Dimuat di Lampung Post, Minggu 10 Juni 2018
*Ratnani Latifah
Malam hari setelah pulang dari tarawih, Sari
mendekati ibunya yang sedang asyik membaca buku, di ruang keluarga.
“Bu,
belikan baju baru, lagi, ya,” rengek Sari.
“Lagi
...?” ibunya meletakkan buku dan menatap Sari.
“Iya,
kan kemarin baru dibelikan satu. Teman-teman Sari punya baju baru banyak,”
cerita Sari.
“Ratih
punya tiga baju baru, Sisil juga punya tiga. Luna punya dua. Masak ... Sari
hanya punya satu, kan malu, Bu.” Sari menjelaskan panjang lebar.
“Belikan,
ya, Bu. Ya ... ya,” Sari terus memohon.
“Kalau
punya beberapa baju baru, kan bisa buat gonta-ganti, Bu.”
“Coba
ibu bayangkan ... masak, Sari harus memaki baju satu itu terus menerus. Ke
rumah Nenek dan Bude pakai baju itu. Besoknya ke rumah Eyang masih baju itu.”
Sari menggeleng-gelengkan kepala.
“Sari
nggak mau, ah. Malu.” Ucapnya lagi.
“Kan,
kamu masih ada baju lama, Sayang. Bisa dibuat gantian.” Ibunya menjelaskan.
“Misalnya
hari pertama kamu pakai baju baru, untuk ke rumah nenek dan Bude. Esok harinya
bisa memakai baju lebaran kemarin.”
“Tapi
itu baju lama, Bu. Masak lebaran tidak memakai baju baru.” Sari masih ngotot.
“Kalau
ibu tidak mau membelikan baju baru, Sari nggak mau puasa lagi. Bukankah, ibu
berjanji kalau Sari puasa tanpa bolong akan mengabulkan keinginan Sari?” Sari
mengerucutkan bibirnya.
Sang
ibu pun akhirnya mengalah. Karena memang pernah menjanjikan. Dan selama ini
Sari belum pernah bolong puasa. Dia selalu puasa sampai Maghrib.
Keesokan
harinya, yang bertepatan dengan hari Minggu, Sari pergi dengan ibunya ke
swalayan untuk membeli baju baru. Sekalian membeli persiapan lebaran
lainnya. Di sana tanpa sengaja, Sari bertemu dengan Putri, teman
satu kelasnya dan sang ibu yang sedang berbelanja juga. Di sana Sari melihat,
kalau Putri tidak ribut meminta baju baru. Putri hanya mengikuti ibunya,
membantu mengambil barang-barang yang diperlukan.
Diam-diam
Sari penasaran dengan sikap temannya itu. Dia jadi teringat, kalau di sekolah,
ketika teman-temannya membicarakan baju baru, Putri sama sekali tidak ikut
bicara. Putri lebih suka duduk sambil membaca buku pelajaran, atau buku cerita
yang dipinjam dari perpustakaan.
Karena
penasaran, keesokan harinya saat di sekolah, Sari mendekati Putri. Temannya itu
seperti biasanya selalu fokus pada buku.
“Put, kemarin kamu ke swalayan tidak beli baju
baru, ya?”
“Iya,
Sar. Aku hanya menemani ibu belanja,” jelas Putri sambil tersenyum.
“Lagi
pula, baju lebaran tahun lalu, masih bagus dan bisa dipakai lagi,” lanjut
Putri.
“Kamu
bener nggak ingin baju baru?” Sari kaget.
“Pengen
sih, tapi aku tahu, ibu belum punya uang untuk membeli baju baru saat
ini, jadi aku tidak berani minta.” Ucap Putri sambil
terseyum tersenyum.
“Kan
hanya satu tahu sekali, Put, buat beli baju lebaran baru. Apa ibu
kamu tidak menjanjikan dibelikan baju baru jika bisa puasa 30 hari penuh?” Sari
bertanya lagi.
Putri
pun langsung menggeleng. “Memang hanya satu tahun sekali, Sar. Tapi kata ibu,
merayakan idul fitri tidak harus memiliki baju baru, yang penting hati baru
untuk saling memaafkan.”
“Dan ibu selalu mengajarkan padaku,
agar puasa dengan ikhlas karena Allah, bukan karena akan dapat hadiah atau
alasan lainnya.”
Mendengar
jawaban Putri, tiba-tiba Sari merasa sangat malu. Selama ini dia berpuasa belum
ikhlas karena Allah. Dia puasa karena ibunya menjanjikan hadiah, dibelikan baju
dan sandal baru. Selain itu selama ini dia juga tidak pernah
bersyukur dengan nikmat yang diberikan padanya. Sari selalu iri
dengan milik orang lain. Dia merasa belum puas dengan apa yang
dimiliki.
Tiba-tiba
Sari memiliki ide bagus. Ketika pulang sekolah, dia segera menemui ibunya. Dia
membisikkan sesuatu.
“Kamu yakin,
Sayang?” tanya ibunya agak bingung. Entah kenapa tiba-tiba putri
kesayangannya itu berubah. Padahal kemarin Sari memaksa sekali untuk dibelikan
baju baru.
“Yakin,
Bu. Kan kata ibu, baju Sari masih banyak. Masih bagus dan bisa
dipakai lagi. Memberi satu ke teman yang membutuhkan tidak apa-apa, Kan? Kata
Pak Guru, sedekah membawa banyak berkah.” Sari tersenyum.
Mendengar cerita Putri, Sari jadi ingin menghadiahkan satu baju baru miliknya
agar dipakai Putri. Lagi pula ukuran tubuh mereka sama, pasti sangat
pas. Itu yang tadi dipikirkan Sari.
“Tentu
saja boleh, Sayang. Ibu bangga sama kamu.” Sang ibu memeluk Sari.
“Kalau
begitu, aku pamit dulu, ya, Bu. Mau mangantarkan baju ke rumah
Putri.” Sari mencium punggung tangan ibunya dan mengucapkan salam.
Nanti dia juga mau berterima kasih pada Putri yang sudah mengingatkannya,
tentang pentingnya arti bersyukur dan beribadah dengan ikhlas.
Srobyong,
12 Juni 2017
ceritanya bagus buat anak-anak nih. Sari bakal jadi panutan buat anak yang lain atau pembaca.
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir baca Mbak, semoga suka dan bermanfaat :)
DeleteBaguuus ceritanya mba :). Aku mau ceritain ulang ke anak2ku, biar bisa jd pelajaran juga untuk mereka agar mau berbagi :)
ReplyDeleteTerima kasih Mbak sudah mampir membaca. Monggo Mbak, saya senang jika cerita ini bisa bermanfaat :)
Delete