Dimuat di Kabar Madura, Kamis 17 Mei 2018
Judul :
Lost in Pesantren
Penulis :
Saeful Bahri
Penerbit :
Republika
Cetakan :
Pertama, Agustus 2017
Tebal :
xiv + 195 halaman
ISBN :
978-602-0822-8-15
Peresensi :
Ratnani Latifah. Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara
“Engkau mengharapkan kesuksesan tapi enggan menempuh
jalannya. Ketahuilah perahu itu tidak berjalan di atas daratan.”
(hal 7).
Sebagaimana kita ketahui, kadang kala banyak
masyarakat yang memiliki pandangan bahwa belajar di pesantren itu seperti hidup
dalam penjara. Karena di sana terdapat banyak peraturan yang harus kita taati.
Kita harus bangun pagi-pagi untuk salat
berjamaah. Kemudian kita harus harus berjibaku dengan Al-Quran, buku dan kitab-kitab kuning untuk ditelaah. Tidak ketinggalan, kita harus
memberi setoran hafalan kepada para ustadz-ustadzah. Dan jika kita berani
melanggar peraturan maka, takziran—atau hukuman akan kita terima.
Kelihatannya segala aktivitas yang ada di pesantren
itu nampak melelahkan dan membosankan. Padahal sebaliknya, berbagai aturan yang
diterapkan di pesantren itu memiliki
banyak nilai-nilai pembelajaran, hikmah dan falasah yang menarik untuk kita serap
manfaatnya. Untuk dijadikan bahan renungan, agar bisa memperbaiki diri.
Buku ini dengan paparan yang lugas, renyah dan
menarik, mengajak kita untuk menikmati perjalanan memetik nilai, hikmah dan falsafah
kehidupan pesantren. Memaparkan tentang kisah kehidupan di pesantren yang penuh
dengan suka duka, kadang manis dan kadang getir saat para santri menuntut ilmu.
Mengalahkan banyak tantangan, berlatih bersikap sabar, saling mengalah dan siap menghadapi
keterbatasan demi menempa diri menjadi pribadi yang unggul berakhlakul
kharimah.
Hidup di pesantren secara tidak langsung kita
belajar hidup bersama dalam keberagaman suku dan budaya. Mengingat di pesantren
santri tinggal bersama santri lainnya yang datang dari berbagai pelosok negeri. Apalagi Indonesia kaya dengan keberagaman suku dan
budaya. Dan potensi ini harus dibangun agar menjadi kekuatan pemersatu dari
keberagaman itu (hal 75).
Salah satu semboyan di pesantren-pesantren modern
adalah “Berdiri di atas dan untuk semua golongan.”. Semboyan itu menjadi
tali pengikat santri heterogen. Pesantren terbuka untuk siapa saja, tidak
peduli warna kulit, suku, bahasa, sampai aliran politik. Secara tidak langsung
kehidupan di pesantren itu sesuai dengan salah satu visi yang ditetapkan oleh UNESCO—badan dunia yang
berkelindan dalam urusan pendidikan dan kebudayaan.
Dengan belajar di pesantren kita bisa memperoleh
nilai-nilai non kognitif yang bisa menjadi salah satu titik menunju kesuksesan
seorang anak. Di antaranya, kemampuan meregulasi diri. mengingat di pesantren santri
sudah terbiasa dididik menjadi seorang yang disiplin waktu, kemandirian dan tanggung
jawab (hal 80). Kemudian, kemampuan mengendalikan perhatian dan perbuatan—karena
ketika hidup dipesantren, santi dituntut mandiri dan bisa menjaga lingkungan
sekitar. Mampu mengelola daya tahan (persistensi), bisa menunda kenikmatan, mampu
menghadapi tekanan dan mampu menjalankan
rencana.
Dengan kata lain pesantren membentuk mental belajar
dan mental hidup. Jika anak-anak dididik dan ditempa dengan sikap-sikap
tersebut, pada akhirnya anak akan berhasil dalam pendidikan dan karir (hal 83).
Pesantren merupakan salah satu model pendidikan yang
ada di Indonesia yang memiliki karakter yang dapat menunjang proses pembentukan
kecerdasan adversitas—yaitu kecerdasan dalam menghadapi kesulitan dan tantangan
hidup. Karena di pesantren kita diajarkan hidup mandiri, disiplin, memiliki
daya tahan dan tempaan untuk hidup baik dalam keadaan suka atau duka (hal 95).
Dan pesantren adalah ladang yang tepat untuk
menanamkan nilai-nilai luhur, mendidik
santri dengan akhlakul karimah. Dalam pandangan Munif Chatib, pesantren
memiliki kekuatan spiritual dan emosional dan itu baik untuk perkembangan
karakter anak. Maka tepat jika pesantren sangat teguh dengan prinsip, “Memelihara
nilai-nilai lama yang masih baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih
baik.” (hal 99).
Sebuah buku yang menarik dan membuka banyak
wawasan. Melalui buku ini kita diajak
mengenal lebih dekat kehidupan pesantren yang selain menunjang ilmu pengetahuan
juga menunjang pendidikan akhlak. Mengingat akhlak adalah pondasi kuat yang harus dimiliki setiap
orang. “Jika akhlak itu telah sirna maka suatu bangsa akan binasa.” (hal
101).
Srobyong, 21 April 2018
No comments:
Post a Comment