Dimuat di Klasika Kompas [Nusantara Bertutur] Minggu 21 Mei 2017
Kazuhana El Ratna Mida
“Assalamu’alaikum
.... Sari berangkat dulu, Bu.” Sari pamit sambil mencium kedua tangan ibunya.
“Wa’alaikum
salam. Hati-hati di jalan, Sayang.” pesan ibunya.
Hari ini Sari
mendapat jatah piket kelas. Karena itu, dia berangkat ke sekolah lebih pagi
dari biasanya. Saat ini Sari duduk di
bangku kelas empat di SDN 1 Mutiara, Jepara.
“Wah
... ternyata belum ada yang datang.” Sari meletakkan tasnya. Kelasnya masih
sepi.
“Baiklah
sambil menunggu, aku mulai menyapu kelas saja.” Sari lalu mengambil sapu dan
mulai menyapu.
Saat
sedang asyik menyapu, Sari terpaku melihat selembar uang di depannya. Sari pun segera
memungutnya.
“Lho,
bukankah ini uang 100.000?” Sari tampak
kaget.
“Tapi
kira-kira ini uang siapa, ya?” Sari bertanya-tanya.
Saat masih
serius memerhatikan uang itu, tiba-tiba
Sari mendengar suara Karin.
“Uang siapa
Sar? Banyak sekali?” tanya Kinan yang
baru sampai.
“Eh ... Kinan. Ini tadi aku menemukannya di
kelas saat menyapu.” Jelas Sari apa adanya.
“Asyik dong, Sar.
Bisa dibuat jajan atau beli apa yang
kamu suka.” Karin terlihat semangat.
“Tapi, kan ini
bukan uangku, Rin.” Sari bingung.
“Tapi kan, kamu
yang menemukannya, jadi uang itu jadi miliki kamu dong, Sar.” Karin meyakinkan
Sari.
“Masak
seperti itu ...? Aku tidak yakin, Rin. Ya sudah, deh nanti aku tanya sama Bu Luluk saja.” Sari
akhirnya memutuskan. Dia melanjutkan menyapu lantai kelasnya.
“Kenapa
kamu harus lapor, Sar?” tanya Karin
bingung.
“Bukankah
lebih baik uang itu kamu pakai sendiri? Kan
tidak ada yang melihat kalau kamu menemukan uang itu. Lumayan buat jajan.”
Karin berkata lagi.
“Tidak,
ah.” Sari menggelengkan kepala. Dia lalu memasukkan uang itu di saku bajunya.
“Allah
itu maha melihat, Rin. Aku takut. Ini, kan bukan uangku. Barangkali ada yang
sedang sedih mencari uang ini.” Sari menjelaskan alasannya.
“Itu,
kan salah mereka yang teledor. Kalau aku jadi kamu pasti uangnya aku pakai
sendiri.” Karin merasa tidak peduli.
“Sudah
ah, kita bahasa uangnya nanti lagi. Lebih baik kita selesaikan tugas piket ini
sebelum kelas masuk.” Sari mengingatkan tugas mereka.
“Eh,
iya, sampai lupa.” Karin nyengir. Mereka pun bekerja bersama-sama dengan senang
hati.
“Akhirnya
selesai juga.” Sari dan Karin mengucapkannya bersama-sama.
“Kalau
begitu, aku ke kantor dulu, ya. Mau menyerahkan uang ini.” Sari meninggalkan
Karin.
Di
kantor, setelah menyerahkan uang itu pada Bu Mita. Sari baru tahu kalau uang
itu adalah miliki Pak Slamet, guru agama Sari.
“Terima kasih, Sari.
Kamu telah menolong Bapak. Uang ini sangat Bapak butuhkan untuk membeli obat
bagi istri Bapak yang sedang sakit di rumah. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu
yaa, Sari!” ungkap Pak Slamet yang tampak. Lega uangnya ditemukan.
“Iya sama-sama, Bapak,” jawab Sari. Dalam hatinya, ia merasa bahagia karena dengan kejujurannya ia bisa membantu Pak Slamet, gurunya yang sedang kesulitan. Sari juga merasa bangga karena ia tak tergoda untuk memiliki uang yang bukan haknya seperti yang disarankan Karin. Sari selalu ingat pesan kedua orangtuanya bahwa kejujuran adalah pangkal dari kepercayaan. Orang jujur selalu disayang Tuhan YME.
“Iya sama-sama, Bapak,” jawab Sari. Dalam hatinya, ia merasa bahagia karena dengan kejujurannya ia bisa membantu Pak Slamet, gurunya yang sedang kesulitan. Sari juga merasa bangga karena ia tak tergoda untuk memiliki uang yang bukan haknya seperti yang disarankan Karin. Sari selalu ingat pesan kedua orangtuanya bahwa kejujuran adalah pangkal dari kepercayaan. Orang jujur selalu disayang Tuhan YME.
Srobyong, 29 April 2017
Atau bisa dibaca di Kompas Klasika [Nusantara Bertutur]
Nyimak dan ikut belajar
ReplyDeleteMonggo Mbak. Semoga bermanfaat. Saya juga masih belajar.
DeleteBagaimana pendapatmu tentang sikap sari
ReplyDelete