, dia terkunkung dengan gelap yang membuat dia bungkam.

Namun, dia sungguh hebat, tak kenal lelah, terus berusaha mewujudkan mimpi dengan cara lain agar tetap bisa berjuang.

****
Menyirami koleksi sudah selesai Lira lakukan, dia bergegas bersiap untuk pergi ke panti asuhan dekat rumahnya. Di sana dia meleburkan diri bersama anak-anak. Di sanalah dunia ceria yang selalu membuat dia bisa tertawa.

Di mana ketika tiba-tiba dia merasa lemah dan ingin menjerit karena lelah. Maka di tempat itu adalah obat mujarab untuk menekan rasa.

“Maaf, Mbak. Aku berbohong. Aku tidak mau membebani Mbak, dan semua keluarga,” lirih Lira berucap.

Bohong memang jika dia tak merasa rindu, tapi dia menutup rapat akan rasa yang dimilikinya.

“Pagi, Bu Lira, hari ini kita akan belajar apa?” suara anak-anak menyambut kedatangannya dengan ceria.

Ada yang menggandeng tangan kanan ada juga yang merangkul tangan kirinya.

“Wah, kalian semangat sekali,” Lira tersenyum mendengar antusias anak didiknya.

“Kita belajar apa, Ya?” Lira berpikir sebentar.

Semua anak memerhatikan Lira yang masih terdiam.

“Oke, ibu ada ide. Bagaimana kalau kalian satu per satu meneceritakan harapan di depan kelas. Harapan yang bisa lakukan dia akhir tahun untuk menyambut tahun baru. Ada yang setuju?” tanya Lira pada anak didiknya.

Semua langsung menyahut dengan semangat menerima ide Lira.

Yang pertama maju Nina—gadis yang berusia sepuluh tahun itu menceritakan harapanya agar nanti dia bisa menggapai mimpinya.
Harapan mereka sungguh lucu dan menggelitik Lira untuk tertawa.

Bayangkan, ada juga yang di penghujung tahun ini ingin mendapat boneka, ada juga yang ingin dapat sepatu baru. Anak-anak memang begitu lugu.
“Aku dapat bagian terakhir,” Kiki maju ke depan kelas dan mulai menyampaikan harapannya.

“Untuk Bu Lira, semoga cepat sembuh, ya, Bu. Mendapat kejutan indah di bulan Desember. Aku ingin Bu Lira suatu saat nanti, mampu mengenali kami semua dengan baik,” ucap Kiki yang membuat Lira menangis.

Anak itu, dia memang yang paling besar di sini. Lira memeluknya erat.

“Terima kasih, Sayang,” ucap Lira haru.

Harapan Kiki membuat rasa rindu yang dimiliki muncul lagi. Rindu akan berkah yang pernah ada dulu.

*****
“Lho, pulang dari panti, kok, wajahnya tembem?” tanya Mona yang melihat kedatangan Lira.

“Itu, Mbak, anak-anak panti membuat Lira terharu. Mereka mendoakanku segera sembuh untuk bisa menyambut dunia baru. Harapan yang sudah lama aku buang, karena lelah menanti,” Lira Menangis dalam dekapan Mona.

Satu tahun mencari donor untuknya tapi belum juga ada yang menghubungi.


“Tidak, ada yang tidak mungkin Lira, Mbak, yakin akan ada masanya, harapan yang kita inginkan bisa terwujud,” ucap Mona menenangkan.

“Ehem, ehem!” suara deheman mengagetkan dua kakak beradik yang tengah berpelukan haru.

“Kau mengagetkan kami, Surya,” protes Mona. Segera mereka menyeka air matanya.

“Maaf, Mbak Mona, Lira. Kok, kalian terlihat pada sedih?” tanya Surya bingung.

“Tidak ada apa-apa, kamu sendiri mau apa kemari?” Mona yang mendominasi percakapan.
“Aku ke sini, karena tidak sabar untuk mengabarkan berita gembira pada kalian,” ucapnya dengan berseri-seri.
“Kamu, mau menikah?” tebak Lira yang memang tahu harapan Surya—temannya yang memasang target menikah di penghujung tahun ini. Mungkin dia telah menemukan penggantinya. Pikir Lira. Entah dia harus sedih atau suka. Mendengar kabar seperti ini, sungguh itu semakin membuat dia rindu masa lalu.
“Wau, bagaimana kau bisa tahu, Lira? Bahkan aku belum memberi tahumu,” Surya terkekeh.

Lira hanya tersenyum dan kemudian menunduk. Ya, tidak mungkin Surya memilih dia yang tak sempurna.

“Aku mau menikah denganmu, Lira. Kau mau,kan?” Surya menggengam jemari Lira.

“Hai, jangan bercanda Surya, aku …,” ucap Lira tertahan.

“Maksud kamu, masalah kebutaan? Jangan khawatir aku sudah mendapat donor mata untukmu, Lira. Kau bisa melihat lagi. Menumpahkan segala rindu ingin menatap dunia baru,” ucap Surya membuat Lira dan Mona terperangah.

“Sungguh?” Lira memastikan.

Surya mengiyakan. Kecelakaan yang terjadi satu tahun silam yang membuat Lira buta, namun tak memupuskan rasa sukanya, dia tetap ingin menikahi Lira dipenghujung tahun seperti yang pernah dulu dia rencakan.

“Tapi … andai aku tak mendapat donor mata, apa kau masih mau denganku?” tanya Lira ragu.

“Hai, aku memilihmu bukan karena masalah itu, Lira. Bahkan kabar ini baru aku terima beberapa menit sebelum aku ke sini,” terang Surya.

“Malam ini, aku sengaja ke sini untuk melamarmu,” Surya meyakinkan.

“Lalu dokter Hardi menelepon, katanya ada seseorang yang mau mendonorkan mata untukmu,” Surya mengakhiri ceritanya.

Lira menangis haru. Inilah hadiah rindu di ujung tahun yang tak berani dia tunggu.

****
Malam tahun baru, ketika Lira sudah bisa melihat langit biru bersanding dengan Surya menikmati petasan kembang api sebagai sepasang suami istri.

--The End---

Srobyong, 14 Desember 2014.

No comments:

Post a Comment